Masjid Masa Rasulullah SAW, Berlantai Tanah Beratap Pelepah Kurma
Minggu, 16 April 2023 - 07:02 WIB
Manifestasi pemerintahan terlaksana di dalam masjid, baik pada pribadi-pribadi pemimpin pemerintahan yang menjadi imam/khatib maupun di dalam ruangan-ruangan masjid yang dijadikan tempat-tempat kegiatan pemerintahan dan syura (musyawarah).
Keadaan itu kini telah berubah, kata Quraish Shihab, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.
Membina Umat
Menurut Quraish Shihab, masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a. Ruang salat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk salat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
d. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Quraish Shihab mengatakan hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya.
Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau kelumpuhan tersebut.
Lihat Juga: Menyusuri Jalur Rasulullah Jalan Kaki dari Nabawi ke Masjid Quba, Hidupkan Sunah dan Raih Pahala Umrah
Keadaan itu kini telah berubah, kata Quraish Shihab, sehingga timbullah lembaga-lembaga baru yang mengambil-alih sebagian peranan masjid di masa lalu, yaitu organisasi-organisasi keagamaan swasta dan lembaga-lembaga pemerintah, sebagai pengarah kehidupan duniawi dan ukhrawi umat beragama. Lembaga-lembaga itu memiliki kemampuan material dan teknis melebihi masjid.
Fungsi dan peranan masjid besar seperti yang disebutkan pada masa keemasan Islam itu tentunya sulit diwujudkan pada masa kini. Namun, ini tidak berarti bahwa masjid tidak dapat berperan di dalam hal-hal tersebut.
Membina Umat
Menurut Quraish Shihab, masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan kesepuluh peran tadi. Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang memadai untuk:
a. Ruang salat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa bercampur dengan pria baik digunakan untuk salat, maupun untuk Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
d. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja.
Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan, namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
Quraish Shihab mengatakan hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan sementara pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa perhatian yang berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya dalam pemenuhan fungsi-fungsinya.
Seakan-akan nilai arsitektur dan estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau kelumpuhan tersebut.
Lihat Juga: Menyusuri Jalur Rasulullah Jalan Kaki dari Nabawi ke Masjid Quba, Hidupkan Sunah dan Raih Pahala Umrah
(mhy)