Takdir Sudah Ditulis, Mengapa Masih Ada Penyiksaan bagi Manusia yang Berbuat Maksiat?
Kamis, 17 Agustus 2023 - 14:10 WIB
Mengapa Allah SWT akan menyiksa manusia karena maksiat , padahal Dia telah menakdirkan hal itu atas manusia? Menjawab hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin mengatakan langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya bukanlah persoalan yang sulit.
"Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan: "Lakukanlah perbuatan munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri," ujarnya dalam kitab Al-Qadha' wal Qadar yang dalam edisi Indonesia menjadi "Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar".
Allah SWT telah berfirman: "Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur". ( QS Al-Insan : 3)
Al-'Utsaimin menjelaskan maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, kata Al-'Utsaimin, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang: Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya Anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan.
"Pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu," ujarnya.
Maka pastilah kita akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin kita memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan: 'Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (pilihan kedua)'," lanjutnya.
Dengan demikian, Al-'Utsaimin mengatakan, apa yang telah kita tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya dilakukan dalam menempuh jalan ukhrawi.
Dapat juga dikatakan: Allah telah menawarkan di hadapan kita dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara' dan amal saleh yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi kita memilih perbuatan yang baik, mengapa kita tidak memilih amal baik dalam amal akhirat.
"Karena itu, seharusnya kita memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana kita harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam," jelasnya.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman. "Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok" (QS Luqman : 34)
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya.
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup. Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut.
Umar bin Kattab berkisah bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan: "Tunggu dulu hai Amirul Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah".
Umar mengatakan: "Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah".
Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas.
Allah berfirman: "(Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" ( QS An-Nisa : 165)
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. "Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya," demikian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin.
"Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan: "Lakukanlah perbuatan munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri," ujarnya dalam kitab Al-Qadha' wal Qadar yang dalam edisi Indonesia menjadi "Tanya Jawab Tentang Qadha dan Qadar".
Allah SWT telah berfirman: "Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia kufur". ( QS Al-Insan : 3)
Al-'Utsaimin menjelaskan maka baik kepada mereka yang bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan (penjelasan).
Dalam hal Ilzam, kata Al-'Utsaimin, maka kita dapat mengatakan kepada seseorang: Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya sama dan seharusnya Anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah direncanakan.
"Pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan yang kedua merugikan dirimu," ujarnya.
Maka pastilah kita akan memilih pekerjaan pertama yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin kita memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan: 'Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (pilihan kedua)'," lanjutnya.
Dengan demikian, Al-'Utsaimin mengatakan, apa yang telah kita tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya dilakukan dalam menempuh jalan ukhrawi.
Dapat juga dikatakan: Allah telah menawarkan di hadapan kita dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang menyalahi syara' dan amal saleh yang berupa amal-amal yang sesuai dengan syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi kita memilih perbuatan yang baik, mengapa kita tidak memilih amal baik dalam amal akhirat.
"Karena itu, seharusnya kita memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana kita harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam," jelasnya.
Adapun cara Bayan, maka kita dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita. Allah berfirman. "Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok" (QS Luqman : 34)
Maka ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut kepadanya.
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan sesungguhnya Qadar itu rahasia yang tertutup. Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi.
Dengan demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita. Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk kita.
Oleh karena itu, manusia tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan tersebut.
Umar bin Kattab berkisah bahwa seorang pencuri yang telah memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh untuk memotong tangannya, dia mengatakan: "Tunggu dulu hai Amirul Mu'minin, demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah".
Umar mengatakan: "Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah".
Maka Umar berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya. Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat maksiat kepada Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas.
Allah berfirman: "(Aku telah mengutus) para rasul yang membawa berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" ( QS An-Nisa : 165)
Sementara semua amal manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan terutusnya para rasul selamanya. "Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk melakukannya," demikian Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin.
(mhy)