5 Cara Pandang Islam Mengenai Harta Menurut Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan kaidah pertama dalam membangun ekonomi Islam adalah menghargai nilai harta benda dan kedudukannya dalam kehidupan.
Manusia sebelum datangnya Islam , baik sebagai pemahaman agama atau aliran, telah menganggap harta itu suatu keburukan sedangkan kemiskinan itu dianggap kebaikan.
"Mereka bahkan menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan materi itu sebagai kotoran bagi rohani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan rohani," tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Menurut al-Qardhawi, demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahma di India dan di dalam aliran Manawi' di Paris, sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen. "Kecenderungan ini semakin jelas dalam sistem kerahiban atau kependetaan," ujarnya.
Para pemilik Injil (Matius, Marcus, dan Lukas) menceritakan dari Al Masih, "Bahwa sesungguhnya ada seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Al Masih dan ingin masuk ke agamanya, maka Al Masih berkata kepadanya:
"Juallah harta milikmu kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada fuqara' dan kemari ikuti aku."
Ketika dirasa berat bagi pemuda itu, maka Al Masih pun berkata, "Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit! Saya katakan juga kepadamu, 'sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah, daripada masuknya orang kaya ke kerajaan Allah'."
Berbagai aliran (paham) baru seperti Materialis dan Sosialis, kata al-Qardhawi, mereka menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta sebagai Tuhannya bagi individu dan masyarakat.
Adapun Islam tidak memandang harta kekayaan itu seperti pandangan mereka yang pesimistis dan antipati, bukan pula memandang seperti pandangan kaum materialistis yang berlebihan, tetapi Islam memandang harta itu sebagai berikut:
Pertama, harta sebagai pilar penegak kehidupan
Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok (penegak) kehidupan." ( QS An-Nisa' : 5)
Kedua, di dalam beberapa ayat Al Qur'an harta disebut dengan kata, "Khairan" yang berarti suatu kebaikan sebagai berikut:
"Dan sesunggahnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta)" ( QS Al 'Adiyaat : 8)
"Katakanlah, "Apa saja kebaikan (harta) yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan kaum kerabatmu..." ( Al Baqarah : 215)
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kari kerabatnya secara ma'ruf,, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." ( QS Al Baqarah : 180)
Ketiga, kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman:
Manusia sebelum datangnya Islam , baik sebagai pemahaman agama atau aliran, telah menganggap harta itu suatu keburukan sedangkan kemiskinan itu dianggap kebaikan.
"Mereka bahkan menganggap segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan materi itu sebagai kotoran bagi rohani dan penghambat bagi peningkatan kemuliaan rohani," tutur Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Menurut al-Qardhawi, demikian itu sebagaimana dikenal dalam falsafah Brahma di India dan di dalam aliran Manawi' di Paris, sebagaimana juga dikenal dalam agama Kristen. "Kecenderungan ini semakin jelas dalam sistem kerahiban atau kependetaan," ujarnya.
Para pemilik Injil (Matius, Marcus, dan Lukas) menceritakan dari Al Masih, "Bahwa sesungguhnya ada seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Al Masih dan ingin masuk ke agamanya, maka Al Masih berkata kepadanya:
"Juallah harta milikmu kemudian berikanlah dari hasil penjualan itu kepada fuqara' dan kemari ikuti aku."
Ketika dirasa berat bagi pemuda itu, maka Al Masih pun berkata, "Sulit bagi orang kaya untuk memasuki kerajaan langit! Saya katakan juga kepadamu, 'sesungguhnya masuknya unta ke lubang jarum itu lebih mudah, daripada masuknya orang kaya ke kerajaan Allah'."
Berbagai aliran (paham) baru seperti Materialis dan Sosialis, kata al-Qardhawi, mereka menjadikan perekonomian itu sebagai tujuan hidup dan menjadikan harta sebagai Tuhannya bagi individu dan masyarakat.
Baca Juga
Adapun Islam tidak memandang harta kekayaan itu seperti pandangan mereka yang pesimistis dan antipati, bukan pula memandang seperti pandangan kaum materialistis yang berlebihan, tetapi Islam memandang harta itu sebagai berikut:
Pertama, harta sebagai pilar penegak kehidupan
Allah SWT berfirman:
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok (penegak) kehidupan." ( QS An-Nisa' : 5)
Kedua, di dalam beberapa ayat Al Qur'an harta disebut dengan kata, "Khairan" yang berarti suatu kebaikan sebagai berikut:
"Dan sesunggahnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta)" ( QS Al 'Adiyaat : 8)
"Katakanlah, "Apa saja kebaikan (harta) yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak dan kaum kerabatmu..." ( Al Baqarah : 215)
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kari kerabatnya secara ma'ruf,, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa." ( QS Al Baqarah : 180)
Ketiga, kekayaan merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dan bertaqwa dari hamba-hamba-Nya, Allah berfirman: