Siapakah yang Dimaksud dengan Sufaha pada Surat An-Nisa Ayat 5?
loading...
A
A
A
"Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki." (HR Ahmad bin Hanbal 6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula dalam Kanzul 'Ummal nomor 45559)
Demikian pula halnya anak-anak. Al-Qardhawi menjelaskan Allah menciptakan manusia dari kondisi yang lemah dan dijadikan-Nya kehidupan itu bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian meningkat remaja, lalu dewasa.
Sebab itu, katanya, bagaimana mungkin seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal ia tidak pernah berusaha untuk menjadi kanak-kanak (melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?
"Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir modern, akan kita dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam ath-Thabari," kata al-Qardhawi.
Sayyid Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menyebutkan:
"Yang dimaksud dengan as-sufaha di sini ialah orang-orang yang pemboros yang menghambur-hamburkan hartanya untuk sesuatu yang tidak perlu dan tidak seyogyanya, dan membelanjakannya dengan cara yang buruk dan tidak berusaha mengembangkannya."
Rasyid Ridha juga mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan salaf mengenai maksud lafal sufaha. Kemudian beliau menguatkan pendapat yang dipilih Ibnu Jarir (ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum, meliputi semua orang yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, laki-laki maupun perempuan.
Muhammad Abduh mengatakan, dalam ayat-ayat terdahulu Allah menyuruh kita memberikan kepada anak-anak yatim harta-harta mereka dan memberikan kepada orang-orang perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)..."(QS an-Nisa': 5)
Muhammad Abduh mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah kepada setiap anak yatim akan hartanya bila telah dewasa, dan berikan kepada tiap-tiap perempuan akan maharnya, kecuali apabila salah satunya belum sempurna akalnya sehingga tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik.
Pada kondisi demikian kamu dilarang memberikan harta kepadanya agar tidak disia-siakannya, dan kamu wajib memelihara hartanya itu sehingga ia dewasa.
Perkataan amwaalakum (hartamu) bukan amwaalahum (harta mereka), yang berarti firman itu ditujukan kepada para wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang ada didalam kekuasaan mereka, menunjukkan beberapa hal.
Pertama, bahwa apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si safih(anak yang belum/kurang sempurna akalnya) untuk memenuhi kebutuhannya, maka wajib bagi si wali untuk memberinya nafkah dari hartanya sendiri. Dengan demikian, habisnya harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta si wali. Alhasil, harta si safih itu seakan-akan hartanya sendiri.
Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah dewasa dan harta mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya sebagaimana layaknya orang dewasa (normal), dan dapat menginfakkannya sesuai dengan tuntunan syariat untuk kemaslahatan umum atau khusus, maka para wali itu juga mendapatkan bagian pahalanya.
Ketiga, kesetiakawanan sosial dan menjadikan kemaslahatan dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah kami katakan dalam membicarakan ayat-ayat yang lain.
Demikian pula halnya anak-anak. Al-Qardhawi menjelaskan Allah menciptakan manusia dari kondisi yang lemah dan dijadikan-Nya kehidupan itu bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian meningkat remaja, lalu dewasa.
Sebab itu, katanya, bagaimana mungkin seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal ia tidak pernah berusaha untuk menjadi kanak-kanak (melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)?
"Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir modern, akan kita dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam ath-Thabari," kata al-Qardhawi.
Sayyid Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menyebutkan:
"Yang dimaksud dengan as-sufaha di sini ialah orang-orang yang pemboros yang menghambur-hamburkan hartanya untuk sesuatu yang tidak perlu dan tidak seyogyanya, dan membelanjakannya dengan cara yang buruk dan tidak berusaha mengembangkannya."
Rasyid Ridha juga mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan salaf mengenai maksud lafal sufaha. Kemudian beliau menguatkan pendapat yang dipilih Ibnu Jarir (ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum, meliputi semua orang yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, laki-laki maupun perempuan.
Muhammad Abduh mengatakan, dalam ayat-ayat terdahulu Allah menyuruh kita memberikan kepada anak-anak yatim harta-harta mereka dan memberikan kepada orang-orang perempuan akan mahar mereka. Dalam firman-Nya:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu)..."(QS an-Nisa': 5)
Muhammad Abduh mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah kepada setiap anak yatim akan hartanya bila telah dewasa, dan berikan kepada tiap-tiap perempuan akan maharnya, kecuali apabila salah satunya belum sempurna akalnya sehingga tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik.
Pada kondisi demikian kamu dilarang memberikan harta kepadanya agar tidak disia-siakannya, dan kamu wajib memelihara hartanya itu sehingga ia dewasa.
Perkataan amwaalakum (hartamu) bukan amwaalahum (harta mereka), yang berarti firman itu ditujukan kepada para wali, sedangkan harta itu milik as-sufaha yang ada didalam kekuasaan mereka, menunjukkan beberapa hal.
Pertama, bahwa apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si safih(anak yang belum/kurang sempurna akalnya) untuk memenuhi kebutuhannya, maka wajib bagi si wali untuk memberinya nafkah dari hartanya sendiri. Dengan demikian, habisnya harta si safih menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta si wali. Alhasil, harta si safih itu seakan-akan hartanya sendiri.
Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah dewasa dan harta mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya sebagaimana layaknya orang dewasa (normal), dan dapat menginfakkannya sesuai dengan tuntunan syariat untuk kemaslahatan umum atau khusus, maka para wali itu juga mendapatkan bagian pahalanya.
Ketiga, kesetiakawanan sosial dan menjadikan kemaslahatan dari masing-masing pribadi bagi yang lain, sebagaimana telah kami katakan dalam membicarakan ayat-ayat yang lain.
(mhy)