Iman Tidak Cukup Hanya Sikap Batin Belaka, Begini Penjelasannya

Senin, 16 Januari 2023 - 17:36 WIB
loading...
Iman Tidak Cukup Hanya Sikap Batin Belaka, Begini Penjelasannya
Iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews
A A A
Pengertian iman secara umum, yaitu sikap percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing rukun iman yang enam, sebagaimana diyakini akidah Sunni.

Cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur menjelaskan karena percaya pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu adalah wajar dan benar.

Kendati demikian, kata Cak Nur dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah", dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan.

Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan.



Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Iman mengatakan dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "Demi Allah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab, "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."

Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesama kamu!"

Ibnu Taimiyah mengatakan keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."

Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan "melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan baik atau budi pekerti luhur.



Cak Nur mengatakan berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al-birr), yaitu:

Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." ( QS 2 :177).

Oleh karena itu, menurut Ibnu Taimiyah , perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada Tuhan (al-din)

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2187 seconds (0.1#10.140)