Esensi Puasa itu Menahan (Bagian 2)
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Sesungguhnya defenisi puasa itu secara fiqh sangat sederhana. Dalam buku-buku fiqh kita menemukan defenisi itu sebagai berikut:
“Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT”. (Baca Juga: Puasa dengan Syukur (Bagian 1))
Dari defenisi itu dipahami bahwa substansi dasar puasa adalah “menahan”. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut “al-imsaak” inilah yang menjadi essendo dari puasa.
Dalam Alqur'an misalnya, menahan diri dari barbicara juga diistilahkan “shoum”. Seperti yang disebutkan dalam Alqur'an pada kisah Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Isa AS).
“Inni nadzartu lirRahmani shouma” (sesungguhnya Aku telah berjanji atau nadzar kepada Allah untuk menahan diri (shaoum)”. Makna menahan diri di sini adalah menahan diri dari berbicara.
Rasulullah SAW juga menasehatkan agar di saat seseorang diajak bertengkar atau berkelahi hendaknya berkata: saya berpuasa (inni shoo-im). Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.
Dengan demikian jelaslah bahwa intisari dari puasa adalah al-imsak atau menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa objek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada “pengendalian hawa nafsu”.
Hawa berarti keinginan (desire). Sedangkan nafsu berarti diri (ego). Dengan demikian puasa dalam arti menahan berarti menahan diri dari dorongan hawa nafsu (ego).
Di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi (kerusakan) yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Dalam Islam hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Hawa nafsu itu esensial (mendasar) dalam menjaga kesinambungan hidup dunia. Karena dunia memang identik dengan hawa nafsu. Dan tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (non exist).
Karenanya, sekali lagi Islam sebagai agama yang secara alami sejalan dengan hidup manusia tidak mematikan dorongan atau keinginan (nafsu). Ambillah sebagai contoh hawa nafsu manusia kepada Lawan jenis. Islam tidak mematikan, tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Islam hanya mengarahkan dan mengaturnya.
Untuk tujuan itu, Allah mengatur hubungan manusia dalam lawan jenis itu dengan sebuah institusi sakral yang disebut pernikahan. Dengannya hawa nafsu manusia tersalurkan, bahkan menjadi pintu keberkahan.
Hingar bingar pembangunan kota-kota dunia, gedung-gedung pencakar langit di kota New York, bukan untuk disalahkan. Itu bagian dari eksistensi nafsu yang memang secara alami dijadikan bagian dari hidup manusia.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini juga merupakan konsekwensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan kemajuan peradaban materi itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia.
Pembangunan dan kemajuan dalam kehidupan dunia itu dalam pandangan Islam justru menjadi bagian dari kebaikan (hasanah) kehidupan itu sendiri.
Celakanya memang ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu kemudian lepas kendali. Nafsu menjadi penentu hidup bahkan menjadi tujuan tertinggi (ultimate goal) kehidupan. Manusia hidup seolah tidak ada lagi yang penting dalam hidupnya selain memenuhi hawa nafsu dunianya.
Jika ini terjadi maka dunia tidak lagi sebagai sumber hasanah (kebaikan) bagi manusia. Sebaliknya menjadi sumber kesengsaraan dan kehancurannya.
Dunia tidak lagi menjadi objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi “tuhan kecil” dalam hidup.
Seperti yang diingatkan oleh Alquran: “Tidakkah anda melihat siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai tuhan?”.
Dalam dunia modern saat ini, kecenderungan hawa nafsu menjadi tuan (master) merupakaan penyakit kronis dunia yang sangat berbahaya. Penyembahan materi atau yang lebih dikenal dengan “materialisme” telah membawa berbagai malapetaka kehidupan. Ketamakan manusia menjadikannya buta nurani untuk melihat nilai-nilai kebajikan dan kasih sayang.
Ambillah contoh kekerasan dan peperangan-peperangan yang terjadi sepanjang masa. Ribuan bahkan jutaan manusia telah menjadi korban karena kecenderungan nafsu manusia yang diperbudak oleh dunia.
Dari sekian banyak marabahaya materialisme, mungkin penyakit “al-khauf wal-hazn” (ketakutan dan kesedihan) adalah bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia.
Saat ini manusia bukan lebih miskin dari masa-masa lalu. Bukan pula karena uang itu lebih sedikit dari masa lalu. Atau karena fasilitas dunia lebih sedikit dari masa lalu.
Yang ada adalah di tengah kemajuan dan kekayaan itu manusia justeru tidak pernah merasa cukup. Inilah yang menumbuhkan rasa takut dan sedih yang menjadikannya akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak pernah bisa terpuaskan.
Ketidak mampuan untuk merasakan kepuasan atau “al-ghina” (perasaan cukup) ini boleh jadi telah menjadi bagian dari “thoommah shugra” (kehancuran kecil) dalam hidup manusia. Hilangnya kepuasan manusia telah menjadi jahannam kehidupan yang nyata.
Semakin kaya semakin merasa miskin. Semakin kuat semakin ketakutan. Semakin maju alat kecantikan, perceraian semakin menjadi-jadi. Semakin popular semakin kesepian. Dan semakin terdidik semakin bodoh.
Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan oleh hilangnya kendali hawa nafsu. Maka puasa adalah karunia dan berkah besar dari Allah untuk hamba-hambaNya. Dengannya manusia mampu membangun kendali hawa nafsu, melatih hati hati nurani untuk mengambil alih kendali kehidupan.
Dengan puasa kita belajar menjadi “tuan” bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi “hamba sahaya” bagi hawa nafsu. Semoga!
Presiden Nusantara Foundation
Sesungguhnya defenisi puasa itu secara fiqh sangat sederhana. Dalam buku-buku fiqh kita menemukan defenisi itu sebagai berikut:
“Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT”. (Baca Juga: Puasa dengan Syukur (Bagian 1))
Dari defenisi itu dipahami bahwa substansi dasar puasa adalah “menahan”. Kata menahan, yang dalam bahasa agamanya disebut “al-imsaak” inilah yang menjadi essendo dari puasa.
Dalam Alqur'an misalnya, menahan diri dari barbicara juga diistilahkan “shoum”. Seperti yang disebutkan dalam Alqur'an pada kisah Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Isa AS).
“Inni nadzartu lirRahmani shouma” (sesungguhnya Aku telah berjanji atau nadzar kepada Allah untuk menahan diri (shaoum)”. Makna menahan diri di sini adalah menahan diri dari berbicara.
Rasulullah SAW juga menasehatkan agar di saat seseorang diajak bertengkar atau berkelahi hendaknya berkata: saya berpuasa (inni shoo-im). Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.
Dengan demikian jelaslah bahwa intisari dari puasa adalah al-imsak atau menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa objek terutama dan terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada “pengendalian hawa nafsu”.
Hawa berarti keinginan (desire). Sedangkan nafsu berarti diri (ego). Dengan demikian puasa dalam arti menahan berarti menahan diri dari dorongan hawa nafsu (ego).
Di sinilah sesungguhnya letak urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi (kerusakan) yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Dalam Islam hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Hawa nafsu itu esensial (mendasar) dalam menjaga kesinambungan hidup dunia. Karena dunia memang identik dengan hawa nafsu. Dan tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (non exist).
Karenanya, sekali lagi Islam sebagai agama yang secara alami sejalan dengan hidup manusia tidak mematikan dorongan atau keinginan (nafsu). Ambillah sebagai contoh hawa nafsu manusia kepada Lawan jenis. Islam tidak mematikan, tidak dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Islam hanya mengarahkan dan mengaturnya.
Untuk tujuan itu, Allah mengatur hubungan manusia dalam lawan jenis itu dengan sebuah institusi sakral yang disebut pernikahan. Dengannya hawa nafsu manusia tersalurkan, bahkan menjadi pintu keberkahan.
Hingar bingar pembangunan kota-kota dunia, gedung-gedung pencakar langit di kota New York, bukan untuk disalahkan. Itu bagian dari eksistensi nafsu yang memang secara alami dijadikan bagian dari hidup manusia.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini juga merupakan konsekwensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan kemajuan peradaban materi itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia.
Pembangunan dan kemajuan dalam kehidupan dunia itu dalam pandangan Islam justru menjadi bagian dari kebaikan (hasanah) kehidupan itu sendiri.
Celakanya memang ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu kemudian lepas kendali. Nafsu menjadi penentu hidup bahkan menjadi tujuan tertinggi (ultimate goal) kehidupan. Manusia hidup seolah tidak ada lagi yang penting dalam hidupnya selain memenuhi hawa nafsu dunianya.
Jika ini terjadi maka dunia tidak lagi sebagai sumber hasanah (kebaikan) bagi manusia. Sebaliknya menjadi sumber kesengsaraan dan kehancurannya.
Dunia tidak lagi menjadi objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi “tuhan kecil” dalam hidup.
Seperti yang diingatkan oleh Alquran: “Tidakkah anda melihat siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai tuhan?”.
Dalam dunia modern saat ini, kecenderungan hawa nafsu menjadi tuan (master) merupakaan penyakit kronis dunia yang sangat berbahaya. Penyembahan materi atau yang lebih dikenal dengan “materialisme” telah membawa berbagai malapetaka kehidupan. Ketamakan manusia menjadikannya buta nurani untuk melihat nilai-nilai kebajikan dan kasih sayang.
Ambillah contoh kekerasan dan peperangan-peperangan yang terjadi sepanjang masa. Ribuan bahkan jutaan manusia telah menjadi korban karena kecenderungan nafsu manusia yang diperbudak oleh dunia.
Dari sekian banyak marabahaya materialisme, mungkin penyakit “al-khauf wal-hazn” (ketakutan dan kesedihan) adalah bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia.
Saat ini manusia bukan lebih miskin dari masa-masa lalu. Bukan pula karena uang itu lebih sedikit dari masa lalu. Atau karena fasilitas dunia lebih sedikit dari masa lalu.
Yang ada adalah di tengah kemajuan dan kekayaan itu manusia justeru tidak pernah merasa cukup. Inilah yang menumbuhkan rasa takut dan sedih yang menjadikannya akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak pernah bisa terpuaskan.
Ketidak mampuan untuk merasakan kepuasan atau “al-ghina” (perasaan cukup) ini boleh jadi telah menjadi bagian dari “thoommah shugra” (kehancuran kecil) dalam hidup manusia. Hilangnya kepuasan manusia telah menjadi jahannam kehidupan yang nyata.
Semakin kaya semakin merasa miskin. Semakin kuat semakin ketakutan. Semakin maju alat kecantikan, perceraian semakin menjadi-jadi. Semakin popular semakin kesepian. Dan semakin terdidik semakin bodoh.
Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan oleh hilangnya kendali hawa nafsu. Maka puasa adalah karunia dan berkah besar dari Allah untuk hamba-hambaNya. Dengannya manusia mampu membangun kendali hawa nafsu, melatih hati hati nurani untuk mengambil alih kendali kehidupan.
Dengan puasa kita belajar menjadi “tuan” bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi “hamba sahaya” bagi hawa nafsu. Semoga!
(rhs)