Kisah Nabi Musa Menampar Wajah Malaikat Maut

Kamis, 05 Desember 2019 - 05:15 WIB
Kisah Nabi Musa Menampar...
Kisah Nabi Musa Menampar Wajah Malaikat Maut
A A A
Musa 'alaihissalam (AS) adalah seorang Nabi yang punya kedudukan (terkemuka) dan pemimpin yang mudah berinspirasi, sehingga mampu mengendalikan umat yang tabiatnya keras. Beliau juga dikenal karakter ragu-ragu menghadapi beragama persoalan seperti kepemimpinan dan kebijaksanaan.

Syeikh Umar Sulaiman Al-Asyqor (Guru Besar Universitas Islam Yordania) mengulas kisah Nabi Musa menampar wajah Malaikat maut yang berwujud manusia dalam Kitabnya "Kisah-kisah Shahih Seputar Para Nabi dan Rasul".

Ketika Malaikat maut datang kepada Nabi Musa, kemudian meminta izin untuk mencabut nyawanya, maka Nabi Musa menampar Malaikat itu hingga rusak matanya. Malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud seorang laki-laki. Kemudian Musa diberi pilihan antara berpindah ke sisi Tuhannya atau tetap hidup di dunia dalam masa yang lama, sebelum datang kepadanya kematian.

Akan tetapi Musa memilih berpindah ke sisi Tuhannya, atas sulitnya kehidupan dunia dan ujiannya. Maka Allah Ta'ala memenuhi permohonannya, kemudian mendekatkannya ke Tanah Suci sejauh lemparan baju. Sehingga kuburannya terletak di sebelah timur Tanah Suci.

Dalam hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA berkata, "Malaikat maut diutus kepada Musa. Ketika dia datang, Musa menamparnya. Lalu Malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, 'Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.’ Lalu Allah mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa).

Allah berfirman kepadanya, "Kembalilah kepada Musa. Katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya. Satu bulu satu tahun."

Musa berkata, "Ya Rabbi setelah itu apa?" Malaikat menjawab, "Maut." Musa berkata, "Sekarang aku pasrah." Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada Tanah Suci sejauh lemparan batu. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) bersabda: "Seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang."

Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Malaikat maut mendatangi Musa dan berkata, "Jawablah panggilan Tuhanmu." Rasulullah SAW bersabda, "Musa menempeleng mata Malaikat maut hingga membuatnya rusak. Lalu Malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, "Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati. Dia telah merusak mataku."

Rasulullah SAW bersabda, "Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya, "Kembalilah kamu kepada hamba-Ku, katakan kepadanya, 'Apakah kamu ingin hidup? Jika kamu ingin hidup, maka letakkanlah tanganmu di punggung sapi jantan, rambut yang tertutup oleh tanganmu itulah umurmu yang tersisa. Satu rambut, satu tahun."

Kemudian Musa bertanya, "Seterusnya apa?" Malaikat menjawab: "Kemudian kamu mati." Musa berkata, "Sekarang, Ya Rabbi, dari dekat." Musa berkata, "Matikanlah aku di dekat Tanah Suci sejauh lemparan batu."

Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, seandainya aku di sana, niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian di samping jalan di pasir merah."

Penjelasan Hadis:

Rasulullah SAW memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para Nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian, antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A'la. Dalam beberapa hadis shahih dari Aisyah, bahwa Nabi SAW diberi pilihan, dan beliau memilih Rafiqil A’la. Allah mengutus Malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhannya. Ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat.

Musa memiliki temperamental yang cukup tinggi, karenanya dia menempeleng wajah Malaikat maut dan merusak matanya (mata manusia). Karena seandainya dia dalam wujud aslinya, yakni Malaikat, niscaya Musa tidak akan mampu menempelengnya. Tidak akan bisa!

Malaikat maut kembali kepada Allah untuk mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Lalu Allah menyembuhkan matanya dan menyuruhnya kembali kepada Musa, agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian rambut-rambut yang tertutup oleh tangannya itu dihitung dan satu helai rambut satu tahun. Maka ajal Musa sama dengan jumlah rambut itu. Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan itu, niscaya dangan tidak menutup kemungkinan dia tetap hidup sampai hari ini.

Akan tetapi, manakala Musa bertanya kepada Malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut, dia dijawab, ’Maut.’ Maka Musa memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para Rasul dan Nabi-Nya, serta hamba-hambaNya yang saleh, adalah lebih baik dan lebih kekal.

Jika roh para syuhada berada di perut burung hijau yang beterbangan di kebun-kebun Surga, memakan buah-buahnya, minum dari sungainya dan berlindung di lampu-lampu yang bergantungan di atap 'Arasy Allah, maka kehidupan para Nabi dan Rasul adalah di atas semua itu. Apa yang didapat oleh Musa seandainya dia hidup sampai hari ini, dia pasti memikul kesulitan-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya. Dia akan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk dan hati bersedih.

Bukankah lebih baik dia berada di Rafiqil A'la dengan para Rasul dan para Nabi menikmati kenikmatan Surga, daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian? Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal dan akhirat lebih baik daripada dunia.

Musa memohon kepada Allah pada waktu ruhnya dicabut agar didekatkan kepada tanah yang suci sejauh lemparan batu. Permintaan Musa ini adalah wujud kecintaannya kepada Tanah Suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya. Tetapi Musa tidak
meminta kepada Allah agar mematikannya di Tanah Suci, karena dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal. Ini sebagai hukuman atas ketidaktaatan mereka kepada perintah Tuhan mereka agar masuk tanah suci seperti yang telah Allah tulis untuk mereka.

Pelajaran dan Hikmah Kisah Ini:
1. Hadis ini menunjukkan bahwa sebelum nyawa para Nabi dicabut, mereka diberi pilihan antara terus hidup atau berpindah kepada rahmatullah, sebagaimana Musa diberi pilihan. Aisyah telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu beliau sakit menjelang wafatnya, "Ya Allah, Rafiqul A'la." Aisyah mengerti bahwa beliau diberi pilihan maka beliau memilih.

2. Kemampuan Malaikat menjelma dalam wujud manusia, sebagaimana Malaikat maut yang mendatangi Musa dalam wujud manusia.

3. Kematian adalah haq dan pasti. Jika ada yang lolos dari maut, tentulah mereka adalah para Nabi dan Rasul.

4. Kedudukan Musa di sisi Allah. Musa menampar Malaikat maut hingga rusak matanya. Kalau saja bukan karena kemuliaan Musa di hadapan Allah, mungkin Malaikat akan membalasnya dengan keras.

5. Keberadaan kubur Musa di tepi perbatasan tanah suci, dan Rasulullah mengetahui tempat kuburnya. Beliau menunjukkan sebagian alamat kuburnya, yaitu di tepi jalan di tanah pasir merah.

6. Keinginan Musa agar kuburnya dekat dengan Tanah Suci, dan diperbolehkan saja bagi siapa saja yang ingin mati di Tanah Suci.

7. Tanah suci yang diberkahi memiliki batasan. Musa meminta kepada Allah agar mendekatkan kuburnya darinya sejauh batu dilempar. Karenanya, Musa dikubur di luar, di pinggirannya.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1894 seconds (0.1#10.140)