Tragedi Perang Salib dan Kolonialisme Eropa Menurut Montgomery Watt

Selasa, 03 Januari 2023 - 14:58 WIB
loading...
A A A
Para serdadu yang ikut berpartisipasi dalam Perang Salib berkumpul di Constantinople di tahun 1097 Masehi, lalu bergerak ke selatan lewat Asia Kecil, dan pada gilirannya mereka dapat merebut kota Jerusalem di tahun 1099 Masehi.

Empat negara Perang Salib yang berdiri adalah: kerajaan Jerusalem, Antioch, Edessa dan Tripoli. Edessa direbut kembali oleh umat Islam di tahun 1144 Masehi, namun Jerusalem tetap bertahan 1187 Masehi.

Sama sekali ada penggabungan ke Perang Salib dan ekspedisi-ekspedisi yang lain pada suatu tipe Perang Salib, sebagian di Eropa menentang heretika (bid'ah) Kristen. Namun hasil yang paling solid menentang umat Islam adalah perebutan Acre dan sebidang pesisir Palestina di tahun 1991 Masehi dan peninggalan mereka selama satu abad.

Dalam waktu yang lama umat Kristen menunjukkan pembasmian etnis manusia besar-besaran dalam suasana yang romantis. Diasosiasikan dengan semangat agama dan sarat dengan cita-cita kesatriaan Kristen. Dengan baik hal ini dapat diapresiasikan oleh Shakespeares dalam judul buku Henry IV, bab I, dimana letaknya untuk terus mengadakan pembunuhan besar-besaran, bukan sekedar sebagian bantuan sebagai cita-cita menuju perjuangan akhir antara zaman Pencerahan, melainkan juga sebagai tugas Kristen:



Oleh karena itu, teman-teman,
Sejauh kuburan Kristus
Yang kini mempunyai prajurit,
di bawah berkat kayu Salib Kita terkesan
dan harus berjuang
Segera kekuatan Inggris akan kita tarik,
Yang mempunyai prajurit yang dibentuk di rahim ibunya
Untuk memburu orang-orang pagan di tempat suci ini
Atas orang yang berjalan kaki penuh berkah
Yang terpaku selama empat belas abad yang lalu
Demi kesempatan kami di tiang salib yang menyakitkan.
(I Henry IV, I.i. 18-27)

Gerakan Agresif

Kata "crusade" sekarang telah lazim dipakai secara umum untuk arti "gerakan agresif atau kegiatan menentang kejahatan publik, atau institusi atau sekelompok orang yang dianggap sebagai jahat."

Kata ini kini lazim dipakai oleh para jurnalis di hampir semua jenis pekerjaan untuk menyatakan menuju kebaikan, bahkan ketika kekuatan kecil yang agresif itu berkembang.



Walaupun demikian, banyak orang Kristen memahami asal-usul Perang Salib yang asli adalah demi mendapatkkan kembali Tempat-Tempat Suci pada cahaya yang berbeda.

Kata "Crusade" ini bukan hanya anggota anti-perang dan anti-sumpah atau Masyarakat Persaudaraan yang melihat bahwa tidak ada perang yang diperbolehkan berdasarkan atas prinsip-prinsip Kristen.

Sungguhpun demikian, bahkan pada abad ke-18 para sejarawan mulai berpikir kritis tentang keseluruhan ide Perang Salib (atau pembasmian manusia).

Edward Gibbon adalah seorang pemikir bebas yang menentang sistem Gereja, yang tidak mempunyai belas kasihan membeberkan penjarahan dan pembunuhan besar-besaran yang mengambil tempat ketika pasukan Perang Salib merebut Jerusalem di tahun 1099 Masehi.

Bahkan pemuja seperti sang novelis romantis, Sir Walter Scott, yang sadar akan kekejaman dan kebengisan heronya Richard Yang Berhati Singa (Richard the Lionheart). Pada pendahuluan kisahnya tentang peristiwa-peristiwa Perang Salib, The Talisman, dia menulis:

Periode yang lebih langsung berkaitan dengan Perang Salib yang terakhir saya putuskan adalah ciri khas Richard I yang suka perang, liar dan dermawan, pola kekesatriaan dengan semua kebaikan yang luar biasa dan tidak kurang dari kesalahan-kesalahannya yang absurd, yang menentang Pangeran Saladin (Shalahuddin al-Ayyubi) di mana monarki Kristen dan Inggris mempertontonkan semua kekejaman dan kebengisan yang mendukung karakter raja Timur.

Di pihak lain, pangeran Saladin memperlihatkan kebijakan yang mendalam dan kebijaksanaan penguasa Eropa. Semua ini dikandung makna bahwa Saladin mempunyai kemampuan kualitas kekesatriaan dan keperwiraan yang baik, murah hati dan berani, yang melampaui yang lain.



Tentang sejarawan dunia Islam, keseluruhan konsepsi Perang Salib adalah bersifat membabi buta dan gila. Paus dan semua yang mengorganisir angkatan bersenjata akan dapat sedikit punya ide tentang kondisi yang akan mereka hadapi, meskipun telah mengadakan perjalanan ke Jerusalem.

Mereka tidak punya sedikit ide tentang peluasan kekuasaan muslim. Berbagai kesuksesan yang mereka raih barangkali karena sekitar tahun 1100 Masehi umat Islam Palestina dan Syria biasanya berada di bawah kekuasaan khalifah di Baghdad, merupakan negeri-negeri kecil merdeka yang saling bersitegang satu dengan yang lain, namun kadangkala siap-sedia bekerja sama dengan raja-raja Kristen untuk menentang rival-rival negeri Islam. Karena negeri-negeri itu berada di bawah penguasa muslim yang kuat, maka nasib negeri-negeri Kristen segera tertutup.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4344 seconds (0.1#10.140)