Pembebasan Irak: Kisah Penduduk Hirah Setuju dengan Jizyah
Jum'at, 19 Januari 2024 - 16:53 WIB
Tatkala Khalid bin Walid menguasai Istana Khawarnaq dan Istana Najaf, di Irak , komandan perang Persia , Azadabeh lari sebelum bertempur. Ia merasa sangat terpukul dengan apa yang telah menimpa anaknya dan dengan kematian Ardasyir.
Kedua istana yang diduduki Khalid itu adalah tempat musim panas para pembesar Hirah, sementara pasukannya sudah berkemah di depan tembok kota itu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan larinya Azadabeh itu tidak mengurangi pihak Hirah sendiri untuk mempertahankan keempat benteng kota dan tembok-temboknya dan mengadakan persiapan untuk mempertahankannya sedapat mungkin.
Para perwira Muslimin itu mengajak penguasa-penguasa Hirah untuk menerima satu dari tiga pilihan ini: Islam, jizyah atau pengumuman perang. Tetapi penguasa-penguasa itu memilih perang.
Akhirnya, tak ada jalan lain. Menyerbulah tentara muslim ke istana-istana mereka. Banyak korban dalam perang itu. Pastor-pastor dan rahib-rahib yang banyak terdapat dalam biara-biara di Hirah, begitu melihat pembantaian menimpa mereka dan yang lain, mereka berseru:
"Hai penghuni istana, tak ada orang yang membunuhi kami selain kamu!"
Melihat perlawanan itu tampaknya sia-sia para penghuni istana itu berseru:
"Hai orang-orang Arab! Satu dari yang tiga itu kami setujui. Hentikan serangan kalian sambil menunggu sampai Khalid tiba ke tempat kami."
Khalid menemui penghuni istana itu satu persatu, lalu katanya kepada mereka: "Pilihlah satu dari tiga," kata Khalid lebih lanjut: "Bergabung ke dalam agama kami, kamu mendapat hak dan kewajiban yang sama, walaupun kamu pindah tempat kalau kamu akan tinggal di perkampungan kamu; atau membayar jizyah; atau berperang. Demi Allah, kami datang ke mari dengan orang-orang yang lebih mencintai mati daripada hidup."
"Kami akan membayar jizyah," jawab mereka.
Heran juga Khalid atas kegigihan mereka bertahan dalam agama Nasraninya itu, lalu katanya:
"Celaka kamu! Kekufuran itu adalah padang tandus yang menyesatkan. Orang Arab yang paling bodoh ketika dalam perjalanan bertemu dengan dua orang penunjuk jalan, yang dipilihnya orang asing dan yang orang Arab ditinggalkan."
Kata-kata ini tak dapat mengubah kegigihan mereka dari agamanya itu. Mereka bersikap demikian mungkin karena jiwa mereka terpengaruh oleh martabatnya sebagai manusia kalau sampai ia pindah dari keyakinan yang dianutnya, sebab dia sudah kalah lalu terpaksa pindah agama. Juga terpengaruh oleh keadaan kaum Muslimin yang masih baru di Irak. Orang tidak tahu, akan betahkah mereka di Hirah dengan keadaan itu, atau karena hal-hal tertentu mereka akan keluar meninggalkannya.
Khalid telah mengadakan persetujuan dengan mereka dengan pembayaran jizyah 190 ribu dirham. Persetujuan tertulis dibuat antara dia dengan pemuka-pemuka mereka:
"Adi dan Amr anak-anak Adi dan Amr bin Abdul Masih dan lyas bin Qubaisah dan Hiri bin Akal yang berisi persetujuan penduduk Hirah dengan ketentuan jizyah ini, dibayar setiap tahun bagi yang minta perlindungan; bagi yang tidak meminta perlindungan, tidak dikenakan jizyah. Kalau mereka melakukan pengkhianatan, dengan perbuatan atau perkataan, maka haknya sebagai seorang zimmi tak ada lagi".
Mereka memberikan hadiah-hadiah kepada Khalid, yang oleh Khalid kemudian dikirimkan kepada Khalifah Abu Bakar bersama-sama dengan berita kemenangannya dan persetujuan itu. Persetujuan dibenarkan dan hadiah-hadiah itu pun diterima, tetapi dinilainya sebagai jizyah. Maka ia menulis surat kepada Khalid.
Haekal mengatakan ketika menyinggung soal perjanjian itu para penulis sejarah menyebutkan, bahwa ada sebuah cerita aneh meskipun kebenarannya masih diragukan.
Diceritakan bahwa Khalid menolak membuat persetujuan itu kecuali jika Karamah putri Abdul Masih, saudara perempuan Amr diserahkan kepada Syuwail.
Dia begitu gigih dalam hal ini karena dikatakan bahwa Syuwail ini pernah mendengar Rasulullah SAW menyebutkan tentang Hirah dan ia menanyakan tentang Karamah, dikatakan kepadanya: "Dia buat engkau kalau kau dapat membebaskan (Hirah) dengan paksa."
Gadis yang bernarna Karamah ini waktu mudanya sangat cantik. Syuwail waktu mudanya juga pernah melihat dan dia tergila-gila kepadanya dengan selalu memujinya. Bahwa dia kini menuntutnya kembali, buat Khalid tak ada jalan lain kecuali harus melaksanakan janji Rasulullah itu.
Hal ini sangat mengharukan hati keluarganya dan menganggapnya penting. Tetapi Karamah berkata kepada mereka: "Tidak apa, pertemukan aku dengan dia, aku yang akan menebus. Untuk apa kalian khawatir kepada perempuan yang sudah berusia 80 tahun! Laki-laki ini bodoh sekali. Dia melihatku waktu aku masih muda remaja dan dikiranya tidak berubah!"
Lalu ia menemui Syuwail seraya berkata:
"Maksudmu mau apa dengan nenek-nenek setua aku ini? Sekarang tebus sajalah aku!"
"Tidak," katanya. "Aku yang akan menentukan."
"Tentukanlah semaumu."
"Rasanya bukan suami ibu Syuwail kalau kurang dari seribu dirham."
Karamah pura-pura menganggap jumlah itu terlalu besar dengan maksud hendak mempermainkannya. Tetapi tebusan itu kemudian diberikan dan ia pun kembali kepada keluarganya ketika teman-temannya mendengar apa yang dilakukannya itu, ia diejek karena dinilai jumlah tebusan itu terlalu kecil, dan ada pula yang memarahinya. Tetapi ia masih berdalih: "Aku rasa tak akan ada jumlah yang lebih tinggi dari seribu."
Ia mengadukan hal itu kepada Khalid. "Niatku memang itulah jumlah yang tertinggi."
"Kita menginginkan sesuatu, Allah menghendaki yang lain," kata Khalid. "Kita lihat yang nyata saja lepas dari soal niatmu, kau membohong atau tidak."
Markas Komando
Selesai Khalid membebaskan Hirah, atas kemenangan itu ia salat delapan rakaat tanpa salam. Selesai salat ia berpaling kepada teman-temannya katanya:
"Dalam perang Mu'tah sudah sembilan pedang yang patah di tanganku. Tetapi tak ada yang seperti orang Persia ini, terutama orang-orang Ullais."
Khalid tinggal di Hirah dan sekaligus dijadikan markas komandonya. Itulah ibu kota Islam pertama di luar negeri Arab. Tetapi pimpinan pemerintahan diserahkan kepada tokoh-tokoh anak negeri itu.
Dengan demikian mereka merasa puas, suasana sekitar juga tenang. Penduduk di dekat Hirah merasakan adanya keadilan yang merata. Terasa terganggu oleh yang demikian, istana Persia berusaha mengajak damai Khalid dan bersedia bergabung di bawah panji Islam.
Bukankah petani-petani itu dibiarkan tak terganggu menggarap tanah mereka, malah segala yang menjadi beban buat mereka karena kezaliman pejabat-pejabat Persia dulu kini dihapus, dan hak-hak mereka dijamin.
Menurut Haekal, yang pertama sekali mengajak damai ialah Suluba bin Nastuna penguasa Quss al-Maqatif di bilangan Banqia dan Basma.
Kemudian dibuat persetujuan mengenai jizyah dan perlindungan dengan pembayaran 10 ribu dinar setiap tahun; yang mampu disesuaikan dengan kemampuann dan yang tak mampu disesuaikan dengan ketidakmampuannya.
Persetujuan ini ditutup dengan kata-kata berikut yang ditujukan kepada Suluba: "Engkau sudah menjadi pemimpin kaummu dan kaummu sudah setuju dengan engkau, dan aku dengan kaum Muslimin pasukanku setuju."
Kedua istana yang diduduki Khalid itu adalah tempat musim panas para pembesar Hirah, sementara pasukannya sudah berkemah di depan tembok kota itu.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Abu Bakr As-Siddiq" yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah (PT Pustaka Litera AntarNusa, 1987) menceritakan larinya Azadabeh itu tidak mengurangi pihak Hirah sendiri untuk mempertahankan keempat benteng kota dan tembok-temboknya dan mengadakan persiapan untuk mempertahankannya sedapat mungkin.
Para perwira Muslimin itu mengajak penguasa-penguasa Hirah untuk menerima satu dari tiga pilihan ini: Islam, jizyah atau pengumuman perang. Tetapi penguasa-penguasa itu memilih perang.
Akhirnya, tak ada jalan lain. Menyerbulah tentara muslim ke istana-istana mereka. Banyak korban dalam perang itu. Pastor-pastor dan rahib-rahib yang banyak terdapat dalam biara-biara di Hirah, begitu melihat pembantaian menimpa mereka dan yang lain, mereka berseru:
"Hai penghuni istana, tak ada orang yang membunuhi kami selain kamu!"
Melihat perlawanan itu tampaknya sia-sia para penghuni istana itu berseru:
"Hai orang-orang Arab! Satu dari yang tiga itu kami setujui. Hentikan serangan kalian sambil menunggu sampai Khalid tiba ke tempat kami."
Khalid menemui penghuni istana itu satu persatu, lalu katanya kepada mereka: "Pilihlah satu dari tiga," kata Khalid lebih lanjut: "Bergabung ke dalam agama kami, kamu mendapat hak dan kewajiban yang sama, walaupun kamu pindah tempat kalau kamu akan tinggal di perkampungan kamu; atau membayar jizyah; atau berperang. Demi Allah, kami datang ke mari dengan orang-orang yang lebih mencintai mati daripada hidup."
"Kami akan membayar jizyah," jawab mereka.
Heran juga Khalid atas kegigihan mereka bertahan dalam agama Nasraninya itu, lalu katanya:
"Celaka kamu! Kekufuran itu adalah padang tandus yang menyesatkan. Orang Arab yang paling bodoh ketika dalam perjalanan bertemu dengan dua orang penunjuk jalan, yang dipilihnya orang asing dan yang orang Arab ditinggalkan."
Kata-kata ini tak dapat mengubah kegigihan mereka dari agamanya itu. Mereka bersikap demikian mungkin karena jiwa mereka terpengaruh oleh martabatnya sebagai manusia kalau sampai ia pindah dari keyakinan yang dianutnya, sebab dia sudah kalah lalu terpaksa pindah agama. Juga terpengaruh oleh keadaan kaum Muslimin yang masih baru di Irak. Orang tidak tahu, akan betahkah mereka di Hirah dengan keadaan itu, atau karena hal-hal tertentu mereka akan keluar meninggalkannya.
Khalid telah mengadakan persetujuan dengan mereka dengan pembayaran jizyah 190 ribu dirham. Persetujuan tertulis dibuat antara dia dengan pemuka-pemuka mereka:
"Adi dan Amr anak-anak Adi dan Amr bin Abdul Masih dan lyas bin Qubaisah dan Hiri bin Akal yang berisi persetujuan penduduk Hirah dengan ketentuan jizyah ini, dibayar setiap tahun bagi yang minta perlindungan; bagi yang tidak meminta perlindungan, tidak dikenakan jizyah. Kalau mereka melakukan pengkhianatan, dengan perbuatan atau perkataan, maka haknya sebagai seorang zimmi tak ada lagi".
Mereka memberikan hadiah-hadiah kepada Khalid, yang oleh Khalid kemudian dikirimkan kepada Khalifah Abu Bakar bersama-sama dengan berita kemenangannya dan persetujuan itu. Persetujuan dibenarkan dan hadiah-hadiah itu pun diterima, tetapi dinilainya sebagai jizyah. Maka ia menulis surat kepada Khalid.
Haekal mengatakan ketika menyinggung soal perjanjian itu para penulis sejarah menyebutkan, bahwa ada sebuah cerita aneh meskipun kebenarannya masih diragukan.
Diceritakan bahwa Khalid menolak membuat persetujuan itu kecuali jika Karamah putri Abdul Masih, saudara perempuan Amr diserahkan kepada Syuwail.
Dia begitu gigih dalam hal ini karena dikatakan bahwa Syuwail ini pernah mendengar Rasulullah SAW menyebutkan tentang Hirah dan ia menanyakan tentang Karamah, dikatakan kepadanya: "Dia buat engkau kalau kau dapat membebaskan (Hirah) dengan paksa."
Gadis yang bernarna Karamah ini waktu mudanya sangat cantik. Syuwail waktu mudanya juga pernah melihat dan dia tergila-gila kepadanya dengan selalu memujinya. Bahwa dia kini menuntutnya kembali, buat Khalid tak ada jalan lain kecuali harus melaksanakan janji Rasulullah itu.
Hal ini sangat mengharukan hati keluarganya dan menganggapnya penting. Tetapi Karamah berkata kepada mereka: "Tidak apa, pertemukan aku dengan dia, aku yang akan menebus. Untuk apa kalian khawatir kepada perempuan yang sudah berusia 80 tahun! Laki-laki ini bodoh sekali. Dia melihatku waktu aku masih muda remaja dan dikiranya tidak berubah!"
Lalu ia menemui Syuwail seraya berkata:
"Maksudmu mau apa dengan nenek-nenek setua aku ini? Sekarang tebus sajalah aku!"
"Tidak," katanya. "Aku yang akan menentukan."
"Tentukanlah semaumu."
"Rasanya bukan suami ibu Syuwail kalau kurang dari seribu dirham."
Karamah pura-pura menganggap jumlah itu terlalu besar dengan maksud hendak mempermainkannya. Tetapi tebusan itu kemudian diberikan dan ia pun kembali kepada keluarganya ketika teman-temannya mendengar apa yang dilakukannya itu, ia diejek karena dinilai jumlah tebusan itu terlalu kecil, dan ada pula yang memarahinya. Tetapi ia masih berdalih: "Aku rasa tak akan ada jumlah yang lebih tinggi dari seribu."
Ia mengadukan hal itu kepada Khalid. "Niatku memang itulah jumlah yang tertinggi."
"Kita menginginkan sesuatu, Allah menghendaki yang lain," kata Khalid. "Kita lihat yang nyata saja lepas dari soal niatmu, kau membohong atau tidak."
Markas Komando
Selesai Khalid membebaskan Hirah, atas kemenangan itu ia salat delapan rakaat tanpa salam. Selesai salat ia berpaling kepada teman-temannya katanya:
"Dalam perang Mu'tah sudah sembilan pedang yang patah di tanganku. Tetapi tak ada yang seperti orang Persia ini, terutama orang-orang Ullais."
Khalid tinggal di Hirah dan sekaligus dijadikan markas komandonya. Itulah ibu kota Islam pertama di luar negeri Arab. Tetapi pimpinan pemerintahan diserahkan kepada tokoh-tokoh anak negeri itu.
Dengan demikian mereka merasa puas, suasana sekitar juga tenang. Penduduk di dekat Hirah merasakan adanya keadilan yang merata. Terasa terganggu oleh yang demikian, istana Persia berusaha mengajak damai Khalid dan bersedia bergabung di bawah panji Islam.
Bukankah petani-petani itu dibiarkan tak terganggu menggarap tanah mereka, malah segala yang menjadi beban buat mereka karena kezaliman pejabat-pejabat Persia dulu kini dihapus, dan hak-hak mereka dijamin.
Menurut Haekal, yang pertama sekali mengajak damai ialah Suluba bin Nastuna penguasa Quss al-Maqatif di bilangan Banqia dan Basma.
Kemudian dibuat persetujuan mengenai jizyah dan perlindungan dengan pembayaran 10 ribu dinar setiap tahun; yang mampu disesuaikan dengan kemampuann dan yang tak mampu disesuaikan dengan ketidakmampuannya.
Persetujuan ini ditutup dengan kata-kata berikut yang ditujukan kepada Suluba: "Engkau sudah menjadi pemimpin kaummu dan kaummu sudah setuju dengan engkau, dan aku dengan kaum Muslimin pasukanku setuju."
(mhy)