Tragedi Perang Salib dan Kolonialisme Eropa Menurut Montgomery Watt

Selasa, 03 Januari 2023 - 14:58 WIB
loading...
A A A
Beberapa tahun sebelum peristiwa di atas terjadi, pangeran Saladin telah menyerukan jihad atau perang suci melawan umat Kristen. Beliau mengumandangkan jihad ini karena kebodohan baru yang diakibatkan pemimpin Kristen yang mengirim armada ke Laut Merah dari Teluk Aqabah dan pada tahun 1182 Masehi menenggelamkan kapal milik orang muslim yang melewati rute perjalanannya ke Mekkah.

Insiden ini begitu dikenal secara luas dan makin meningkatkan kemarahan dunia Islam yang lebih besar ketimbang berdirinya negeri-negeri Franka. Kendatipun demikian, secara pribadi Saladin tetap ramah kepada umat Kristen, paling kurang pada waktu itu. Namun hubungan-hubungan mesra ini hanya sedikit meningkatkan persepsi Islam terhadap Kristen.

Ada catatan yang cukup baik dari sejarawan kenamaan, Ibnu al-Athir (1160-1233 Masehi). Sejarawan ini adalah penduduk Mosul dan pernah ikut secara aktual dalam barisan tentara pangeran Saladin.

Dia mencatat penaklukan Antioch oleh bangsa Frank di tahun 491 Hijrah (1098 Masehi). Namun ia memandang agresi bangsa Frank ini telah didahului oleh pendudukan Toledo pada tahun 478 Hijrah (1085 Masehi) dan Sicilia pada tahun 484 Hijrah (1091 Masehi).

Peristiwa pendudukan ini mengantarkannya untuk berpikir tentang gerakan Perang Salib sebagai orang Kristen yang melawan umat Islam, namun sama sekali gerakan ini bukan sebagai aktivitas yang terpusat dan hanya sebagai salah satu dari sejumlah tema yang luas yang ditindak lanjuti pada periode itu. Bahkan persepsinya tentang Perang Salib adalah sebagai jihad yang tidak mungkin disumbangkan oleh mayoritas umat Islam di Irak dan negeri-negeri lain di timur.



Pada gilirannya penting untuk menyatakan bahwa umat Islam kini memandang Perang Salib sebagai awal dimulainya kolonialisme Eropa.

Pandangan ini bukan berasal dari para sejarawan muslim tempo dulu, melainkan akibat umat Islam datang ke Barat sebagai mahasiswa dan mempelajari tulisan-tulisan para sejarawan Barat. Mereka mencatat bahwa ada kesejajaran bentuk antara Perang Salib dan kolonialisme yang mereka alami di negeri-negeri asalnya.

Barangkali sebagian mustahil bagi orang yang sedemikian jauh seperti Kolonel Qadhafi di Libya dan invasi Napoleon di Mesir pada tahun 1798 Masehi sebagai Perang Salib ke-9 dan berdirinya negeri Israel berkat bantuan Amerika sebagai Perang Salib ke sepuluh.

Tentu saja, ini bukan peristiwa Perang Salib yang sesungguhnya. Sebagian golongan fundamentalis "Kristen Bibel" yang memang telah menyambut negeri Israel sebagai pemenuhan kebutuhan yang diidam-idamkan dan hal itu dilihat sebagai bukti kebenaran Bibel dan penolakan terhadap kritik apapun tentang kebenaran Bibel ini.

Sementara di pihak lain, sebagian besar umat Kristen melihat penempatan Tempat-tempat Suci Kristen di tangan bangsa Yahudi itu benar-benar sebagai bertentangan dengan tujuan Perang Salib.

Maka secara historis, pemikiran Kristen dewasa ini amat tidak bangga kepada Perang Salib dan memperkenankan adanya unsur kolonialisme terhadap Perang Salib itu. Akan tetapi dia melihat bukan kesinambungan dan identitas antara gerakan Perang Salib dan kolonialisme Eropa selama abad-abad belakangan ini.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1691 seconds (0.1#10.140)