2 Tingkatan Zikrullah Menurut Imam al-Ghazali, Salah Satunya Tingkatan Wali
Senin, 06 Februari 2023 - 04:15 WIB
Imam al-Ghazali mengatakan ada 2 tingkatan zikir kepada Allah Taala. Tingkat pertama adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain. Tingkatan kedua zikir golongan kanan atau ashabul-Yamin.
Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" dan telah diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan " (Mizan), Imam al-Ghazali menyebut tingkatan para wali adalah tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosa-dosanya.
Berikut tulisan Imam al-Ghazali selengkapnya:
Terhadap zikir seperti inilah Nabi SAW berkata, "Orang yang bangun di pagi hari hanya dengan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding.
Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.'
Saya berkata, 'Tidakkah anda kesepian?"
'Tidak,' jawabnya, 'Allah dan dua malaikat bersama saya.'
Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, 'Mana di antara mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?'
'Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,' jawabnya.
Kemudian saya bertanya, 'Jalan ini datang dari mana?"
Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, "Ya Rabbi, banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktikkan ketenangan tafakur seperti itu?"
Tsauri menjawab, "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lubang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam zikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke Mekkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab.
Saya berkata, "Saya meminta dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya."
Yang lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas salam anda."
Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian meminta mereka memberi nasihat-nasihat rohaniah.
Dalam bukunya berjudul "The Alchemy of Happiness" dan telah diterjemahkan Haidar Bagir menjadi " Kimia Kebahagiaan " (Mizan), Imam al-Ghazali menyebut tingkatan para wali adalah tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosa-dosanya.
Berikut tulisan Imam al-Ghazali selengkapnya:
Terhadap zikir seperti inilah Nabi SAW berkata, "Orang yang bangun di pagi hari hanya dengan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding.
Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.'
Saya berkata, 'Tidakkah anda kesepian?"
'Tidak,' jawabnya, 'Allah dan dua malaikat bersama saya.'
Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, 'Mana di antara mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?'
'Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,' jawabnya.
Kemudian saya bertanya, 'Jalan ini datang dari mana?"
Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, "Ya Rabbi, banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktikkan ketenangan tafakur seperti itu?"
Tsauri menjawab, "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lubang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam zikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke Mekkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab.
Saya berkata, "Saya meminta dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya."
Yang lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas salam anda."
Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian meminta mereka memberi nasihat-nasihat rohaniah.