Siapakah yang Dimaksud dengan Sufaha pada Surat An-Nisa Ayat 5?
loading...
A
A
A
Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam firman Allah pada al-Qur'an Surat an-Nisa' ayat 5 yang berbunyi:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" menjelaskan penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau wanita dan anak-anak, adalah penafsiran yang lemah. Meski penafsiran itu diriwayatkan dari pakar umat, yaitu Ibnu Abbas ra , walaupun sahih penisbatan kepadanya atau kepada penafsiran-penafsiran salaf lainnya.
Menurut al-Qardhawi, kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat ialah bahwa penafsiran sahabat terhadap Al-Qur'anul Karim itu tidak secara otomatis menjadi hujjah bagi dirinya dan mengikat terhadap yang lain.
Ia tidak dihukumi sebagai hadis marfu', walaupun sebagian ahli hadis ada yang beranggapan demikian. Ia hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi SAW. (yang wajib diterima perkataannya)."
Doa Nabi SAW untuk Ibnu Abbas agar Allah mengajarinya takwil, tidak berarti bahwa Allah memberinya kemaksumam (terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya, tetapi makna doa itu ialah Allah memberinya taufik untuk memperoleh kebenaran dalam sebagian besar takwilnya, bukan seluruhnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ada beberapa pendapat dan ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.
Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang yang mengikutinya bahwa yang dimaksud dengan as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.
Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk isim mudzakkar (laki-laki), mufradnya (bentuk tunggalnya) adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats (perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya adalah mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana lazimnya jamak muannats, sehingga bentuk jamak lafal tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.
Kedua, bahwa kata sufaha adalah isim zaman (kata untuk mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan buruk tindakannya. Karena itu, kata-kata ini tidak disebutkan dalam antara lain Qur'an melainkan untuk menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah:
"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman,' mereka menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?' Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu." ( QS al-Baqarah : 13)
"Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, 'Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?' Katakanlah, 'Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" ( QS al-Baqarah : 142)
Apabila lafal sufaha itu untuk mencela, kata al-Qardhawi, maka bagaimanakah manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak ia usahakan?
Bagaimana seorang perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal ia bukan yang menciptakan dirinya, melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
"... sebagian kamu adalah turunan dan sebagian yang lain..." (QS Ali Imran: 195)
Dan disebutkan dalam suatu hadis:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik."
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" menjelaskan penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau wanita dan anak-anak, adalah penafsiran yang lemah. Meski penafsiran itu diriwayatkan dari pakar umat, yaitu Ibnu Abbas ra , walaupun sahih penisbatan kepadanya atau kepada penafsiran-penafsiran salaf lainnya.
Menurut al-Qardhawi, kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat ialah bahwa penafsiran sahabat terhadap Al-Qur'anul Karim itu tidak secara otomatis menjadi hujjah bagi dirinya dan mengikat terhadap yang lain.
Ia tidak dihukumi sebagai hadis marfu', walaupun sebagian ahli hadis ada yang beranggapan demikian. Ia hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa "Tiap-tiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi SAW. (yang wajib diterima perkataannya)."
Doa Nabi SAW untuk Ibnu Abbas agar Allah mengajarinya takwil, tidak berarti bahwa Allah memberinya kemaksumam (terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya, tetapi makna doa itu ialah Allah memberinya taufik untuk memperoleh kebenaran dalam sebagian besar takwilnya, bukan seluruhnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ada beberapa pendapat dan ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fiqih yang tidak disetujui oleh mayoritas sahabat dan umat sesudah mereka.
Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang yang mengikutinya bahwa yang dimaksud dengan as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi.
Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk isim mudzakkar (laki-laki), mufradnya (bentuk tunggalnya) adalah safiihu, bukan safiihatu yang merupakan isim muannats (perempuan). Kalau mufradnya safiihatu, maka bentuk jamaknya adalah mengikuti wazan fa'iilatu atau fa'aa'ilu sebagaimana lazimnya jamak muannats, sehingga bentuk jamak lafal tersebut adalah safiihaatu atau safaa'ihu.
Kedua, bahwa kata sufaha adalah isim zaman (kata untuk mencela), karena mengandung arti kekurangsempurnaan akal dan buruk tindakannya. Karena itu, kata-kata ini tidak disebutkan dalam antara lain Qur'an melainkan untuk menunjukkan celaan, seperti dalam firman Allah:
"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman,' mereka menjawab, 'Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?' Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu." ( QS al-Baqarah : 13)
"Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, 'Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?' Katakanlah, 'Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.'" ( QS al-Baqarah : 142)
Apabila lafal sufaha itu untuk mencela, kata al-Qardhawi, maka bagaimanakah manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak ia usahakan?
Bagaimana seorang perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal ia bukan yang menciptakan dirinya, melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfirman:
"... sebagian kamu adalah turunan dan sebagian yang lain..." (QS Ali Imran: 195)
Dan disebutkan dalam suatu hadis: