Tren Mengonsumsi Serangga: Tak Semuanya Haram
Kamis, 07 September 2023 - 15:17 WIB
Kini, serangga sudah dijajakan dalam bentuk produk makanan olahan di sejumlah negara. Di Uni Eropa , serangga telah disetujui untuk dikonsumsi sejak Juni 2021: awalnya, ini berlaku untuk ulat bambu kuning, jangkrik rumah, dan belalang migrasi. Pada awal tahun 2023, Komisi Eropa juga membolehkan larva ulat bambu kecil yang mirip belatung, serta bubuk jangkrik rumah yang telah dihilangkan sebagian lemaknya untuk dikonsumsi.
Sementara itu, di Thailand , pelancong akan mendapati berbagai kuliner tak biasa yang terdiri dari olahan serangga. Ada hidangan ulat sutra goreng yang oleh warga setempat disebut hon mhai, juga belalang goreng dan jangkrik goreng.
Lalu bagaimana sesungguhnya hukum mengonsumsi serangga seperti itu? Majelis Ulama Indonesia atau MUI sudah mengeluarkan fatwa dalam masalah ini yakni Nomor Kep-13/MUI/ IV/Tahun 2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik. LPPOM MUI menempatkan belalang seperti halnya jangkrik, sebagai sejenis serangga yang boleh (mubah/halal) dikonsumsi.
Dengan syarat, mengonsumsi belalang dan jangkrik tidak menimbulkan kerugian (mudharat) bagi orang yang memakannya. Menangkap dan membudidayakan belalang untuk diambil manfaatnya, misalnya untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal).
LPPOM MUI menjelaskan bahwa Al-Quran tidak secara khusus menyebutkan kehalalan atau keharaman dari belalang. Firman Allah SWT menyebutkan: "Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian." ( QS Al Baqarah (2) : 29).
Ayat lain menyebutkan, "Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" ( QS Luqman : 20).
Akan tetapi, ada hadis dari Ibnu Umar ra, yang menyatakan bahwa belalang termasuk hewan yang boleh dikonsumsi. "Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yang dihalalkan ialah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah yang dihalalkan ialah hati dan limpa" (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daru Quthni dan At-Tirmidzi).
Hadis Nabi Muhammad SAW lainnya berbunyi, "Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Alquran) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apa pun" (HR Al-Hakim).
Sementara, terkait cacing, fatwa MUI menyatakan membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya (tidak untuk dimakan), maka hukumnya boleh (mubah). Manfaat itu bisa untuk pakan burung, tetapi tidak untuk dikonsumsi manusia.
MUI membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang menghalalkan memakan cacing, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Akan tetapi, ada pendapat ulama mengharamkan memakan hewan yang masuk kategori al-hasyarat (hewan kecil dan melata yang ada di Bumi) itu.
Sementara, terkait ulat yang juga dijadikan santapan masyarakat tertentu, ada pandangan berbeda. Apabila ulat tersebut termasuk khobaits atau menjijikkan, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Sementara, kalau tidak termasuk khobaits, maka hukumnya boleh (mubah) atau halal.
Ada pula pendapat ulama bahwa apabila ulat hidup di lingkungan atau dari pakan yang halal, maka hukumnya halal pula untuk dikonsumsi. Sebaliknya, kalau pakannya dari barang yang haram atau najis, maka hukumnya untuk dimakan juga haram.
Contohnya, ulat atau belatung yang hidup dan makan dari bangkai, maka hukumnya haram. Berbeda halnya apabila jenis ulat tersebut dibudidayakan, sehingga harus diketahui terlebih dahulu pakannya.
Berlaku pula kaidah hukum yang bersifat umum, yaitu kemanfaatan dan kemaslahatan. Ketika menyantap ulat bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan), maka diperbolehkan. Sebaliknya, mengonsumsinya jadi terlarang apabila membahayakan.
Sementara itu, di Thailand , pelancong akan mendapati berbagai kuliner tak biasa yang terdiri dari olahan serangga. Ada hidangan ulat sutra goreng yang oleh warga setempat disebut hon mhai, juga belalang goreng dan jangkrik goreng.
Lalu bagaimana sesungguhnya hukum mengonsumsi serangga seperti itu? Majelis Ulama Indonesia atau MUI sudah mengeluarkan fatwa dalam masalah ini yakni Nomor Kep-13/MUI/ IV/Tahun 2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik. LPPOM MUI menempatkan belalang seperti halnya jangkrik, sebagai sejenis serangga yang boleh (mubah/halal) dikonsumsi.
Dengan syarat, mengonsumsi belalang dan jangkrik tidak menimbulkan kerugian (mudharat) bagi orang yang memakannya. Menangkap dan membudidayakan belalang untuk diambil manfaatnya, misalnya untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal).
LPPOM MUI menjelaskan bahwa Al-Quran tidak secara khusus menyebutkan kehalalan atau keharaman dari belalang. Firman Allah SWT menyebutkan: "Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian." ( QS Al Baqarah (2) : 29).
Ayat lain menyebutkan, "Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" ( QS Luqman : 20).
Akan tetapi, ada hadis dari Ibnu Umar ra, yang menyatakan bahwa belalang termasuk hewan yang boleh dikonsumsi. "Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yang dihalalkan ialah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah yang dihalalkan ialah hati dan limpa" (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daru Quthni dan At-Tirmidzi).
Hadis Nabi Muhammad SAW lainnya berbunyi, "Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Alquran) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesuatu apa pun" (HR Al-Hakim).
Sementara, terkait cacing, fatwa MUI menyatakan membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya (tidak untuk dimakan), maka hukumnya boleh (mubah). Manfaat itu bisa untuk pakan burung, tetapi tidak untuk dikonsumsi manusia.
MUI membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang menghalalkan memakan cacing, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Akan tetapi, ada pendapat ulama mengharamkan memakan hewan yang masuk kategori al-hasyarat (hewan kecil dan melata yang ada di Bumi) itu.
Sementara, terkait ulat yang juga dijadikan santapan masyarakat tertentu, ada pandangan berbeda. Apabila ulat tersebut termasuk khobaits atau menjijikkan, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Sementara, kalau tidak termasuk khobaits, maka hukumnya boleh (mubah) atau halal.
Ada pula pendapat ulama bahwa apabila ulat hidup di lingkungan atau dari pakan yang halal, maka hukumnya halal pula untuk dikonsumsi. Sebaliknya, kalau pakannya dari barang yang haram atau najis, maka hukumnya untuk dimakan juga haram.
Contohnya, ulat atau belatung yang hidup dan makan dari bangkai, maka hukumnya haram. Berbeda halnya apabila jenis ulat tersebut dibudidayakan, sehingga harus diketahui terlebih dahulu pakannya.
Berlaku pula kaidah hukum yang bersifat umum, yaitu kemanfaatan dan kemaslahatan. Ketika menyantap ulat bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan), maka diperbolehkan. Sebaliknya, mengonsumsinya jadi terlarang apabila membahayakan.
(mhy)
Lihat Juga :