Islam Mengakui Kepemilikan Pribadi, Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
Rabu, 14 Juni 2023 - 05:15 WIB
Islam merupakan agama fitrah , maka tidak ada satu pun prinsip yang bertentangan dengan fitrah atau merusak fitrah itu sendiri. Prinsip-prinsip itu sesuai dengan fitrah, bahkan terkadang meluruskannya dan meningkat bersamanya.
"Di antara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik atau kepemilikan. Sampai-sampai naluri kepemilikan ini ada pada anak-anak, tanpa ada yang mengajari dan menuntun," kata Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 197).
Menurutnya, Allah SWT membekali manusia dengan insting seperti itu agar menjadi pendorong yang kuat sehingga dapat memotivasi mereka untuk bergerak dengan baik. Yaitu ketika ia mengetahui bahwa ada hasil dari setiap kerja dan kesungguhannya.
"Dengan begitu makmurlah kehidupan ini, pembangunan berkembang, dan produktivitas masyarakat bertambah meningkat dan semakin baik," jelasnya.
Pemilikan merupakan salah satu dari karakter kebebasan (kemerdekaan). Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu, orang merdeka itulah yang memiliki. Al-Qardhawi mengatakan pemilikan juga merupakan salah satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.
"Sekali lagi Islam mengakui adanya hak milik individu karena Islam adalah agama yang menghargai fitrah, kemerdekaan dan kemanusiaan," ujar Al-Qardhawi.
Demikian juga, katanya, bukan suatu keadilan jika engkau menahan pemberian upah kerja dan usaha seseorang, yang kemudian kamu berikan kepada orang lain yang bermalas-malasan dan pengangguran.
Akan tetapi keadilan dan kebaikan adalah hendaknya engkau membuka kesempatan untuk semuanya agar bisa bekerja dan memiliki. Apabila ternyata ada orang yang memiliki kelebihan dengan kecerdasan, kesungguhan, itqan dan sabarnya maka ia berhak untuk memperoleh imbalan yang sesuai.
Allah berfirman: "Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." ( QS Ar-Rahman : 60)
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." ( QS Al Ahqaf : 19)
Menurut al-Qardhawi, dari sinilah Islam memperbolehkan pemilikan, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak. Tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berlebihan di dalam yang mubah. Tidak pelit dengan yang haq. Tidak menzalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain.
Hal itu, katanya, sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf (pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).
Semangat yang Kuat
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya Islam memperbolehkan tiap-tiap orang untuk memiliki, bahkan mengajak untuk memiliki dan melindungi pemiliknya. Dan semua itu dapat diwariskan kepada anak turunnya.
lni semua untuk memberi semangat yang kuat kepada setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam melanjutkan usahanya, sehingga seseorang itu dapat merasakan kepemimpinan dan kemampuan. Merasakan nikmatnya pemilikan dan tidak menempatkan mereka menjadi budak-budak di bawah kekuasaan penjajah asing.
Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk umat dan untuk perekonomian seluruhnya. Telah terbukti bahwa sesungguhnya dorongan (motivasi) individu itu mampu merealisasikan produktivitas yang cukup besar.
Berbeda dengan hak milik bersama seperti yayasan atau yang lainnya, yang produktifitasnya kecil dan tidak menguntungkan, karena tidak adanya motivasi dan kekuatan pengawasan yang timbul dari hak milik secara khusus.
Menurut Al-Qardhawi, Islam memberikan syarat untuk kepemilikan pribadi, yaitu dengan dua persyaratan sebagai berikut:
1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah lama berada di tangan orang yang memegangnya.
Inilah yang membedakan dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui pemilikan secara haram yaitu apabila telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya menguasai tidak boleh menjadikan yang haram menjadi yang halal, selama keharamannya masih tetap ada dan diketahui.
2. Hendaknya pemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari pemiliknya secara rida (baik-baik) atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Kemaslahatan (kepentingan) bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab, bahwa beliau ingin mengadakan perluasan Masjidilharam, yaitu ketika jamaah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan mereka tetap tidak mau.
Umar pun mengambilnya dari mereka secara paksa dan dimasukkan ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Kakbah sehingga pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada Utsman bin Affan ra.
Menurut al-Qardhawi, demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama, maka tidak boleh bagi pemiliknya untuk menolak menjualnya asal dengan harga yang wajar.
Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan keputusan pengadilan khusus yang
menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika terjadi perselisihan.
"Di antara fitrah yang telah Allah ciptakan untuk manusia adalah mencintai hak milik atau kepemilikan. Sampai-sampai naluri kepemilikan ini ada pada anak-anak, tanpa ada yang mengajari dan menuntun," kata Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 197).
Menurutnya, Allah SWT membekali manusia dengan insting seperti itu agar menjadi pendorong yang kuat sehingga dapat memotivasi mereka untuk bergerak dengan baik. Yaitu ketika ia mengetahui bahwa ada hasil dari setiap kerja dan kesungguhannya.
"Dengan begitu makmurlah kehidupan ini, pembangunan berkembang, dan produktivitas masyarakat bertambah meningkat dan semakin baik," jelasnya.
Pemilikan merupakan salah satu dari karakter kebebasan (kemerdekaan). Seorang hamba sahaya tidak memiliki sesuatu, orang merdeka itulah yang memiliki. Al-Qardhawi mengatakan pemilikan juga merupakan salah satu karakter manusia, karena hewan tidak memiliki, manusialah yang merasa memiliki.
"Sekali lagi Islam mengakui adanya hak milik individu karena Islam adalah agama yang menghargai fitrah, kemerdekaan dan kemanusiaan," ujar Al-Qardhawi.
Demikian juga, katanya, bukan suatu keadilan jika engkau menahan pemberian upah kerja dan usaha seseorang, yang kemudian kamu berikan kepada orang lain yang bermalas-malasan dan pengangguran.
Akan tetapi keadilan dan kebaikan adalah hendaknya engkau membuka kesempatan untuk semuanya agar bisa bekerja dan memiliki. Apabila ternyata ada orang yang memiliki kelebihan dengan kecerdasan, kesungguhan, itqan dan sabarnya maka ia berhak untuk memperoleh imbalan yang sesuai.
Allah berfirman: "Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." ( QS Ar-Rahman : 60)
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." ( QS Al Ahqaf : 19)
Menurut al-Qardhawi, dari sinilah Islam memperbolehkan pemilikan, meskipun itu dapat menyebabkan pemiliknya menjadi sangat kaya dan melimpah ruah hartanya, selama ia tetap memelihara diri untuk mencari harta dengan cara yang halal dan menginfaqkan harta itu kepada yang berhak. Tidak dipergunakan untuk yang haram dan tidak berlebihan di dalam yang mubah. Tidak pelit dengan yang haq. Tidak menzalimi seseorang, serta tidak makan hak orang lain.
Hal itu, katanya, sebagaimana konsekuensi prinsip istikhlaf (pengamanan) dalam Islam (bukan pemilikan secara mutlak).
Semangat yang Kuat
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya Islam memperbolehkan tiap-tiap orang untuk memiliki, bahkan mengajak untuk memiliki dan melindungi pemiliknya. Dan semua itu dapat diwariskan kepada anak turunnya.
lni semua untuk memberi semangat yang kuat kepada setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam melanjutkan usahanya, sehingga seseorang itu dapat merasakan kepemimpinan dan kemampuan. Merasakan nikmatnya pemilikan dan tidak menempatkan mereka menjadi budak-budak di bawah kekuasaan penjajah asing.
Pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya membawa kebaikan untuk umat dan untuk perekonomian seluruhnya. Telah terbukti bahwa sesungguhnya dorongan (motivasi) individu itu mampu merealisasikan produktivitas yang cukup besar.
Berbeda dengan hak milik bersama seperti yayasan atau yang lainnya, yang produktifitasnya kecil dan tidak menguntungkan, karena tidak adanya motivasi dan kekuatan pengawasan yang timbul dari hak milik secara khusus.
Menurut Al-Qardhawi, Islam memberikan syarat untuk kepemilikan pribadi, yaitu dengan dua persyaratan sebagai berikut:
1. Harus terbukti bahwa harta itu diperoleh dengan cara yang benar dan dengan sarana yang diperbolehkan. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka Islam tidak mengakuinya, meskipun sudah lama berada di tangan orang yang memegangnya.
Inilah yang membedakan dengan undang-undang yang dibuat oleh manusia yang mengakui pemilikan secara haram yaitu apabila telah lama dikuasai pada masa tertentu, misalnya 15 tahun. Adapun menurut Islam, lamanya menguasai tidak boleh menjadikan yang haram menjadi yang halal, selama keharamannya masih tetap ada dan diketahui.
2. Hendaknya pemilikan pribadi itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Apabila ternyata bertentangan maka harus dicabut dari pemiliknya secara rida (baik-baik) atau secara paksa, tetapi tetap harus diganti secara adil. Kemaslahatan (kepentingan) bersama itu lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Pernah terjadi pada masa Umar bin Khattab, bahwa beliau ingin mengadakan perluasan Masjidilharam, yaitu ketika jamaah banyak dan tempatnya tidak lagi memadai. Umar berkeinginan membeli sebagian rumah yang ada kebunnya, tetapi pemiliknya menolak untuk menjualnya, dan mereka tetap tidak mau.
Umar pun mengambilnya dari mereka secara paksa dan dimasukkan ke bagian masjid, kemudian nilai uangnya diletakkan di tempat penitipan Kakbah sehingga pemiliknya mengambil uang itu setelah beberapa waktu. Ini juga pernah terjadi pada Utsman bin Affan ra.
Menurut al-Qardhawi, demikian juga apabila terdesak oleh keperluan atau kepentingan untuk menentukan lokasi pembuatan rumah sakit, pabrik, bandara, sekolahan atau yang lainnya yang berkaitan dengan kepentingan bersama, maka tidak boleh bagi pemiliknya untuk menolak menjualnya asal dengan harga yang wajar.
Apabila ia menolak maka penguasa berhak memaksanya untuk menerima, berdasarkan keputusan pengadilan khusus yang
menyelesaikan perkara antara negara dan rakyat ketika terjadi perselisihan.
(mhy)