Ketika Orientalis Montgomery Watt Bicara tentang Kesempurnaan dan Kemandirian Islam

Jum'at, 30 Desember 2022 - 09:52 WIB
loading...
Ketika Orientalis Montgomery...
William Montgomery Watt. Foto/Ilustrasi: AP/masjidma
A A A
Pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat, William Montgomery Watt (1909-2006), bicara tentang kesempurnaan dan kemandirian Islam memulainya dengan kisah nasib perpustakaan Alexandria tatkala pasukan Islam menduduki wilayah itu pada tahun 641 Masehi.

Sekadar mengingatkan Montgomery Watt adalah seorang profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, College de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen.

Menyangkut hal kerohanian, Montgomery Watt adalah pendeta (reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis Terakhir".

Dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temu Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama, 1996), Montgomery Watt mengungkap sebuah kisah ketika Alexandria diduduki pada tahun 641 Masehi, maka komandan perang Arab menulis kepada Khalifah Umar ibn Khattab di Madinah.



Berikut selengkapnya tulisan William Montgomery Watt tersebut:

Sungguhpun saya pada suatu waktu lebih memperhatikan signifikansi kisah tentang perpustakaan Alexandria yang diberitakan oleh Edward Gibbon dalam sejarah kekaisaran Roma, hal ini agaknya menjadi titik penting yang secara singkat merupakan pengulangan yang cukup bermanfaat.

Ketika Alexandria diduduki pada tahun 641 Masehi, maka komandan perang Arab menulis kepada khalifah Umar ibn Khattab di Madinah. Surat yang dikirim ini menanyakan tentang apa yang seharusnya dilakukan berkenaan dengan perpustakaan yang termasyhur itu.

Lalu, komandan Arab ini menerima jawaban tegas dari Khalifah Umar, "Apabila buku-buku yang ada di perpustakaan itu bermanfaat dan sesuai dengan Al-Qur'an, maka buku-buku itu tidak boleh dirusak. Apabila buku-buku yang ada di perpustakaan itu tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan bahkan berbahaya, maka secara pasti harus dihancurkan."

Memang benar, kisah pengiriman surat dari komandan dan jawaban dari khalifah ini berasal dari sumber orang Islam. Namun Gibbon agak meragukan akurasi kisah ini dan para ahli sejarah berpikir bahwa perpustakaan ini rupanya yang dipindahkan dari Alexandria sebelum pendudukan Islam.

Bahkan apabila faktisitasnya ditolak, maka kisah ini menunjukkan sikap yang telah mendetermin persepsi para ulama Islam maupun para ilmuwan muslim berabad-abad lamanya, dan masih tetap berlaku demikian.



Mereka yakin bahwa Islam adalah agama terakhir dan bahwa di dalam Al-Qur'an dan Hadis (kisah-kisah anekdot tentang Muhammad), Islam memiliki sifat-sifat dasar seluruh agama dan seluruh kebenaran moral yang dituntut oleh sekalian bangsa manusia dari sekarang sampai akhir zaman. Maka dari itulah, pada bidang keagamaan dan moral, Islam tidak perlu belajar dari sistem berfikir lain dari luar Islam.

Kisah ini bersama dengan kisah yang lain agaknya merupakan pertimbangan yang berharga, yang kemungkinan besar dapat menjadi kebenaran yang penting.

Ulama pertama yang mempelajari Tasawuf adalah Al-Harits al-Muhassibi (meninggal 857 Masehi). Orang ini menulis sebuah buku yang berjudul Refutation of the Mu'tazilites -- Sanggahan terhadap Golongan Mu'tazilah -- (sebuah sekta yang dianggap sebagai bid'ah oleh mainstream Sunni).

Sekte ini secara menyeluruh dikritik oleh ulama yang lebih tua, Ahmad ibn Hanbal (meninggal 855 Masehi), sang pendiri mazhab Fiqh Hanbaliah. Yang dikritik oleh Imam Hanbali ini adalah karena Al-Muhassibi sebelum menolak ajaran-ajaran bid'ahnya Mutazilah ini, telah memberikan pertimbangan yang cukup sempurna dan agak obyektif, dan Imam Ibn Hanbal merasa khawatir kalau orang akan membaca ajaran-ajaran yag salah dan menerima ajaran-ajaran salah itu tanpa memperhatikan penolakannya.

Sikap ini merupakan ikhtiar untuk melindungi umat Islam dari mendengarkan ajaran salah yang menonjol pada praktik ulama Islam yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.

Pernyataan ini agaknya menunjukkan rasa tidak percayanya akan kemampuan pemikiran manusia awam untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Kemungkinan rasa tidak percaya ini berkaitan dengan keyakinan bahwa kebenaran wahyu itu terutama tidak didukung oleh akal, melainkan didukung oleh mukjizat-mukjizat yang dijamin oleh Allah kepada nabi yang menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia.

Akibat sikap ulama ini, maka mereka berusaha secara terus-menerus untuk mencegah golongan masyarakat Islam awam agar senantiasa terhindar dari ajaran bid'ah dan ajaran yang salah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2266 seconds (0.1#10.140)