Puasa Eksis, Pahala Habis?

Sabtu, 02 Juni 2018 - 10:00 WIB
Puasa Eksis, Pahala Habis?
Puasa Eksis, Pahala Habis?
A A A
Ustaz Dr Miftah el-Banjary
Penulis dan Pakar Linguistik Arab Lulusan Institute of Arab Studies Cairo

Alhamdulillah, hari ini dapat menyempurnakan puasa dengan baik!” “Subhanallah, imam tarawih malam ini merdu sekali, seperti di Masjidil Haram!” “Barakallah! Bisa menyantuni anak yatim lagi pada bulan Ramadhan ini dan seperti tahun-tahun kemarin!”

Fenomena pengaruh media sosial beberapa tahun belakangan saat ini menjadikan kebanyakan orang ingin tampil eksis dengan cara mengupload segala hal yang berkenaan dengan pribadi dan aktivitasnya. Termasuk ibadah puasanya yang harusnya ia tidak pamerkan demi mencapai pujian dan sanjungan dari orang lain.

Tak jarang untuk menunjukkan eksistensi seorang yang sedang berpuasa, dia dengan bangganya memamerkan aktivitasnya mulai sahur, ritual ibadahnya, hingga aneka makanan penyajian berbuka puasa. Puasa hanya sekadar ingin memperoleh pengakuan dan sanjungan.

Sayangnya, fenomena sosial sebagian besar umat Islam hari ini hanya menjadikan ibadah sekedar ibadah simbolik, namun kehilangan subtansi, makna dan tujuannya. Kadang puasa hanya dimaknai sebagai ibadah tahunan sekedar ikut-ikutan agar terlihat baik dalam pandangan sosial.

Padahal sesungguhnya puasa adalah ibadah rahasia. Puasa memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan ibadah lainnya. Ibadah puasa adalah kerahasiaan yang terjaga antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Tidak ada yang mengetahui pastinya seseorang yang benar-benar berpuasa ataukah hanya pura-pura atau bahkan ia tidak berpuasa sama sekali, melainkan hanya Allah dan orang yang bersangkutan yang mengetahuinya.

Hakikat puasa yang harusnya menjadi ibadah tersembunyi antara sang makhluk pada Sang Khaliknya kemudian bergeser menjadi sebuah ibadah simbolik tanpa roh dan makna. Ibadah yang harusnya dijaga nilai kesucian dan keikhlasannya menjadi ternoda dengan perilaku riya dan sum’ah yang justru menghilangkan pahala serta makna puasa itu sendiri.

Padahal dalam hal pahala, Allah sendiri merahasiakannya serta menyediakan ganjaran pahala khusus bagi hamba-Nya yang berpuasa. Di dalam hadits Qudsi Allah berfirman, “Setiap anak Adam baginya ganjaran pahalanya, melainkan puasa sesungguhnya hanya untuk-Ku dan Aku sendiri yang mengganjar pahalanya.”

Adalah tradisi salafus shaleh pada jaman dahulu, mereka sangat merahasiakan amal ibadah mereka, termasuk puasa. Ada sebagian kalangan orang-orang shaleh dulu yang sering membahasi bibirnya dikala berpuasa, sehingga tidak ada orang yang menyangka mereka sedang berpuasa. Mereka tidak suka menampakkan dan memamerkan amal ibadah sebab dikhawatirkan mereka akan terjebak para sifat riya atau ujub (perasaan bangga melakukan kebaikan).

Rasa ujub dan riya menunjukkan kesombongan, sedangkan kesombongan akan meleburkan amal kebaikan. Sedangkan belum ada jaminan amal ibadah yang kita lakukan mutlak diterima oleh Allah. Sebagai hamba kita harusnya kita berpegang pada dua hal, Khauf (takut) dan Raja’ (penuh harapan). Khauf adalah perasaan kekhawatiran amal ibadah tidak diterima, sedangkan Raja’ harapan penuh agar ibadah itu benar-benar diterima di sisi Allah kelak.

Puasa seharusnya membentuk pribadi yang lebih tulus dan ikhlas mengemban perintah ibadah sebagai bagian dari bentuk ketaatan dan ketundukan. Puasa ibadah yang melatih amanah dan komitmen kerahasiaan antara sang Khalik dengan hamba-Nya.

Jika puasa diumbar dan dipamerkan hanya untuk memperoleh pujian dan sanjungan dari manusia, maka jadilah puasa menjadi kosong tanpa pahala. Justru sebaliknya akan mendatangkan kemurkaan dan dosa dari sang Khalik. Berdasarkan dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi, Nabi SAW bersabda: “Allah tidak akan menerima amal kebaikan yang di dalamnya terdapat perilaku riya, meskipun hanya sekadar satu dzarrah.”
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5580 seconds (0.1#10.140)