Ungkapkan Keindahan, Syaikh Al-Qardhawi: Rasulullah SAW Pernah Gunakan Syair saat Berdalil
Senin, 24 Juli 2023 - 05:15 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan jika Islam telah mengajak untuk merasakan keindahan, mencintai dan menikmatinya, maka Islam juga menekankan agar kita mengungkapkan perasaan dan kecintaan itu yang juga merupakan suatu keindahan tersendiri.
Dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" al-Qardhawi lalu mengulas tentang berbagai seni ucapan dan sastra.
Menurutnya, yang paling menonjol di bidang seni sastra adalah syair, prosa, kisah dan lainnya dari seluruh jenis seni sastra, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar syair dan menaruh perhatian padanya. Di antaranya adalah qasidah Ka'ab bin Zuhair yang terkenal dengan judul "Baanat Su'aadu," yang di dalamnya terdapat "Ghazal." Juga qasidahnya Nabighah Al Ja'di.
"Beliau berdoa untuknya dan mempergunakan syair tersebut untuk berkhidmah pada dakwah dan membelanya," ujar al-Qardhawi.
Rasulullah SAW juga pernah mempergunakan sebuah syair sebagai dalil, dalam sabdanya, "Perkataan yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah perkataan Lubaid":
"lngatlah!, bahwa segala sesuatu selain Allah itu bathil." (HR Muttafaqun 'Alaih)
Para sahabat Rasulullah SAW juga berdalil dengan mempergunakan syair, dan dengan syair pula mereka juga menafsirkan makna Al Qur'an. Bahkan di antara mereka ada yang pakar di bidang syair ini. Sebagaimana diceritakan dari Ali ra, bahwa ada sejumlah imam sahabat yang pakar di bidang syair.
Sebagian besar para imam adalah penyair, seperti Abdullah bin Mubarak, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebagian bayan adalah sangat menarik." (HR Malik, Ahmad dan Bukhari)
"Sesungguhnya di antara bayan itu menarik, dan sesungguhnnya di antara syair adalah bernilai hikmah." (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah bahwa sesungguhnya di sana ada sebagian syair yang tidak termasuk hikmah, bahkan berlawanan dengan hikmah. Seperti syair orang yang memuji kebatilan dan kebanggaan yang palsu, sindiran yang memusuhi dan ghazal (bermesraan) yang vulgar dan yang lainnya dari syair-syair yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlak dan nilai-nilai kemuliaan.
"Karena itu Al Qur'an mencela para penyair yang tidak bermoral yang sama sekali tidak mengenal akhlak," ujar al-Qardhawi. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya ? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." ( QS Asy Syu'ara' : 224-227)
Menurut al-Qardhawi, sya'ir dan sastra secara umum atau lebih umum lagi seni, mempunyai tujuan dan fungsi, yang keberadaannya tidak sia-sia. Yakni sya'ir dan sastra serta seni yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran.
Adapun perubahan-perubahan yang muncul dalam dunia syair dan sastra pada umumnya, maka tidak mengapa terjadi percobaan dan perkembangan dan saling mengambil dari selain kita selama itu masih sesuai dengan keyakinan yang kita pegang. Yang penting adalah tujuannya, dan isi serta fungsinya.
Bangsa Arab dahulu ahli dalam menciptakan syair-syair seperti "Al Muwasy-syahaat" dan jenis lainnya. Oleh karena itu tidak mengapa kita menerima adanya perubahan-perubahan baru di bidang syair (puisi) modern.
Demikian juga bangsa Arab dahulu pada masa-masa keislaman telah membuat berbagai bentuk karya sastra seperti "Maqamaut" dan kisah-kisah fiksi seperti "Risaalatul Ghufran" dan "Seribu Satu Malam." Mereka juga menerjemahkan karya orang lain seperti "Kalilah dan Daminah" dan dari kalangan Mutaakhiruun telah mengarang Malaahim Sya'ibiyah, seperti kisah "Antarah" dan sirah Bani Hilal dan yang lainnya.
Dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" al-Qardhawi lalu mengulas tentang berbagai seni ucapan dan sastra.
Menurutnya, yang paling menonjol di bidang seni sastra adalah syair, prosa, kisah dan lainnya dari seluruh jenis seni sastra, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mendengar syair dan menaruh perhatian padanya. Di antaranya adalah qasidah Ka'ab bin Zuhair yang terkenal dengan judul "Baanat Su'aadu," yang di dalamnya terdapat "Ghazal." Juga qasidahnya Nabighah Al Ja'di.
"Beliau berdoa untuknya dan mempergunakan syair tersebut untuk berkhidmah pada dakwah dan membelanya," ujar al-Qardhawi.
Rasulullah SAW juga pernah mempergunakan sebuah syair sebagai dalil, dalam sabdanya, "Perkataan yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah perkataan Lubaid":
"lngatlah!, bahwa segala sesuatu selain Allah itu bathil." (HR Muttafaqun 'Alaih)
Para sahabat Rasulullah SAW juga berdalil dengan mempergunakan syair, dan dengan syair pula mereka juga menafsirkan makna Al Qur'an. Bahkan di antara mereka ada yang pakar di bidang syair ini. Sebagaimana diceritakan dari Ali ra, bahwa ada sejumlah imam sahabat yang pakar di bidang syair.
Sebagian besar para imam adalah penyair, seperti Abdullah bin Mubarak, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i dan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebagian bayan adalah sangat menarik." (HR Malik, Ahmad dan Bukhari)
"Sesungguhnya di antara bayan itu menarik, dan sesungguhnnya di antara syair adalah bernilai hikmah." (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah bahwa sesungguhnya di sana ada sebagian syair yang tidak termasuk hikmah, bahkan berlawanan dengan hikmah. Seperti syair orang yang memuji kebatilan dan kebanggaan yang palsu, sindiran yang memusuhi dan ghazal (bermesraan) yang vulgar dan yang lainnya dari syair-syair yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlak dan nilai-nilai kemuliaan.
"Karena itu Al Qur'an mencela para penyair yang tidak bermoral yang sama sekali tidak mengenal akhlak," ujar al-Qardhawi. Hal itu dijelaskan dalam firman Allah SWT:
"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya ? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak meryebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezhaliman. Dan orang-orang yang zhalim itu keluar akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali." ( QS Asy Syu'ara' : 224-227)
Menurut al-Qardhawi, sya'ir dan sastra secara umum atau lebih umum lagi seni, mempunyai tujuan dan fungsi, yang keberadaannya tidak sia-sia. Yakni sya'ir dan sastra serta seni yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran.
Adapun perubahan-perubahan yang muncul dalam dunia syair dan sastra pada umumnya, maka tidak mengapa terjadi percobaan dan perkembangan dan saling mengambil dari selain kita selama itu masih sesuai dengan keyakinan yang kita pegang. Yang penting adalah tujuannya, dan isi serta fungsinya.
Bangsa Arab dahulu ahli dalam menciptakan syair-syair seperti "Al Muwasy-syahaat" dan jenis lainnya. Oleh karena itu tidak mengapa kita menerima adanya perubahan-perubahan baru di bidang syair (puisi) modern.
Demikian juga bangsa Arab dahulu pada masa-masa keislaman telah membuat berbagai bentuk karya sastra seperti "Maqamaut" dan kisah-kisah fiksi seperti "Risaalatul Ghufran" dan "Seribu Satu Malam." Mereka juga menerjemahkan karya orang lain seperti "Kalilah dan Daminah" dan dari kalangan Mutaakhiruun telah mengarang Malaahim Sya'ibiyah, seperti kisah "Antarah" dan sirah Bani Hilal dan yang lainnya.