Awas Riba dalam Tradisi Tukar Uang Baru Menjelang Lebaran
Kamis, 20 April 2023 - 08:05 WIB
Sudah menjadi tradisi menjelang lebaran Idulfitri umat Islam di Indonesia selalu disibukkan dengan aktivitas tukar uang baru. Uang baru ini nantinya digunakan untuk bagi-bagi THR kepada keluarga dan kerabat.
Menjelang lebaran biasanya banyak bermunculan layanan jasa penukaran uang baru baik di mal, jalanan dan di tempat-tempat keramaian lainnya. Selain sebagai sumber pemasukan tambahan, bisnis ini lumayan menguntungkan.
Terlepas dari keuntungan dan membantu warga untuk mendapatkan uang baru, Islam memberi rambu-rambu terkait hal ini. Bagaimana pandangan syariat melihat praktik tukar uang ini? Berikut penjelasan Dai lulusan Al-Azhar Mesir Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq dalam satu kajiannya.
Praktik tukar menukar uang dengan dilebihkan termasuk perkara yang dilarang dalam agama. Perkara ini termasuk Riba Fadhl, salah satu riba yang tercela dan disepakati keharamannya. [Fiqh al Islami wa Adillatuhu (5/360)]
Apa itu Riba Fadhl?
Riba Fadhl adalah kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, ketika keduanya dipertukarkan. Benda ribawi yang dimaksud ada 6 sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
"(1) Emas dengan emas, (2) perak dengan perak, (3) gandum dengan gandum, (4) barley dengan barley, (5) kurma dengan kurma, (6) garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai." (HR Muslim)
Jadi yang dimaksud riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar 6 barang riba di atas yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas. Contoh dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 3 gram ditukar dengan emas seberat 2 gram secara langsung. Emas yang 3 gram kualitasnya cuma 21 karat, sedangkan emas yang 2 gram kualitasnya 23 karat.
Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Uang Termasuk Emas dan Perak
Jumhur telah menetapkan bahwa uang kedudukannya termasuk benda ribawi seperti halnya emas. Sehingga praktik mengambil manfaat dari uang, baik dengan melebihkan (fadhl) atau dengan adanya penundaan (nasiah) termasuk riba yang diharamkan. [Bidayatul Mujtahid (7/182)]
Bantahan Terhadap Kalangan yang Menghalalkan
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa praktik tukar menukar uang tersebut tidak termasuk riba yang diharamkan dalam Islam, alasannya:
1. Uang bukan Benda Ribawi
Menurut sebagian kalangan keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits. Sedangkan bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas. Menurut mereka uang bukanlah salah satu dari ke-6 barang ribawi.
Bantahan:
Pernyataan ini sangat tidak tepat dan bertentangan dengan dalil. Sebab Hadits yang menyebutkan keenam jenis benda ribawi tujuannya bukan untuk membatasi, tetapi untuk membuatkan contoh saja.
Sebagai bukti umumnya para ulama juga telah melakukan kias terhadap benda-benda lain seperti beras, jewawut atas kurma dan gandum. Dan ulama umumnya memandang uang termasuk benda ribawi karena kesamaan ilatnya dengan emas sebagai alat tukar. [Syarhul Qawaid al Fiqhiyah, hal 174, al Fiqh al Islami wa adillatuhu (5/373)]
2. Diqiyaskan ke Pengupahan
Mereka juga mengatakan bahwa tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Bantahan
Qiyas dalam hal ini sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yang dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi-sisi yang lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si A ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil-nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah Solusinya?
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia atau bank lainnya. Di sana layanan tukar menukar uang tersedia dan tidak memungut biaya sepeserpun darinya, uang Rp50 ribu ditukar dengan Rp50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar uang receh ini, BI telah bekerja sama dengan beberapa bank dan mengirimkan mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, sayangnya baru ada di beberapa kota besar.
"Terkadang ada yang tidak betah dengan antrean panjang. Apa solusi lain? Jika memang malas mengantre maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita beri biaya uang lelah atas tenaga dan waktunya yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win-win kelihatannya," terang Dai yang juga pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur.
Wallahu A'lam
Menjelang lebaran biasanya banyak bermunculan layanan jasa penukaran uang baru baik di mal, jalanan dan di tempat-tempat keramaian lainnya. Selain sebagai sumber pemasukan tambahan, bisnis ini lumayan menguntungkan.
Terlepas dari keuntungan dan membantu warga untuk mendapatkan uang baru, Islam memberi rambu-rambu terkait hal ini. Bagaimana pandangan syariat melihat praktik tukar uang ini? Berikut penjelasan Dai lulusan Al-Azhar Mesir Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq dalam satu kajiannya.
Praktik tukar menukar uang dengan dilebihkan termasuk perkara yang dilarang dalam agama. Perkara ini termasuk Riba Fadhl, salah satu riba yang tercela dan disepakati keharamannya. [Fiqh al Islami wa Adillatuhu (5/360)]
Apa itu Riba Fadhl?
Riba Fadhl adalah kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, ketika keduanya dipertukarkan. Benda ribawi yang dimaksud ada 6 sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
"(1) Emas dengan emas, (2) perak dengan perak, (3) gandum dengan gandum, (4) barley dengan barley, (5) kurma dengan kurma, (6) garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai." (HR Muslim)
Jadi yang dimaksud riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar 6 barang riba di atas yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas. Contoh dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 3 gram ditukar dengan emas seberat 2 gram secara langsung. Emas yang 3 gram kualitasnya cuma 21 karat, sedangkan emas yang 2 gram kualitasnya 23 karat.
Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.
Uang Termasuk Emas dan Perak
Jumhur telah menetapkan bahwa uang kedudukannya termasuk benda ribawi seperti halnya emas. Sehingga praktik mengambil manfaat dari uang, baik dengan melebihkan (fadhl) atau dengan adanya penundaan (nasiah) termasuk riba yang diharamkan. [Bidayatul Mujtahid (7/182)]
Bantahan Terhadap Kalangan yang Menghalalkan
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa praktik tukar menukar uang tersebut tidak termasuk riba yang diharamkan dalam Islam, alasannya:
1. Uang bukan Benda Ribawi
Menurut sebagian kalangan keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits. Sedangkan bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas. Menurut mereka uang bukanlah salah satu dari ke-6 barang ribawi.
Bantahan:
Pernyataan ini sangat tidak tepat dan bertentangan dengan dalil. Sebab Hadits yang menyebutkan keenam jenis benda ribawi tujuannya bukan untuk membatasi, tetapi untuk membuatkan contoh saja.
Sebagai bukti umumnya para ulama juga telah melakukan kias terhadap benda-benda lain seperti beras, jewawut atas kurma dan gandum. Dan ulama umumnya memandang uang termasuk benda ribawi karena kesamaan ilatnya dengan emas sebagai alat tukar. [Syarhul Qawaid al Fiqhiyah, hal 174, al Fiqh al Islami wa adillatuhu (5/373)]
2. Diqiyaskan ke Pengupahan
Mereka juga mengatakan bahwa tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Bantahan
Qiyas dalam hal ini sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yang dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi-sisi yang lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si A ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil-nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah Solusinya?
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia atau bank lainnya. Di sana layanan tukar menukar uang tersedia dan tidak memungut biaya sepeserpun darinya, uang Rp50 ribu ditukar dengan Rp50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar uang receh ini, BI telah bekerja sama dengan beberapa bank dan mengirimkan mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, sayangnya baru ada di beberapa kota besar.
"Terkadang ada yang tidak betah dengan antrean panjang. Apa solusi lain? Jika memang malas mengantre maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita beri biaya uang lelah atas tenaga dan waktunya yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win-win kelihatannya," terang Dai yang juga pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur.
Wallahu A'lam
(rhs)