Zionis Israel: Mulanya Kampanye Tanah Tanpa Bangsa untuk Bangsa Tanpa Tanah
Senin, 30 Oktober 2023 - 08:45 WIB
Dr Muhsin Muhammad Shaleh menjelaskan kampanye Zionis Israel pada awalnya dan sejak abad ke-19 terfokus pada pemikiran “tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah”. Mereka menganggap bahwa tidak ada bangsa (rakyat) di Palestina , sehingga adalah wajar dan hak bagi bangsa Yahudi yang tidak memiliki tanah untuk menjadikan tanah Palestina buat mereka.
"Hanya saja, di Palestina orang-orang Yahudi sejak awal koloni permukiman pertama, mendapati bahwa tanah Palestina yang subur telah dihuni bangsa yang giat bekerja," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya yang berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Itu sebabnya, pada dekade terakhir abad ke-19 salah seorang senior pemimpin gerakan Zionis yang dekat dengan Theodor Herzl (1860 – 1904) mengutus dua orang Hakom (pendeta) Yahudi untuk memberikan laporan kepada Konferensi Zionisme mengenai kemungkinan aktivitas migrasi (hijrah) orang-orang Yahudi ke Palestina.
Setelah kembali, keduanya menulis laporan yang di dalamnya diibaratkan, “Bahwa Palestina adalah mempelai wanita yang cantik, ialah cukup memenuhi semua persyaratan, namun sayang ia benar-benar telah bersuami,” artinya bahwa di sana ada bangsa (rakyat) yang menempatinya dan bukanlah tanah tanpa bangsa (rakyat).
Aktivitas perlawanan Palestina untuk menghadapi permukiman koloni Yahudi ini telah mulai dilakukan di Palestina sejak mulai proyek ini muncul, dan sejak tahap-tahap awal sekali proyek ini, di masa Daulah Utsmaniyah.
Kala itu, pada tahun 1886, telah terjadi benturan antara petani Palestina dengan para pemukim Yahudi. Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sejak datang Rasyad Basha mengurus al Quds yang menunjukkan sikap nepotisme pada orang-orang Yahudi maka utusan dari pihak dewan al Quds mengajukan protes terhadapnya pada Mei 1890.
Pada 24 Juni 1891, dewan al Quds mengajukan petisi kepada Shadr A’dzam (semacam perdana menteri) di Daulah Utsmaniyah. Dalam petisinya mereka meminta pelarangan hijrah Yahudi Rusia ke Palestina dan pelarangan bagi mereka mempunyai hak kepemilikan tanah di Palestina.
Para ulama perwakilan Palestina di pemerintahan Daulah Utsmaniyah, memberikan peringatan akan bahaya koloni permukiman Yahudi dan meminta melakukan langkah-langkah tegas dalam menghadapinya.
Pada tahun 1897, Syaikh Muhammad Taher Husaini mengetuai dewan lokal yang memiliki kewenangan pemerintah resmi untuk melakukan penelitian pada permintaan pemindahan kepemilikan pada penguasaan Baitul Maqdis, maka dapat menghalangi perpindahan banyak tanah ke tangan Yahudi.
Syaikh Sulaiman Taji Faruqi yang mendirikan Partai Nasional Utsmani pada tahun 1911 juga memiliki peran dalam mengingatkan bahaya Zionis. Demikian juga yang dilakukan Yusuf Khalidi, Ruhi Khalidi, Sa’id Husaini dan Nagib Nashar.
Meskipun Sultan Abdul Hamid dan penguasa pusat telah mengeluarkan ta’limat (instruksi) untuk melakukan perlawanan terhadap hijrah (migrasi) dan koloni permukiman Yahudi, namun kerusakan bagian manajerial Daulah Utsmaniyah telah menghalangi pelaksanaan ta’limat tersebut.
Orang Yahudi melakukan praktik penyuapan agar bisa membeli tanah Palestina dalam jumlah besar. Kemudian penguasaan Partai Persatuan dan Kemajuan atas Daulah Utsmaniyah dan menjatuhkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1909, serta pengaruh Yahudi yang sangat besar di dalamnya, telah turut serta memudahkan orang-orang Yahudi memiliki tanah Palestina dan menghijrahkan orang-orang Palestina.
Bersamaan dengan akhir Daulah Utsmaniyah pada tahun 1918 orang-orang Yahudi telah mendapatkan 420.000 m2 dari total luas tanah Palestina atau sebesar 1,56% dari total tanah Palestina.
Tanah itu mereka beli dari para tuan tanah asal Lebanon semisal keluarga Sarsaq, Tiyan, Tuwaini dan Midwar, atau dari pemerintah Utsmaniyah lewat jalan pelelangan yang di dalamnya dijual tanah para petani Palestina yang tidak mampu membayar pajak menumpuk yang dibebankan kepada mereka.
Lainnya, juga dari para tuan tanah Palestina yang sebagian besarnya adalah orang-orang Nasrani seperti keluarga Rok, Kisar, Khauri dan Hana. Pembelian ini mencapai sekitar 93% dari tanah yang mereka peroleh kala itu.
Muhsin Muhammad Shaleh mengatakan yang penting, kala itu, bahaya Zionisme belum menjadi bahaya yang begitu menakutkan bagi anak-anak Palestina. Itu dikarenakan kecilnya jumlah permukiman koloni dan perumahan Yahudi juga ketidakmungkinan pendirian entitas Zionis di bawah daulah islamiyah (Daulah Utsmaniyah).
Baru kemudian, ketika Palestina berada di bawah penjajah imperialis Inggris pada tahun 1917 – tahun 1948, secara terang-terangan negara ini datang ke Palestina untuk melaksanakan proyek Zionis dan mendirikan tanah air nasional bagi Yahudi di Palestina.
"Hanya saja, di Palestina orang-orang Yahudi sejak awal koloni permukiman pertama, mendapati bahwa tanah Palestina yang subur telah dihuni bangsa yang giat bekerja," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya yang berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Baca Juga
Itu sebabnya, pada dekade terakhir abad ke-19 salah seorang senior pemimpin gerakan Zionis yang dekat dengan Theodor Herzl (1860 – 1904) mengutus dua orang Hakom (pendeta) Yahudi untuk memberikan laporan kepada Konferensi Zionisme mengenai kemungkinan aktivitas migrasi (hijrah) orang-orang Yahudi ke Palestina.
Setelah kembali, keduanya menulis laporan yang di dalamnya diibaratkan, “Bahwa Palestina adalah mempelai wanita yang cantik, ialah cukup memenuhi semua persyaratan, namun sayang ia benar-benar telah bersuami,” artinya bahwa di sana ada bangsa (rakyat) yang menempatinya dan bukanlah tanah tanpa bangsa (rakyat).
Aktivitas perlawanan Palestina untuk menghadapi permukiman koloni Yahudi ini telah mulai dilakukan di Palestina sejak mulai proyek ini muncul, dan sejak tahap-tahap awal sekali proyek ini, di masa Daulah Utsmaniyah.
Kala itu, pada tahun 1886, telah terjadi benturan antara petani Palestina dengan para pemukim Yahudi. Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sejak datang Rasyad Basha mengurus al Quds yang menunjukkan sikap nepotisme pada orang-orang Yahudi maka utusan dari pihak dewan al Quds mengajukan protes terhadapnya pada Mei 1890.
Pada 24 Juni 1891, dewan al Quds mengajukan petisi kepada Shadr A’dzam (semacam perdana menteri) di Daulah Utsmaniyah. Dalam petisinya mereka meminta pelarangan hijrah Yahudi Rusia ke Palestina dan pelarangan bagi mereka mempunyai hak kepemilikan tanah di Palestina.
Para ulama perwakilan Palestina di pemerintahan Daulah Utsmaniyah, memberikan peringatan akan bahaya koloni permukiman Yahudi dan meminta melakukan langkah-langkah tegas dalam menghadapinya.
Pada tahun 1897, Syaikh Muhammad Taher Husaini mengetuai dewan lokal yang memiliki kewenangan pemerintah resmi untuk melakukan penelitian pada permintaan pemindahan kepemilikan pada penguasaan Baitul Maqdis, maka dapat menghalangi perpindahan banyak tanah ke tangan Yahudi.
Syaikh Sulaiman Taji Faruqi yang mendirikan Partai Nasional Utsmani pada tahun 1911 juga memiliki peran dalam mengingatkan bahaya Zionis. Demikian juga yang dilakukan Yusuf Khalidi, Ruhi Khalidi, Sa’id Husaini dan Nagib Nashar.
Meskipun Sultan Abdul Hamid dan penguasa pusat telah mengeluarkan ta’limat (instruksi) untuk melakukan perlawanan terhadap hijrah (migrasi) dan koloni permukiman Yahudi, namun kerusakan bagian manajerial Daulah Utsmaniyah telah menghalangi pelaksanaan ta’limat tersebut.
Orang Yahudi melakukan praktik penyuapan agar bisa membeli tanah Palestina dalam jumlah besar. Kemudian penguasaan Partai Persatuan dan Kemajuan atas Daulah Utsmaniyah dan menjatuhkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1909, serta pengaruh Yahudi yang sangat besar di dalamnya, telah turut serta memudahkan orang-orang Yahudi memiliki tanah Palestina dan menghijrahkan orang-orang Palestina.
Bersamaan dengan akhir Daulah Utsmaniyah pada tahun 1918 orang-orang Yahudi telah mendapatkan 420.000 m2 dari total luas tanah Palestina atau sebesar 1,56% dari total tanah Palestina.
Tanah itu mereka beli dari para tuan tanah asal Lebanon semisal keluarga Sarsaq, Tiyan, Tuwaini dan Midwar, atau dari pemerintah Utsmaniyah lewat jalan pelelangan yang di dalamnya dijual tanah para petani Palestina yang tidak mampu membayar pajak menumpuk yang dibebankan kepada mereka.
Lainnya, juga dari para tuan tanah Palestina yang sebagian besarnya adalah orang-orang Nasrani seperti keluarga Rok, Kisar, Khauri dan Hana. Pembelian ini mencapai sekitar 93% dari tanah yang mereka peroleh kala itu.
Muhsin Muhammad Shaleh mengatakan yang penting, kala itu, bahaya Zionisme belum menjadi bahaya yang begitu menakutkan bagi anak-anak Palestina. Itu dikarenakan kecilnya jumlah permukiman koloni dan perumahan Yahudi juga ketidakmungkinan pendirian entitas Zionis di bawah daulah islamiyah (Daulah Utsmaniyah).
Baru kemudian, ketika Palestina berada di bawah penjajah imperialis Inggris pada tahun 1917 – tahun 1948, secara terang-terangan negara ini datang ke Palestina untuk melaksanakan proyek Zionis dan mendirikan tanah air nasional bagi Yahudi di Palestina.