Ini Mengapa Murtad Dihukum Berat
Senin, 27 Februari 2023 - 08:40 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengungkap rahasia di balik kekerasan dalam menghadapi kemurtadan . "Sesungguhnya masyarakat Islam itu pertama kali tegak di atas akidah dan keimanan. Akidah merupakan asas identitasnya, pusat kehidupannya dan roh keberadaannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk merusak asas tersebut atau mengusik identitas ini," ujarnya.
Menurutnya, dari sinilah maka kemurtadan yang terang-terangan merupakan kejahatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Karena hal itu bisa mengancam kepribadian masyarakat dan eksistensi kekuatannya.
"Mengancam terhadap kebutuhan utama dalam lima kebutuhan, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta, di mana agama adalah yang paling primer karena seorang mukmin itu berkorban dengan jiwa tanah air dan hartanya demi agama yang dipeluknya," ujar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" dan diterjemahkan dalam edisi Bahasa Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Al-Qardhawi mengatakan Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya dan tidak juga memaksa seseorang untuk keluar dari agamanya, karena keimanan yang sah adalah keimanan (keyakinan) yang muncul dari pemilihan dan kesadaran.
Allah SWT berfirman dalam ayat Makkiyah, "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" ( QS Yunus : 99). Dan di dalam ayat Madaniyah Allah juga berfirman: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat." ( QS Al Baqarah : 256)
"Tetapi Islam tidak menerima jika agama dijadikan sebagai bahan permainan. Hari ini ia masuk tetapi esok hari ia keluar," terangnya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Yahudi yang mengatakan:
"Perlihatkan (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Muhammad) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)." ( QS Ali 'Imran : 72)
Al-Qardhawi menjelaskan, Islam tidak memberikan hukuman mati kepada orang murtad yang tidak terang-terangan dalam kemurtadannya dan tidak mengajak kepada orang lain untuk murtad. Menyerahkan sepenuhnya kepada Allah yang akan menetapkan hukumannya di akhirat apabila nantinya ia mati dalam keadaan kufur' sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamannya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS Al Baqarah: 217)
Kadang-kadang Islam memberikan hukuman kepadanya sebagai ta'zir (pengajaran) yang sesuai.
Akan tetapi, kata al-Qardhawi, Islam menghukum orang yang murtad secara terang terangan dan mempengaruhi orang lain untuk murtad. Hal itu demi memelihara identitas kepribadian masyarakat, asas-asas dan persatuannya. Tidak satu pun masyarakat di dunia ini kecuali ia memiliki prinsip-prinsip asasi yang tidak boleh seorang pun mengusiknya. Maka tidak diterima aktivitas apa pun untuk merubah identitas masyarakat atau mengalihkan loyalitas mereka kepada musuh-musuh, dan lain-lain.
Oleh karena itulah pengkhianatan terhadap tanah air, dan mendukung musuh-musuhnya yaitu dengan menampakkan rasa cinta pada mereka dan membuka rahasia (kaum Muslimin) di hadapan mereka merupakan dosa besar. Dan tidak seorangpun mengatakan bolehnya memberikan hak kepada seorang warga negara untuk mengubah loyalitasnya terhadap tanah airnya kepada siapa saja dan kapan saja ia menginginkan.
Perubahan Loyalitas
Al-Qardhawi mengatakan kemurtadan bukanlah sekadar sikap pemikiran' tetapi ia juga merupakan perubahan wala' (loyalitas), penggantian identitas dan perubahan komitmen, orang yang murtad telah memindahkan wala'nya dan komitmennya dari ummat kepada ummat yang lainnya dan dari tanah air ke tanah air lainnya, maksudnya dari darul Islam ke tempat yang lainnya.
Ia telah melepaskan dirinya dari ummat Islam yang semula menjadi anggota dalam tubuhnya, kemudian ia bergabung dengan akal hati dan keinginannya kepada musuhnya. Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut, "Attaariku lidiinihi, al mufaariqu lil-jamaa'ati" (orang yang meninggalkan agamanya dan yang memisahkan diri dari berjamaah) sebagaimana tersebut dalam haditsnya Ibnu Mas'ud yang muttafaq'alaih.
Kata "Al Mufariqu lil jamaa'ati" ini sifat secara umum yang tampak, bukan eksplisit, maka setiap orang yang murtad dari agamanya berarti memisahkan diri dari jamaah.
"Apapun dosanya kita tidak ingin membedah hatinya dan memugar rumahnya, kita tidak mengatakan sesuatu kepadanya kecuali sesuai dengan apa yang ia katakan secara terang-terangan melalui lisan, pena dan perbuatannya yaitu dari sesuatu yang menjadikan ia kufur yang terang dan nyata. Tidak perlu ada tatwil atau kemungkinan-kemungkinan lainnya, maka keraguan apa pun dalam hal itu bisa memberikan kemashlahatan orang yang dituduh murtad," ujarnya.
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya bermain-main dalam menghukum orang murtad yang terang-terangan dan yang mengajak orang lain bisa membuka kesempatan bagi masyarakat seluruhnya untuk menghadapi bahaya dan bisa membuka pintu fitnah yang tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah SWT.
Maka tidak henti-hentinya orang yang murtad itu mempengaruhi orang lain, terutama orang-orang lemah dan miskin, dan dibuatlah jamaah tandingan untuk ummat sehingga memperbolehkan dirinya untuk meminta bantuan kepada musuh. Dengan demikian terjadilah konfrontasi dan perpecahan pemikiran, sosial dan politik yang mungkin akan berkembang menjadi pertarungan berdarah, bahkan perang saudara yang memakan yang hijau dan yang kering' (banyak membawa korban).
Menurutnya, dari sinilah maka kemurtadan yang terang-terangan merupakan kejahatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Karena hal itu bisa mengancam kepribadian masyarakat dan eksistensi kekuatannya.
"Mengancam terhadap kebutuhan utama dalam lima kebutuhan, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta, di mana agama adalah yang paling primer karena seorang mukmin itu berkorban dengan jiwa tanah air dan hartanya demi agama yang dipeluknya," ujar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" dan diterjemahkan dalam edisi Bahasa Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Al-Qardhawi mengatakan Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalamnya dan tidak juga memaksa seseorang untuk keluar dari agamanya, karena keimanan yang sah adalah keimanan (keyakinan) yang muncul dari pemilihan dan kesadaran.
Allah SWT berfirman dalam ayat Makkiyah, "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" ( QS Yunus : 99). Dan di dalam ayat Madaniyah Allah juga berfirman: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat." ( QS Al Baqarah : 256)
"Tetapi Islam tidak menerima jika agama dijadikan sebagai bahan permainan. Hari ini ia masuk tetapi esok hari ia keluar," terangnya. Seperti yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Yahudi yang mengatakan:
"Perlihatkan (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Muhammad) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran)." ( QS Ali 'Imran : 72)
Al-Qardhawi menjelaskan, Islam tidak memberikan hukuman mati kepada orang murtad yang tidak terang-terangan dalam kemurtadannya dan tidak mengajak kepada orang lain untuk murtad. Menyerahkan sepenuhnya kepada Allah yang akan menetapkan hukumannya di akhirat apabila nantinya ia mati dalam keadaan kufur' sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamannya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS Al Baqarah: 217)
Kadang-kadang Islam memberikan hukuman kepadanya sebagai ta'zir (pengajaran) yang sesuai.
Akan tetapi, kata al-Qardhawi, Islam menghukum orang yang murtad secara terang terangan dan mempengaruhi orang lain untuk murtad. Hal itu demi memelihara identitas kepribadian masyarakat, asas-asas dan persatuannya. Tidak satu pun masyarakat di dunia ini kecuali ia memiliki prinsip-prinsip asasi yang tidak boleh seorang pun mengusiknya. Maka tidak diterima aktivitas apa pun untuk merubah identitas masyarakat atau mengalihkan loyalitas mereka kepada musuh-musuh, dan lain-lain.
Oleh karena itulah pengkhianatan terhadap tanah air, dan mendukung musuh-musuhnya yaitu dengan menampakkan rasa cinta pada mereka dan membuka rahasia (kaum Muslimin) di hadapan mereka merupakan dosa besar. Dan tidak seorangpun mengatakan bolehnya memberikan hak kepada seorang warga negara untuk mengubah loyalitasnya terhadap tanah airnya kepada siapa saja dan kapan saja ia menginginkan.
Perubahan Loyalitas
Al-Qardhawi mengatakan kemurtadan bukanlah sekadar sikap pemikiran' tetapi ia juga merupakan perubahan wala' (loyalitas), penggantian identitas dan perubahan komitmen, orang yang murtad telah memindahkan wala'nya dan komitmennya dari ummat kepada ummat yang lainnya dan dari tanah air ke tanah air lainnya, maksudnya dari darul Islam ke tempat yang lainnya.
Ia telah melepaskan dirinya dari ummat Islam yang semula menjadi anggota dalam tubuhnya, kemudian ia bergabung dengan akal hati dan keinginannya kepada musuhnya. Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah SAW sebagai berikut, "Attaariku lidiinihi, al mufaariqu lil-jamaa'ati" (orang yang meninggalkan agamanya dan yang memisahkan diri dari berjamaah) sebagaimana tersebut dalam haditsnya Ibnu Mas'ud yang muttafaq'alaih.
Kata "Al Mufariqu lil jamaa'ati" ini sifat secara umum yang tampak, bukan eksplisit, maka setiap orang yang murtad dari agamanya berarti memisahkan diri dari jamaah.
"Apapun dosanya kita tidak ingin membedah hatinya dan memugar rumahnya, kita tidak mengatakan sesuatu kepadanya kecuali sesuai dengan apa yang ia katakan secara terang-terangan melalui lisan, pena dan perbuatannya yaitu dari sesuatu yang menjadikan ia kufur yang terang dan nyata. Tidak perlu ada tatwil atau kemungkinan-kemungkinan lainnya, maka keraguan apa pun dalam hal itu bisa memberikan kemashlahatan orang yang dituduh murtad," ujarnya.
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya bermain-main dalam menghukum orang murtad yang terang-terangan dan yang mengajak orang lain bisa membuka kesempatan bagi masyarakat seluruhnya untuk menghadapi bahaya dan bisa membuka pintu fitnah yang tidak ada yang mengetahui akibatnya kecuali Allah SWT.
Maka tidak henti-hentinya orang yang murtad itu mempengaruhi orang lain, terutama orang-orang lemah dan miskin, dan dibuatlah jamaah tandingan untuk ummat sehingga memperbolehkan dirinya untuk meminta bantuan kepada musuh. Dengan demikian terjadilah konfrontasi dan perpecahan pemikiran, sosial dan politik yang mungkin akan berkembang menjadi pertarungan berdarah, bahkan perang saudara yang memakan yang hijau dan yang kering' (banyak membawa korban).
(mhy)