Santri Google (Bagian 2 Penutup)

Kamis, 07 Juni 2018 - 03:45 WIB
Santri Google (Bagian 2 Penutup)
Santri Google (Bagian 2 Penutup)
A A A
Prof Dr Jazi Eko Istiyanto
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),
Guru Besar Elektronika dan Instrumentasi UGM

Ilmu bukanlah sekumpulan fakta, sekalipun fakta adalah informasi yang sudah terverifikasi dan tervalidasi. Ilmu harus mencakup metode dan metodologi bagaimana fakta-fakta dapat diperoleh. Bahkan di kalangan mahasiswapun, tidak banyak yang mempertanyakan mengapa rumus Newton, Maxwell, Schroedinger dan sebagainya bentuknya seperti itu.

Saudara-saudara Nabi Yusuf, yang melakukan plot kepada Yusuf, mengarang ceritera bahwa Yusuf dimakan serigala, sambil menangis, membawa baju Yusuf yang dilumuri warna merah (darah palsu). Ayahnya, mudah sekali menyimpulkan bahwa mereka berbohong, karena bagaimana mungkin 10 (sepuluh) orang saudara Yusuf tidak mampu menyelamatkan Yusuf? Kalau mereka mengklaim meninggalkan Yusuf, atau lalai karena sibuk bermain, teriakan Yusuf dan gonggongan serigala seharusnya menyadarkan mereka (12:16-18).

Kebenaran dapat ditelusuri karena dalam jiwa manusia ada “software” yang “built-in” sejak di alam ruh. “Bukankah Aku Tuhanmu? Benar, kami bersaksi” (7:172). “Software” ini akan mengenali kebenaran. “Software” ini akan mendeteksi hoax. “Software” ini akan menuntun kita pada kebenaran. Kisah Yusuf dan isteri petinggi Mesir memberikan salah satu dasar ilmu forensik, yaitu bila baju Yusuf sobek di depan, maka Yusuf yang salah, dan bila sobek di belakang, maka Yusuf tidak bersalah (12:23-30).

Berpikir kritis, sering disamakan dengan Bani Israil yang menunda-nunda pelaksanaan perintah menyembelih sapi betina, dengan menanyakan detailnya (2:67-71). Alquran mendorong berpikir dalam 49 ayatnya, “afala ta'qilun” (apakah kalian tidak berpikir?), atau “ulil al-baab”(dari kata lubb), serta “ulin nuha” (dari kata nuhyah).

Syaikh Yusuf al-Qaradhawiy menulis buku “al-'aqlu wa al-'ilmu fi al-Qur'an al-Kariem” (Alquran berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan), menunjukkan bahwa tidak memanfaatkan nikmat Allah SWT berupa akal, mata, telinga, dan hati, akan membawa pemiliknya menjadi mahluk terburuk (8:22).

Namun, sejarah Islam diwarnai dengan munculnya kelompok Mu'tazilah yang “walk-out” dari majelis Hasan al-Basri, dan dikenal sebagai kelompok rasional. Mu'tazilah tidak sepenuhnya keliru. Mu'tazilah muncul menghadapi filsafat-filsafat asing, di antaranya filsafat Hellenic. Dikisahkan bahwa dengan pendekatan rasional, Washil Ibn 'Atho', pendiri Mu'tazilah berhasil mengislamkan 3.000 (tiga ribu) orang semasa hidupnya.

Yang keliru adalah Khalifah al-Makmun yang mengadopsi Mu'tazilah, dan menjadikannya ideologi negara, serta menginstitusikan lembaga al-mihnah (inquisition) yang dengannya memenjarakan Ahmad Ibn Hanbal karena tidak mengakui bahwa Alquran adalah ciptaan. Orang tidak bisa dihukum karena keyakinannya. Kebenaran itu dari Allah SWT. Siapa yang ingin beriman, silakan beriman. Siapa yang tidak ingin beriman, silakan tidak beriman (18:29).

Salah satu kontribusi Mu'tazilah adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang memunculkan kejayaan sains Islam yang diwakili dengan nama-nama Ibn Sina, Al-Khuwarizmi, Ibn Hayyan, dan lain sebagainya. Tentu, tulisan ini, tidak mengajak mengikuti Mu'tazilah. Tetapi, ada sisi-sisi baik Mu'tazilah, dan ada sisi-sisi kurang baik, seperti halnya kelompok lain.

Mu'tazilah bukan suatu madzhab (school of thoughts). Barangkali, kita takut berpikir karena khawatir “terjerumus” ke dalam Mu'tazilah. Padahal, enggan berpikir adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap nikmat akal.

Banyak ustaz, kyai, syaikh, yang meng-upload ceramah mereka di Youtube, memiliki personal web, dan memanfaatkan berbagai peluang teknologi informasi untuk melakukan dakwahnya. Tanpa santri Google, khazanah ilmu yang ada di internet dan sosial media, tidak ada yang memanfaatkannya. Banyak muslim yang karena sifat pekerjaannya, tidak memiliki kesempatan untuk duduk di majelis ilmu agama. Supply and demand!

Tidak satupun kita, hadir secara fisik di majelis Rasulullah 1.400 tahun yang lalu. Ajakan yang tepat, bukan “Istirahatkan akal kalian di hadapan ayat-ayatNya”, tetapi “Maksimalkan akal kalian untuk memahami ayat-ayatNya”.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4080 seconds (0.1#10.140)