Berikut Alasan Mengapa Kurban Mesti di Daerah Domisili
Selasa, 28 Juli 2020 - 12:06 WIB
NABI Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) menjelaskan bahwa udhiyah ( binatang kurban ) dan daging merupakan sesuatu yang berbeda. Beliau bersabda: “Barang siapa salat seperti kami dan mengerjakan kurban seperti kami, maka telah benar penyembelihannya. Dan barang siapa menyembelih sebelum salat, maka itu adalah kambing yang diambil dagingnya (sembelihan biasa).”
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “ Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih sebelum keluar mengerjakan salat.” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Itu adalah kambing untuk diambil dagingnya (bukan kurban).”
Pada nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah terdapat petunjuk yang jelas bahwa tujuan dari binatang kurban itu tidak hanya sekadar dimanfaatkan dagingnya saja. "Jika tujuannya hanya mengambil manfaat dagingnya saja, niscaya anak-anak dan orang dewasa bisa mengerjakannya," tulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Adl-Dhiyâul Lâmi` Minal Khuthâbil Jawâmi.
Menurutnya, tujuan yang paling utama di balik semua itu, adalah mengagungkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah kurban dan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Syiar ini tidak akan terjadi, kecuali apabila dilakukan di dalam negeri tertentu, sehingga bisa dilihat oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Syaikh Muhammad berpendapat yang paling utama, paling sempurna, dan paling lurus bagi syiar-syiar Allah Azza wa Jalla adalah hendaknya kaum Muslimin berkurban di negeri mereka sendiri dan tidak membawa kurban mereka ke lain negeri. Karena membawa ke lain negeri menghilangkan maslahat-maslahat yang banyak dan menimbulkan banyak keburukan, di antaranya:
Pertama, hilangnya syiar-syiar Allah Azza wa Jalla di negeri itu. Masing-masing rumah kosong dari syiar, apalagi apabila diikuti oleh orang lain.
Kedua, hilangnya kesempatan menyembelih hewan kurban secara langsung oleh yang berkurban, dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang berkurban disunnahkan menyembelih binatang kurbannya sendiri; menyebut nama Allah Azza wa Jalla dan bertakbir sebagai bentuk ittiba` (meneladani) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti firman Allah Azza wa Jalla:
فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا
Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). [al-Hajj/22:36]
Para Ulama mengatakan: “Apabila orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya ia mewakilkan kepada Muslim yang lain.”
Ketiga, hilangnya perasaan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang didapatkan ketika seseorang menyembelih binatang kurbannya secara langsung. Sesungguhnya menyembelih (kurban) karena Allah Azza wa Jalla, merupakan ibadah yang sangat agung dan utama. Karena itu, Allah Azza wa Jalla meletakkannya sejajar dengan salat dalam firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Maka dirikanlah salat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah". (QS al-Kautsar : 2)
Dan bertanyalah kepada orang yang mengirim dengan kurbannya ke luar negeri, apakah dia merasakan ibadah yang agung dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla ini pada hari penyembelihan?
Keempat, hilangnya menyebut nama Allah Azza wa Jalla tatkala menyembelih dan bertakbir. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan orang yang mendekatkan diri kepada-Nya agar menyebut nama-Nya ketika menyembelih.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). [al-Hajj :36]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. [al-Hajj : 37].
Dalam hal ini ada dalil bahwa menyembelih binatang kurban dan menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan berdiri merupakan tujuan inti ibadah ini. Dan ini merupakan bentuk tauhid kepada Allah Azza wa Jalla.
Telah kita maklumi bahwa memindahkan kurban ke luar negeri akan menghilangkan tujuan yang agung ini. Sesungguhnya perbuatan ini lebih utama dari sekadar memanfaatkan daging dan menyedekahkannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. [al-Hajj/22:37]
Kelima, hilangnya kesempatan memakan daging binatang sembelihannya. Sesungguhnya orang yang berkurban diperintahkan untuk memakan daging kurbannya, bahkan Allah Azza wa Jalla mendahulukan perintah untuk memakan daging itu dari pada memberikannya kepada fakir miskin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. [al-Hajj/22:28]
Maka, orang yang memakan dari hasil kurbannya sendiri merupakan ibadah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalladan dia diberi pahala karena mengikuti perintah Allah Azza wa Jalla.
Telah dimaklumi bahwa mengirimnya ke lain negeri akan mencegahnya untuk memakan daging itu. Karena ia tidak bisa makan, maka hal itu termasuk perbuatan meremehkan perintah Allah Azza wa Jalla, dan dia berdosa menurut pendapat sebagian Ulama.
Keenam, di antara efek buruknya, orang yang berkurban menjadi ragu, apakah dia sudah boleh memotong kumis dan kukunya karena dia tidak tahu apakah binatangnya telah disembelih ataukah belum. Apakah disembelih pada hari id, atau pada hari-hari setelahnya.
Ini adalah enam maslahat yang hilang dengan dipindahkannya hewan kurban ke negeri lain.
( )
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan mengenai madharat-madharat membawa kurban ke lain tempat.
Pertama, banyak kaum Muslimin bisa memandang ibadah agung ini dari segi ekonomi keuangan murni. Yaitu hanya untuk kemaslahatan orang miskin, tanpa merasa bahwa itu adalah ibadah agung untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Barangkali dia merasakan ada unsur berbuat baik kepada para fuqarâ; ini baik dan merupakan ibadah. Namun, dia tidak merasakan hal ini mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya di antara keagungan berkurban karena Allah Azza wa Jalla yaitu maslahatnya tidak hanya sekadar berbuat baik kepada orang-orang fakir. Adapun orang-orang fakir bisa saja dibantu dengan kiriman uang, makanan, selimut pakaian, dan selainnya tanpa mengurangi ibadah penting kita.
Kedua, menghilangkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla atau menguranginya di negeri sendiri.
Ketiga, menghilangkan tujuan-tujuan wasiat orang yang sudah mati, jika dalam rangka melaksanakan wasiat. Karena, nampaknya orang yang berwasiat itu di samping ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga ingin memberikan manfaat kepada kerabatnya untuk dinikmati. Tidak terlintas dalam benak mereka untuk memindahkan kurbannya ke tempat lain, baik yang dekat maupun jauh.
Maka, memindahkannya termasuk menyelisihi dhâhir orang yang memberikan wasiat. Kemudian tidak diketahui orang yang mewakilkan penyembelihan di negeri lain, apakah dia mengetahui ilmu cara–cara penyembelihan yang benar, atau sekadar menyembelih dengan tangannya saja. Tidak diketahui apakah dia bisa menyembelih binatang kurban ini tepat pada waktunya? Terkadang binatang-binatang kurban yang dikirim dalam bentuk uang jumlahnya banyak sekali, sehingga sukar memperoleh binatang-binatang itu pada hari-hari penyembelihan. Akhirnya ditunda sampai setelah hari-hari penyembelihan; padahal hari-hari penyembelihan cuma empat hari saja.
Kemudian tidak diketahui juga, apakah semua binatang disembelih dengan menyebut nama pemiliknya atau secara keseluruhan. Misalnya dikatakan, “Ini seratus hewan dari seratus orang ” tanpa menyebutkan nama orangnya.
Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah juga menjelaskan dalam salahsatu fatwa beliau,
يفضل ذبحها في البلد الذي أنت فيه ، لتحضر الذبح وتسمي عليها وتأكل وتهدي وتتصدق أثلاثًا، لكن إن كان البلد غنيًا ولا يوجد فيه فقراء ، وإذا أعطيت بعضهم خزنه أيامًا ولديهم اللحوم متوفرة طوال السنة ، جاز إرسالها لمن يحتاجها من البلاد الفقيرة الذين يعوزهم اللحم ، ولا يوجد عندهم إلا نادرًا، ولابد من تحقق ذبحه في أيام الذبح، وتحقق ذبح السن المجزئة السالمة من العيوب ، وتحقق أمانة من يتولى ذلك ، والله أعلم
“Yang lebih utama, berkurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3 nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.”
Beda Pendapat
Para ulama memang berbeda pendapat perihal memindahkan hewan kurban ke luar daerah domisili orang yang berkurban. Para ulama menggunakan logika yang sama dalam memandang hewan kurban dan zakat.
Satu pendapat menyatakan kebolehan pemindahan hewan kurban ke luar daerah. Pendapat lain menyatakan ketidakbolehannya.
محل التضحية موضع المضحي سواء كان بلده أو موضعه من السفر بخلاف الهدي فانه يختص بالحرم وفي نقل الاضحية وجهان حكاهما الرافعي وغيره تخريجا من نقل الزكاة
Artinya, “Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban, sama saja apakah itu kota kelahiran atau kota yang sedang disinggahinya dalam perjalanan. Ketentuan ini berbeda dengan dam haji karena penyembelihan hewan dam haji itu khusus di tanah suci.
Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama. Kedua pandangan ini dihikayatkan oleh Ar-Rafi’i dan lainnya yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 403).
Keterangan Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk menyarankan bahwa seseorang yang mampu berkurban “dituntut” untuk berbagi dengan orang di sekitar lingkungannya dengan cara berkontribusi lewat ibadah kurban. Keterangan Imam An-Nawawi ini menganjurkan partisipasi dari orang yang mampu berkurban untuk masyarakat di sekitarnya, di mana pun ia berada.
Taqiyyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar bersepakat bahwa Ibadah kurban yang utama dilangsungkan di kampung halaman orang yang berkurban itu sendiri. Tetapi ia memandang bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat ulama yang membolehkan pemindahan hewan kurban ke luar daerah.
محل التضحية بلد المضحي وفي نقل الأضحية وجهان تخريجا من نقل الزكاة والصحيح هنا الجواز والله أعلم
Artinya, “Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban. Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat. Tetapi pendapat yang shahih, adalah boleh memindahkan kurban. Wallahu a‘lam,” (Lihat Taqiyyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz II, halaman 195).
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “ Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih sebelum keluar mengerjakan salat.” kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Itu adalah kambing untuk diambil dagingnya (bukan kurban).”
Pada nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah terdapat petunjuk yang jelas bahwa tujuan dari binatang kurban itu tidak hanya sekadar dimanfaatkan dagingnya saja. "Jika tujuannya hanya mengambil manfaat dagingnya saja, niscaya anak-anak dan orang dewasa bisa mengerjakannya," tulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Adl-Dhiyâul Lâmi` Minal Khuthâbil Jawâmi.
Menurutnya, tujuan yang paling utama di balik semua itu, adalah mengagungkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah kurban dan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Syiar ini tidak akan terjadi, kecuali apabila dilakukan di dalam negeri tertentu, sehingga bisa dilihat oleh orang dewasa maupun anak-anak.
Syaikh Muhammad berpendapat yang paling utama, paling sempurna, dan paling lurus bagi syiar-syiar Allah Azza wa Jalla adalah hendaknya kaum Muslimin berkurban di negeri mereka sendiri dan tidak membawa kurban mereka ke lain negeri. Karena membawa ke lain negeri menghilangkan maslahat-maslahat yang banyak dan menimbulkan banyak keburukan, di antaranya:
Pertama, hilangnya syiar-syiar Allah Azza wa Jalla di negeri itu. Masing-masing rumah kosong dari syiar, apalagi apabila diikuti oleh orang lain.
Kedua, hilangnya kesempatan menyembelih hewan kurban secara langsung oleh yang berkurban, dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang yang berkurban disunnahkan menyembelih binatang kurbannya sendiri; menyebut nama Allah Azza wa Jalla dan bertakbir sebagai bentuk ittiba` (meneladani) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti firman Allah Azza wa Jalla:
فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا
Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). [al-Hajj/22:36]
Para Ulama mengatakan: “Apabila orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya ia mewakilkan kepada Muslim yang lain.”
Ketiga, hilangnya perasaan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang didapatkan ketika seseorang menyembelih binatang kurbannya secara langsung. Sesungguhnya menyembelih (kurban) karena Allah Azza wa Jalla, merupakan ibadah yang sangat agung dan utama. Karena itu, Allah Azza wa Jalla meletakkannya sejajar dengan salat dalam firman-Nya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
"Maka dirikanlah salat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah". (QS al-Kautsar : 2)
Dan bertanyalah kepada orang yang mengirim dengan kurbannya ke luar negeri, apakah dia merasakan ibadah yang agung dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla ini pada hari penyembelihan?
Keempat, hilangnya menyebut nama Allah Azza wa Jalla tatkala menyembelih dan bertakbir. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan orang yang mendekatkan diri kepada-Nya agar menyebut nama-Nya ketika menyembelih.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). [al-Hajj :36]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. [al-Hajj : 37].
Dalam hal ini ada dalil bahwa menyembelih binatang kurban dan menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan berdiri merupakan tujuan inti ibadah ini. Dan ini merupakan bentuk tauhid kepada Allah Azza wa Jalla.
Telah kita maklumi bahwa memindahkan kurban ke luar negeri akan menghilangkan tujuan yang agung ini. Sesungguhnya perbuatan ini lebih utama dari sekadar memanfaatkan daging dan menyedekahkannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. [al-Hajj/22:37]
Kelima, hilangnya kesempatan memakan daging binatang sembelihannya. Sesungguhnya orang yang berkurban diperintahkan untuk memakan daging kurbannya, bahkan Allah Azza wa Jalla mendahulukan perintah untuk memakan daging itu dari pada memberikannya kepada fakir miskin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. [al-Hajj/22:28]
Maka, orang yang memakan dari hasil kurbannya sendiri merupakan ibadah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalladan dia diberi pahala karena mengikuti perintah Allah Azza wa Jalla.
Telah dimaklumi bahwa mengirimnya ke lain negeri akan mencegahnya untuk memakan daging itu. Karena ia tidak bisa makan, maka hal itu termasuk perbuatan meremehkan perintah Allah Azza wa Jalla, dan dia berdosa menurut pendapat sebagian Ulama.
Keenam, di antara efek buruknya, orang yang berkurban menjadi ragu, apakah dia sudah boleh memotong kumis dan kukunya karena dia tidak tahu apakah binatangnya telah disembelih ataukah belum. Apakah disembelih pada hari id, atau pada hari-hari setelahnya.
Ini adalah enam maslahat yang hilang dengan dipindahkannya hewan kurban ke negeri lain.
( )
Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin juga menjelaskan mengenai madharat-madharat membawa kurban ke lain tempat.
Pertama, banyak kaum Muslimin bisa memandang ibadah agung ini dari segi ekonomi keuangan murni. Yaitu hanya untuk kemaslahatan orang miskin, tanpa merasa bahwa itu adalah ibadah agung untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Barangkali dia merasakan ada unsur berbuat baik kepada para fuqarâ; ini baik dan merupakan ibadah. Namun, dia tidak merasakan hal ini mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Sesungguhnya di antara keagungan berkurban karena Allah Azza wa Jalla yaitu maslahatnya tidak hanya sekadar berbuat baik kepada orang-orang fakir. Adapun orang-orang fakir bisa saja dibantu dengan kiriman uang, makanan, selimut pakaian, dan selainnya tanpa mengurangi ibadah penting kita.
Kedua, menghilangkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla atau menguranginya di negeri sendiri.
Ketiga, menghilangkan tujuan-tujuan wasiat orang yang sudah mati, jika dalam rangka melaksanakan wasiat. Karena, nampaknya orang yang berwasiat itu di samping ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga ingin memberikan manfaat kepada kerabatnya untuk dinikmati. Tidak terlintas dalam benak mereka untuk memindahkan kurbannya ke tempat lain, baik yang dekat maupun jauh.
Maka, memindahkannya termasuk menyelisihi dhâhir orang yang memberikan wasiat. Kemudian tidak diketahui orang yang mewakilkan penyembelihan di negeri lain, apakah dia mengetahui ilmu cara–cara penyembelihan yang benar, atau sekadar menyembelih dengan tangannya saja. Tidak diketahui apakah dia bisa menyembelih binatang kurban ini tepat pada waktunya? Terkadang binatang-binatang kurban yang dikirim dalam bentuk uang jumlahnya banyak sekali, sehingga sukar memperoleh binatang-binatang itu pada hari-hari penyembelihan. Akhirnya ditunda sampai setelah hari-hari penyembelihan; padahal hari-hari penyembelihan cuma empat hari saja.
Kemudian tidak diketahui juga, apakah semua binatang disembelih dengan menyebut nama pemiliknya atau secara keseluruhan. Misalnya dikatakan, “Ini seratus hewan dari seratus orang ” tanpa menyebutkan nama orangnya.
Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah juga menjelaskan dalam salahsatu fatwa beliau,
يفضل ذبحها في البلد الذي أنت فيه ، لتحضر الذبح وتسمي عليها وتأكل وتهدي وتتصدق أثلاثًا، لكن إن كان البلد غنيًا ولا يوجد فيه فقراء ، وإذا أعطيت بعضهم خزنه أيامًا ولديهم اللحوم متوفرة طوال السنة ، جاز إرسالها لمن يحتاجها من البلاد الفقيرة الذين يعوزهم اللحم ، ولا يوجد عندهم إلا نادرًا، ولابد من تحقق ذبحه في أيام الذبح، وتحقق ذبح السن المجزئة السالمة من العيوب ، وتحقق أمانة من يتولى ذلك ، والله أعلم
“Yang lebih utama, berkurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3 nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.”
Beda Pendapat
Para ulama memang berbeda pendapat perihal memindahkan hewan kurban ke luar daerah domisili orang yang berkurban. Para ulama menggunakan logika yang sama dalam memandang hewan kurban dan zakat.
Satu pendapat menyatakan kebolehan pemindahan hewan kurban ke luar daerah. Pendapat lain menyatakan ketidakbolehannya.
محل التضحية موضع المضحي سواء كان بلده أو موضعه من السفر بخلاف الهدي فانه يختص بالحرم وفي نقل الاضحية وجهان حكاهما الرافعي وغيره تخريجا من نقل الزكاة
Artinya, “Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban, sama saja apakah itu kota kelahiran atau kota yang sedang disinggahinya dalam perjalanan. Ketentuan ini berbeda dengan dam haji karena penyembelihan hewan dam haji itu khusus di tanah suci.
Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama. Kedua pandangan ini dihikayatkan oleh Ar-Rafi’i dan lainnya yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 403).
Keterangan Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk menyarankan bahwa seseorang yang mampu berkurban “dituntut” untuk berbagi dengan orang di sekitar lingkungannya dengan cara berkontribusi lewat ibadah kurban. Keterangan Imam An-Nawawi ini menganjurkan partisipasi dari orang yang mampu berkurban untuk masyarakat di sekitarnya, di mana pun ia berada.
Taqiyyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar bersepakat bahwa Ibadah kurban yang utama dilangsungkan di kampung halaman orang yang berkurban itu sendiri. Tetapi ia memandang bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat ulama yang membolehkan pemindahan hewan kurban ke luar daerah.
محل التضحية بلد المضحي وفي نقل الأضحية وجهان تخريجا من نقل الزكاة والصحيح هنا الجواز والله أعلم
Artinya, “Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban. Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat. Tetapi pendapat yang shahih, adalah boleh memindahkan kurban. Wallahu a‘lam,” (Lihat Taqiyyuddin Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz II, halaman 195).
(mhy)