Kemeriahan Lebaran

Jum'at, 17 Agustus 2012 - 11:31 WIB
Kemeriahan Lebaran
Kemeriahan Lebaran
A A A
SELAMA bulan Ramadan, hari-hari terasa sangat cepat berjalan. Suasana religius dan damai begitu terasa. Kini kita memasuki penghujung Ramadan. Masyarakat sibuk, bahkan heboh, menyambut datangnya Lebaran Idul Fitri.

Muncul perasaan gembira bercampur sedih setiap hendak berpisah dengan Ramadan yang agung dan mulia. Ramadan menjumpai kita menebarkan janji-janji rahmat dan ampunan Ilahi. Lega, sedih, dan haru bercampur menjadi satu. Rasanya ingin menangis dan tersenyum berpisah dengan Ramadan. Dengan berpuasa kita melakukan transendensi diri, mengambil jeda dan jarak dari rutinitas hidup yang mungkin telah membuat kita bekerja bagaikan sebuah mesin tanpa roh.

Semoga capaian dan penguatan rohani selama Ramadan akan membekali kita di hari- hari dan bulan mendatang. Idul Fitri menandai berakhirnya bulan puasa, lalu kita kembali menapaki hari-hari biasa. Semoga kita mampu menjalaninya dengan cara pandang baru, dengan ketajaman mata hati dalam memaknai kehidupan ke depan agar tidak bingung dan hilang ditelan gegap gempita dan riuh rendah rutinitas kehidupan yang kadang terasa pengap.

Tradisi berlebaran di wilayah Nusantara sungguh sangat unik dan sangat mengesankan. Telah bercampur baur antara ajaran agama dengan tradisi lokal serta pengaruh kebudayaan modern. Sekalipun agama tidak mewajibkan pulang mudik, setiap Lebaran tiba kita sangat antusias beramai-ramai menengok kampung halaman bertemu keluarga dan handai tolan. Sebuah festival keluarga, budaya, dan agama menjadi satu yang bergerak secara spontan dari masyarakat yang juga membawa dampak positif bagi pemerataan ekonomi.

Lambat laun kegairahan dan pemaknaan pulang mudik Lebaran akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan generasi masyarakat urban. Banyak remaja saat ini yang lahir dan tumbuh di kota besar sehingga tidak memiliki kenangan emosional dengan kampung halaman orangtua mereka. Sebagian remaja bertanya, untuk apa berjejalan dan bermacet-macetan pulang mudik untuk berlebaran di kampung, padahal hari lain juga lebih nyaman berkunjung ke desa kakek-neneknya?

Pikiran itu mudah dimaklumi karena lahir dan tumbuh dalam kultur yang berbeda dari orangtuanya. Meski begitu, di lingkungan masyarakat dan penduduk Jakarta, tradisi saling berkunjung ketika hari Lebaran masih sangat kuat dengan suguhan makanan daerah. Ini tradisi bagus yang mesti dijaga. Jadi, memori Lebaran yang melekat pada generasi orangtua tidak lagi dimiliki oleh anak-anaknya dan kecenderungan ini akan semakin meningkat jumlahnya.

Fenomena ini mulai kelihatan, banyak pasangan muda yang kemudian memilih rekreasi ke luar negeri atau ke Bali, misalnya, di hari Lebaran karena merasa tak punya ikatan emosi untuk mudik mengingat mereka lahir dan tumbuh di kota. Tapi bagaimanapun pesta Lebaran di Indonesia sangat fenomenal dibandingkan hari besar lain. Ini disebabkan antara lain Lebaran merupakan puncak perjalanan puasa selama sebulan sehingga kehadirannya selalu dihitung dari hari ke hari.

Perjuangan puasa untuk membersihkan diri ikut mewarnai pesta Lebaran sehingga ketika pulang mudik semacet apa pun kendaraan sangat sedikit terjadi bentrok atau konflik antarsesama pengguna jalan. Wajah-wajah mereka ramah menebarkan aura persahabatan di mana pun berjumpa. Fenomena lain yang ikut menyemarakkan Lebaran adalah tradisi halal bihalal yang diselenggarakan di kantor-kantor, baik swasta maupun pemerintah. Ini juga merupakan inovasi budaya Indonesia yang bernuansa Islam.

Uniknya lagi dalam acara halal bihalal sering ditampilkan kesenian daerah, kesenian bernuansa Arab ataupun musik Barat. Panggung agama yang eklektik ini sesungguhnya sudah terlihat ketika kita menyimak acara televisi menemani makan sahur. Di situ yang heboh bukannya pesan agama, melainkan musik dan lawakannya yang ternyata banyak memperoleh dukungan iklan.

Artinya, panggung itu rating-nya tinggi. Tradisi dan semarak Lebaran juga menjelaskan betapa Islam Indonesia itu pada dasarnya moderat, damai, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Lebaran mengajarkan agar kita semua saling membuka diri untuk saling memaafkan secara tulus. Komunitas beragama di luar Islam juga turut menghargai dan merayakan Lebaran Idul Fitri.

Bahkan para pedagang dan pengusaha transportasi memperoleh berkah ekonomi dari Lebaran. Kehidupan agama telah menyatu dengan budaya dan menjadi denyut kehidupan masyarakat. Bahkan simbol-simbol dan tradisi agama telah masuk Istana dan kantor-kantor pemerintahan, suatu realitas yang tidak mudah ditemukan di negara lain, khususnya Barat.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Mari kita ciptakan kehidupan sosial dan bernegara yang bersih sebagai pesan dan konsekuensi lanjut dari perjuangan membersihkan diri selama Ramadan.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4005 seconds (0.1#10.140)