Jima' dengan Sengaja di Siang Hari, Ini Konsekuensi yang Harus Diterima

Jum'at, 01 Mei 2020 - 03:35 WIB
Para ulama sepakat bahwa melakukan jima atau hubungan seksual di siang hari Ramadhan termasuk membatalkan puasa. Foto Ilustrasi/Ist
Para ulama sepakat bahwa melakukan jima' atau hubungan seksual di siang hari Ramadhan termasuk membatalkan puasa. Para ulama mendefenisikan jima' sabagai masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Apabila percumbuan belum sampai ke level persetubuhan maka tidak dihukumi membatalkan puasa, selama tidak keluar mani.

Lalu, bagaimana hukum jima' dengan sengaja dan konsekuensinya? Berikut penjelasan Ustaz Isnan Ansory (pengajar Rumah Fiqih Indonesia) dalam bukunya "Buku Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya".

Dasar ketentuan berjima' itu membatalkan puasa adalah firman Allah Ta'ala: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka..." (QS. Al-Baqarah: ayat 187)

Dalam ayat ini, Allah Ta'ala menghalalkan bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual pada malam hari Ramadhan. Pengertian terbaliknya adalah bahwa pada siang hari saat berpuasa, hukumnya diharamkan alias jima' itu membatalkan puasa.

Bahkan percumbuan, bermesraan, serta berciuman pun termasuk "rafats" (dalam ayat itu). Namun. karena Allah meneruskan ayat-Nya dengan penegasan bahwa: "Kamu menjadi pakaian untuk mereka (istri) dan mereka menjadi pakaian untuk kamu, maka menjadi jelas sekali bahwa yang dimaksud rafats di sini bukanlah percumbuan, melainkan jima' itu sendiri.



Di samping itu, para ulama juga sepakat bahwa orang yang batal puasanya karena jima’ yang disengaja, diwajibkan untuk membayar kaffarat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

Dari Abu Hurairah RA, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) dan berkata, "Celaka aku ya Rasulullah". "Apa yang membuatmu celaka?". "Aku berhubungan badan dengan istriku di bulan Ramadhan". Nabi bertanya, "Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?". "Aku tidak punya".

"Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?". "Tidak". "Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?". "Tidak". Kemudian ia duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, "Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan".

Orang itu menjawab lagi, "Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di tempat ini kecuali aku". Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya, lalu bersabda: "Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu." (HR. Bukhari Muslim)

Namun, para ulama berbeda pendapat, apakah dengan dibayarkannya kaffarat, qadha' puasa tetap wajib dilakukan?

Mazhab Pertama: Qadha' Tetap Wajib Atas Suami Istri

Mayoritas ulama dari empat mazhab umumnya sepakat bahwa meskipun kaffarat telah dilakukan, qadha’ puasa tetap diwajibkan.

Mazhab Kedua: Tidak Wajib Qadha'

Sebagian ulama Asy-Syafi'iyyah berpendapat bahwa qadha' tidak lagi wajib dilakukan, jika salah satu dari tiga kaffarat telah ditunaikan.

Mazhab Ketiga: Tidak Wajib Qadha Jika Kaffarat Yang Dilakukan Adalah Berpuasa Dua Bulan Berturut-turut.

Pendapat ketiga dalam Mazhab Syafi'i menetapkan bahwa qadha’ tidak wajib dilakukan. Namun dengan syarat bahwa kaffarat yang ditunaikan berupa puasa dua bulan berturut-turut.

Wallahu A'lam
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(rhs)
Hadits of The Day
Dari Abu Qatadah dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada sikap lalai ketika tidur, akan tetapi kelalaian itu hanya ada ketika terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga datang waktu shalat yang lain.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 373)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More