Puasa Ramadhan dan Rasa Syukur

Kamis, 17 Mei 2018 - 16:43 WIB
Puasa Ramadhan dan Rasa Syukur
Puasa Ramadhan dan Rasa Syukur
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation

“Tidakkah saya seharusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur?” (Muhammad SAW).

ORANG berpuasa karena ragam motivasi. Ada yang melakukannya karena sadar bahwa itu kewajiban. Ada pula yang memang karena sekadar terbawa lingkungan sekitar alias ikut-ikutan. Ada juga yang menyadari bahwa puasa itu adalah salah satu kebutuhan manusia dalam hidupnya.

Dari sekian banyak motivasi, tiada lagi yang lebih tinggi dan mulia dari sebuah kesadaran melakukannya karena rasa syukur. Yaitu menyadari secara penuh bahwa puasa itu adalah karunia yang luar biasa dari Allah SWT. Tidak sekadar kewajiban, tidak juga karena keperluan, apalagi karena didorong oleh keadaan.

Melakukan puasa karena merasa diwajibkan boleh jadi melahirkan perasaan terpaksa. Mau atau tidak mau harus dilakukan karena memang kewajiban. Tapi dalam hati boleh jadi timbul waswas dan rasa dipaksa melakukannya. Jika ini terjadi maka nilai puasa, baik secara pahala maupun sebagai kekuatan transformasi karakter, menjadi minim.

Akibatnya puasa menjadi amalan wajib tahunan yang hampa. Setelah Ramadhan semua kembali menjadi seperti biasa. Pahala kebaikan kembali modal karena sekadar melaksanakan kewajiban. Pesan moral puasa juga tidak efektif karena tidak menyentuh kesadaran terdalam.

Melakukan puasa karena kebutuhan juga berakhir dengan hasil yang kurang maksimal. Sebab melakukannya seolah memenuhi keinginan pribadi. Jika hal ini diungkapkan dalam bahasa negatif maka puasa seperti ini seolah sekadar memenuhi hawa nafsu.

Dan karenanya pilihan tertinggi adalah berpuasa karena memang menyadari jika puasa itu merupakan karunia besar dari Allah SWT. Sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya selama sebulan itu.

Menyadari kenikmatan puasa menjadikan berpuasa tidak saja mudah dan ringan. Puasa akan dilakukan dengan penuh gembira dan nikmat. Detik demi detik akan berlalu dengan kelezatan menjalankannya.

Ternyata memang syukur itu adalah fondasi utama dalam melakukan uhudiyah kepada Allah SWT. Bahwa ibadah bukan sekadar kewajiban agama yang ditujukan untuk mengumpulkan pahala. Tapi memang sebuah ekspresi iman untuk mengakui semua karunia nikmat Allah dalam hidup.

Dan ini pula rahasianya jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh isterinya yang terkagum dengan salat malam dan seluruh ibadahnya, lalu bertanya: “Kenapa engkau melakukan semua ini ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Tidakkah saya seharusnya menjadi hamba yang mampu bersyukur (kepada Allah)?”.

Semoga kita semua mampu mencapai tingkatan kesyukuran dalam menjalankan Ibadan puasa ini. Ringan, senang, tenang, dan merasakan lazzah ubudiyah (kelezatan ibadah) kepada Allah SWT. Amin!

Udara Dubai, 17 Mei 2018
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3387 seconds (0.1#10.140)