Tragedi Perang Salib dan Kolonialisme Eropa Menurut Montgomery Watt

Selasa, 03 Januari 2023 - 14:58 WIB
loading...
A A A
Mungkin ekspresi paling baik dari pandangan Kristen kontemporer yang seimbang tentang Perang Salib dapat diperoleh dalam kata-kata Sir Steven Runciman, pada kesimpulan ketiga buku sejarahnya tentang Perang Salib:

Kemenangan pasukan Perang Salib adalah kemenangan iman. Namun iman tanpa kebijaksanaan adalah berbahaya. Sejarah dengan undang-undang hukum adalah tidak dapat ditawar-tawar, seluruh dunia harus membayar kejahatan dan kebodohan semua warga negaranya.

Dalam rangka memperpanjang interaksi dan fusi antara Timur dan Barat dari peradaban kita yang tumbuh berkembang, maka Perang Salib adalah episoda yang tragis dan destruktif.

Sejarawan telah menengok ke belakang berabad-abad lamanya pada kisah mereka yang gagah berani, mesti mendapatkan kebanggaan yang berlawanan dengan penderitaan pada persaksian yang membuka batas-batas hakekat manusia.

Demikian banyak keberanian dan sedemikian sedikit penghargaan, demikian banyak kesetiaan dan demikian kecilnya pengertian dan pemahaman. Cita-cita yang tinggi dan agung dinodai oleh kekejaman dan kerakusan, keberanian dan ketabahan dinodai oleh kebutaan dan kesalihan diri yang picik. Perang suci itu sendiri tidak lebih lama dari gerakan intoleran atas nama Tuhan, yang merupakan perbuatan dosa melawan Roh Kudus.



Menghadapi jawaban yang telah kita kembangkan tentang kontribusi Perang Salib terhadap persepsi-persepsi Kristen terhadap Islam adalah jawaban yang sedikit mereka rubah.

Banyak orang Kristen yang mengapresiasikan keperwiraan dan kemurahan hati seorang Saladin, namun hanya sedikit karya ilmiah yang dibuat. Para ilmuwan Eropa Barat dan Perancis yang menciptakan gambaran baru dan lebih terinci tentang Islam di negeri-negeri Perang Salib, secara pasti hampir memperkuat hasrat bagi inforrnasi yang lebih banyak dan lebih akurat.

Persepsi Islam kontemporer tentang Perang Salib secara implisit berbeda dengan persepsi Kristen. Mayoritas umat Islam memandang Perang Salib tidak lebih dari insiden kekejaman dan kebengisan umat Kristen yang jauh melampaui batas, dapat diperbandingkan dengan persepsi Inggris tentang peristiwa yang terjadi di barat laut India-Inggris di abad sembilan belas.

Kekhalifahan di Baghdad yang diinformasikan namun tidak menarik itu, walau memang tidak memiliki kekuatan politik sebenarnya di masa itu. Pencuri yang mengontrol kekuatan dunia luar adalah dinasti Saljuk, namun pusat-pusat utamanya adalah beratus-ratus mil sebelah timur Baghdad.

Bila mereka mendengarkan tentang Perang Salib, mereka akan memandang Perang Salib ini sebagai varian semata dari bentuk perselisihan yang terus-menerus berlangsung di kawasan khusus ini selama paruh akhir abad ini.

Tentu saja berbeda karena bagi umat Islam yang terpengaruh secara langsung, sungguhpun mereka terbiasa dengan ekspedisi-ekspedisi penggerebegan Byzantine. Segera mereka menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara bangsa Byzantine, bangsa Rum dan bangsa Frank atau Franj, namun boleh jadi mereka masih belum sadar akan motif-motif dan tujuan- tujuan keagamaan lebih lanjut.

Sebagaimana yang telah dicatat, sebagian pemimpin muslim berencana untuk ikut beraliansi dengan para pemimpin Kristen dalam memerangi rival-rival mereka yang muslim.



Seruan Jihad
Semenjak bangsa Frank menetap di negeri-negeri Salib dalam waktu yang lama, mereka mengadopsi adat-istiadat dan pakaian lokal, mereka nampak tidak berbeda dengan pemimpin-pemimpin muslim.

Usaha menciptakan kekuatan yang tangguh sepenuhnya diikhtiarkan untuk menggagalkan para partisipan Perang Salib, dimulai ketika seorang lelaki yang bernama Zengis yang ditunjuk sebagai gubemur Mosul oleh Sultan Saljuk di tahun 1127 Masehi dan sejak tahun 1144 Masehi sudah benar-benar kuat untuk mendapatkan kembali Edessa.

Putranya yang menggantikan kedudukan Zengis ini dikirim menjadi prajurit untuk melawan dinasti Fatimiah di Mesir pada tahun 1169 Masehi.

Pada tahun ini juga jenderal wafat, kemenakan lelaki Saladin menduduki jabatan Zengis ini, maka segeralah Saladin menyatakan dirinya sebagai penguasa Mesir.

Pada tahun 1174 Masehi atas kematian putra Zengis, ia diperkenalkan oleh khalifah sebagai sultan di seluruh kawasan mulai dari kota Mosul sampai kota Kairo. Selain konsultasi pemerintahannya atas wilayah ini. Tujuan yang utama adalah untuk memukul mundur negeri-negeri yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib. Dengan cara ini, secara luas Saladin menggantikan wilayah-wilayah negeri yang ikut aktif dalam Perang Salib menjadi berada di bawah kekuasaan Islam, menaklukkan Jerusalem di tahun 1187 Masehi.

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3680 seconds (0.1#10.140)