Meriam Raksasa Andalan Sultan Muhammad Al-Fatih
Sabtu, 18 Juli 2020 - 14:14 WIB
HUJAN deras membasahi bumi Konstantinopel pada 26 Mei Mei 1435 M. Kilatan-kilatan petir menyambar. Salah satu petir menyambar gereja Hagia Sophia . Pendeta Nasrani dilanda pesimistis dan murung. (
)
Dia kemudian pergi menemui Kaisar dan memberitakan apa yang terjadi, bahwa Tuhan telah meninggalkan mereka. Kota itu akan segera jatuh ke tangan pasukan Turki Utsmani . Kaisar merasa terpukul dengan penuturan tersebut dan langsung pingsan.
Sementara itu meriam-meriam tentara Utsmani terus menggempur pagar-pagar kota dan benteng-benteng pertahanannya. Sebagian besar pagar kota dan benteng-benteng telah hancur.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah mendiskripsikan, parit-parit dipenuhi puing-puing perserakan, sehingga tidak mampu lagi dibereskan pasukan penjaga kota.
Dengan demikian, Kota Konstantinopel menjadi sangat terbuka untuk diserang kapan saja. Namun pilihan tempat dan waktunya saat itu belum ditentukan.
Menurut Ash-Shalabi, pada saat yang sama, tentara Utsmani di bagian lain terus gencar menyerang tiik-titik pertahanan kota dan pagar-pagarnya dengan meriam, bahkan mereka berusaha memanjat pagar-pagar itu.
Tentara Byzantium membutuhkan kerja keras untuk memperbaiki pagar-pagar yang rusak itu dan menghalangi upaya pemanjatan pagar. Pengepungan terus berlangsung. Hal ini membuat pasukan Byzantium berada dalam kesulitan, keletihan, serta rasa gelisah luar biasa. “Mereka dihantui rasa cemas, selain harus terus berjaga siang-malam. Secara psikologis, mental pasukan Konstantinopel sudah sangat lemah,” tutur Ash-Shalabi.
Meriam
Pasukan Utsmani antara lain mengandalkan meriam dalam menyerang Konstantinopel. Mereka menempatkan meriam-meriam khusus di dataran tinggi di sekitar Bosphorus dan Tanduk Emas.
Meriam-meriam ini membidik kapal-kapal Byzantium dan kapal-kapal lain yang berniat membantu mereka di Tanduk Emas, Bosphorus, dan perairan laut yang bersebelahan dengannya. Hal itu semakin melumpuhkan gerak kapal-kapal Byzantium dan mengepung mereka dari segala arah.
Banyak meriam dimiliki pasukan Utsmaniyah. Namun ada satu meriam yang paling istimewa. Meriam itu diberi nama “The Muhammed’s Greats Gun”. Meriam ini dibuat oleh seorang ahli teknik mesin dan kimia asal Hongaria. Kisah meriam ini lumayan menarik.
Pada awal tahun 1452, seorang ahli pembuat meriam Hungaria bernama Orban tiba di Konstantinopel untuk mencari kekayaannya di istana kekaisaran. Dia menawarkan kepada Kaisar Constantine XI salah satu keterampilan paling berharga saat itu: kemampuan membuat meriam perunggu besar.
Sayang sungguh sayang, bagi Konstantinus dan kekaisaran Kristen Byzantium yang dikuasainya, ini adalah hari-hari yang sulit. Selama 150 tahun perbatasan Bizantium telah runtuh sebelum kemajuan Turki Utsmani. Pada saat Constantine naik takhta pada tahun 1449, kerajaannya yang miskin telah menyusut dan dikelilingi oleh tanah Utsmaniyah dari segala sisi.
Sultan baru Utsmani, Muhammad II atau Mehmed II atau Sultan Muhammad Al-Fatih, membuat persiapan militer di Edirne yang hanya berjarak 140 mil ke barat Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih berniat meneruskan rencana penguasa Utsmani sebelumnya: menguasai Konstantinopel.
Kaisar Constantine sangat tertarik dengan tawaran Orban dan mengizinkannya tinggal tetapi dengan gaji kecil. Constantine hanya memiliki sedikit dana untuk pembangunan senjata baru. Meriam perunggu sangat mahal, jauh di luar kemampuan kaisar yang sedang bokek.
Gaji kecil Orban bahkan tidak dibayar secara teratur, dan seiring berlalunya waktu ahli senjata ini pun jatuh miskin. Maka pada tahun yang sama dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di tempat lain. Dia berjalan menuju Edirne dan berusaha bertemu dengan Sultan Muhammad Al-Fatih.
Pada saat itu, Sultan tengah gelisah memikirkan bagaimana cara menaklukan Konstantinopel. Kota ini adalah hadiah utama yang akan memberikan modal penting untuk Kekaisaran Utsmani. Dia juga bertekad mewujudkan sabda Nabi Muhammad untuk menaklukkan Konstantinopel.
Hanya saja, Konstantinopel telah berkali-kali memukul mundur serangan Pasukan Muslim sejak abad ke-7. Situsnya yang segitiga membuat semuanya tidak bisa ditembus: Dua sisi dikelilingi oleh laut, dan sisi ketiga dilindungi oleh Tembok Besar Theodosius, garis pertahanan sepanjang empat mil, benteng terbesar di dunia abad pertengahan.
Dalam seribu tahun kota itu telah dikepung sekitar 23 kali, tetapi tidak ada tentara yang menemukan cara untuk membuka dinding-dinding tanah itu.
Benteng Theodosius memiliki struktur bangunan tingginya 18 meter dan ada 3 lapis. Di lapisan pertama, ada parit. Pasukan berkuda hanya sampai sebelum parit. Parit itu panjangnya 20 meter, dalamnya 10 meter. Siapapun pasukan yang mencoba berenang akan dipanah dari lapis kedua.
Dia kemudian pergi menemui Kaisar dan memberitakan apa yang terjadi, bahwa Tuhan telah meninggalkan mereka. Kota itu akan segera jatuh ke tangan pasukan Turki Utsmani . Kaisar merasa terpukul dengan penuturan tersebut dan langsung pingsan.
Sementara itu meriam-meriam tentara Utsmani terus menggempur pagar-pagar kota dan benteng-benteng pertahanannya. Sebagian besar pagar kota dan benteng-benteng telah hancur.
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah mendiskripsikan, parit-parit dipenuhi puing-puing perserakan, sehingga tidak mampu lagi dibereskan pasukan penjaga kota.
Dengan demikian, Kota Konstantinopel menjadi sangat terbuka untuk diserang kapan saja. Namun pilihan tempat dan waktunya saat itu belum ditentukan.
Menurut Ash-Shalabi, pada saat yang sama, tentara Utsmani di bagian lain terus gencar menyerang tiik-titik pertahanan kota dan pagar-pagarnya dengan meriam, bahkan mereka berusaha memanjat pagar-pagar itu.
Tentara Byzantium membutuhkan kerja keras untuk memperbaiki pagar-pagar yang rusak itu dan menghalangi upaya pemanjatan pagar. Pengepungan terus berlangsung. Hal ini membuat pasukan Byzantium berada dalam kesulitan, keletihan, serta rasa gelisah luar biasa. “Mereka dihantui rasa cemas, selain harus terus berjaga siang-malam. Secara psikologis, mental pasukan Konstantinopel sudah sangat lemah,” tutur Ash-Shalabi.
Meriam
Pasukan Utsmani antara lain mengandalkan meriam dalam menyerang Konstantinopel. Mereka menempatkan meriam-meriam khusus di dataran tinggi di sekitar Bosphorus dan Tanduk Emas.
Meriam-meriam ini membidik kapal-kapal Byzantium dan kapal-kapal lain yang berniat membantu mereka di Tanduk Emas, Bosphorus, dan perairan laut yang bersebelahan dengannya. Hal itu semakin melumpuhkan gerak kapal-kapal Byzantium dan mengepung mereka dari segala arah.
Banyak meriam dimiliki pasukan Utsmaniyah. Namun ada satu meriam yang paling istimewa. Meriam itu diberi nama “The Muhammed’s Greats Gun”. Meriam ini dibuat oleh seorang ahli teknik mesin dan kimia asal Hongaria. Kisah meriam ini lumayan menarik.
Pada awal tahun 1452, seorang ahli pembuat meriam Hungaria bernama Orban tiba di Konstantinopel untuk mencari kekayaannya di istana kekaisaran. Dia menawarkan kepada Kaisar Constantine XI salah satu keterampilan paling berharga saat itu: kemampuan membuat meriam perunggu besar.
Sayang sungguh sayang, bagi Konstantinus dan kekaisaran Kristen Byzantium yang dikuasainya, ini adalah hari-hari yang sulit. Selama 150 tahun perbatasan Bizantium telah runtuh sebelum kemajuan Turki Utsmani. Pada saat Constantine naik takhta pada tahun 1449, kerajaannya yang miskin telah menyusut dan dikelilingi oleh tanah Utsmaniyah dari segala sisi.
Sultan baru Utsmani, Muhammad II atau Mehmed II atau Sultan Muhammad Al-Fatih, membuat persiapan militer di Edirne yang hanya berjarak 140 mil ke barat Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih berniat meneruskan rencana penguasa Utsmani sebelumnya: menguasai Konstantinopel.
Kaisar Constantine sangat tertarik dengan tawaran Orban dan mengizinkannya tinggal tetapi dengan gaji kecil. Constantine hanya memiliki sedikit dana untuk pembangunan senjata baru. Meriam perunggu sangat mahal, jauh di luar kemampuan kaisar yang sedang bokek.
Gaji kecil Orban bahkan tidak dibayar secara teratur, dan seiring berlalunya waktu ahli senjata ini pun jatuh miskin. Maka pada tahun yang sama dia memutuskan untuk mencoba peruntungannya di tempat lain. Dia berjalan menuju Edirne dan berusaha bertemu dengan Sultan Muhammad Al-Fatih.
Pada saat itu, Sultan tengah gelisah memikirkan bagaimana cara menaklukan Konstantinopel. Kota ini adalah hadiah utama yang akan memberikan modal penting untuk Kekaisaran Utsmani. Dia juga bertekad mewujudkan sabda Nabi Muhammad untuk menaklukkan Konstantinopel.
Hanya saja, Konstantinopel telah berkali-kali memukul mundur serangan Pasukan Muslim sejak abad ke-7. Situsnya yang segitiga membuat semuanya tidak bisa ditembus: Dua sisi dikelilingi oleh laut, dan sisi ketiga dilindungi oleh Tembok Besar Theodosius, garis pertahanan sepanjang empat mil, benteng terbesar di dunia abad pertengahan.
Dalam seribu tahun kota itu telah dikepung sekitar 23 kali, tetapi tidak ada tentara yang menemukan cara untuk membuka dinding-dinding tanah itu.
Benteng Theodosius memiliki struktur bangunan tingginya 18 meter dan ada 3 lapis. Di lapisan pertama, ada parit. Pasukan berkuda hanya sampai sebelum parit. Parit itu panjangnya 20 meter, dalamnya 10 meter. Siapapun pasukan yang mencoba berenang akan dipanah dari lapis kedua.