Kisah Pembebasan Ray Pusat Dinasti Pemimpin Zoroaster di Era Umar bin Khattab
Minggu, 28 April 2024 - 17:16 WIB
Ray adalah sebuah pemukiman yang dibangun pada 6.000 SM. Pemukiman tersebut dijadikan sebagai ibu kota oleh Kerajaan Media disebut dengan nama Rhaga. Dalam geografi Romawi klasik kota ini disebut Rhagae. Kini daerah ini masuk wilayah Teheran, Iran.
Banyak bangunan kuno si sini. Beberapa sejarawan mengaitkan bangunan kota ini kepada kerajaan-kerajaan mitologi kuno, dan beberapa orang lain meyakini bahwa Ray adalah pusat dari dinasti para pemimpin Zoroaster.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi " Umar bin Khattab " (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan Raja Ray ketika itu Siyavakhasy Mihran anak Bahram Chobin. Sesudah mereka bertemu di Waj Ruz ia yakin bahwa pasukan Muslimin tidak akan pulang kembali sebelum menyerangnya untuk menerobos ke dalam ibu kota.
Oleh karena itu ia segera meminta bala bantuan pasukan Dunbawand, Tabaristan, Gomas dan Jurjan dengan mengatakan: "Kalian sudah tahu bahwa mereka sudah tinggal di Ray, yang buat kalian sudah tak ada tempat lagi. Maka berikanlah bala bantuan dengan kekuatan pasukan gabungan, yang dalam jumlah dan perlengkapannya berlipat ganda melebihi pasukan Nu'aim."
Nu'aim yang dimaksud adalah Nu'aim bin Muqarrin, panglima perang pasukan Muslim.
Siyavakhasy Mihran memusatkan semua kekuatan untuk Ray. Ia makin memperkuat benteng-benteng kota. Melihat segala pemusatan dalam benteng-benteng itu pasukan Muslimin yakin tak akan berhasil mengalahkan dan tidak akan mungkin mendobrak benteng-benteng itu.
Ray Jatuh
Tidak heran jika pihak utara bergabung untuk mempertahankan Ray; kota yang besar dan benteng yang kukuh di kawasan itu berlindung belaka kepadanya.
Di kota ini terdapat kuil-kuil yang dibangun di sekitar rumah ibadah Majusi. Banyak orang yang ingin berziarah pada musim upacara-upacara keagamaan.
Setiap pelanggaran terhadap tempat-tempat itu dianggap suatu pelanggaran terhadap kesucian yang harus dibela dan dipertahankan.
Di samping itu, letaknya dengan daerahÂ-daerah di sekitarnya, kota ini merupakan lalu lintas perdagangan yang sangat luas, dapat menarik semua pihak dari timur dan dari barat, sehingga penduduk daerah-daerah itu hidup makmur dan senang.
Dengan kukuhnya pertahanan kota penduduknya dan penduduk kawasan sekitarnya sudah merasa tenteram, merasa aman tinggal di sana atau di kota-kota tetangganya.
Setelah mereka melihat kota ini terancam perang, mereka sepakat akan mengadakan pertahanan bersama. Dengan satuan-satuan itu mereka berangkat ke Waj Ruz dengan maksud hendak membendung para penyerang, dan kekalahan itu jangan sampai mengalihkan perhatian untuk berkumpul lagi serta bertahan dan mempertahankan kota.
Haekal mengataan karena semangat mereka hendak mempertahankan kota, di pihak Muslimin seharusnya terpaksa banyak jatuh korban untuk mendobraknya, kalau tidak, karena sudah ditakdirkan pembebasan itu dapat diselesaikan dalam waktu lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Nu'aim dan sahabat-sahabatnya.
Siyavakhasy raja Ray tidak mau menemui Zainabi Abu Farrukhan setelah peristiwa Waj Ruz. Ia mendapat marah karena mundur berhadapan dengan pasukan Muslimin. Ia dipecat dari jabatannya.
Merasa sakit hati karena peristiwa itu, Zainubi keluar dari Ray ketika diketahuinya kedatangan Nu'aim yang bermaksud memasuki kota.
Ia menemuinya di luar kota dan mengadakan pembicaraan dalam suasana damai, kemudian menggabungkan diri untuk mengadakan perlawanan terhadap Siyavakhasy.
Kala itu, pasukan Muslimin bermarkas di kaki Gunung Raya. Mereka disambut oleh pasukan garnisun dan sudah tentu terjadi bentrok senjata yang hingga petang hari dari kedua tak tak ada yang menang.
Waktu malam tiba Zainabi berkata kepada Nu'aim: Pasukan mereka besar sedang pasukan Anda kecil. Kirimkanlah sebuah pasukan berkuda bersama saya memasuki kota dari arah yang tidak akan mereka ketahui, dan Anda sendiri juga menggempur mereka.
"Kalau mereka maju ke luar, mereka tak akan kuat bertahan menghadapi Anda," ujarnya.
Pendapatnya ini disetujui oleh Nu'aim. Malamnya ia mengirimkan sebuah pasukan berkuda bersama dia disertai saudara sepupunya, Munzir bin Amr.
Zainabi membawa mereka ke dalam kota tanpa ada pihak yang menyadari. Dalam pada itu Nu'aim sendiri mengelabui garnisun kota Ray dengan menghujani mereka dengan anak panah sehingga mereka sibuk sendiri dengan apa yang terjadi di dalam kota.
Setelah fajar terbit, pasukan berkuda Muslimin muncul menyongsong kota dengan mengumandangkan suara takbir.
Mendengar suara itu, pihak Persia yakin sudah bahwa mereka disergap dari belakang, diikuti oleh pasukan Muslimin dengan serangan gencar sehingga banyak menelan korban di pihak Persia.
Nu'aim pun berhasil memasuki kota. Siyavakhasy kalah berantakan tanpa ada yang meneruskan perjuangannya. Di Ray ini pasukan Muslimin mendapat rampasan kira-kira sama dengan rampasan perang yang diperoleh di Mada'in.
Nu'aim menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khattab, melaporkan kemenangannya itu dan mengirim seperlima bagian rampasan perang.
Banyak bangunan kuno si sini. Beberapa sejarawan mengaitkan bangunan kota ini kepada kerajaan-kerajaan mitologi kuno, dan beberapa orang lain meyakini bahwa Ray adalah pusat dari dinasti para pemimpin Zoroaster.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi " Umar bin Khattab " (PT Pustaka Litera AntarNusa, April 2000) mengisahkan Raja Ray ketika itu Siyavakhasy Mihran anak Bahram Chobin. Sesudah mereka bertemu di Waj Ruz ia yakin bahwa pasukan Muslimin tidak akan pulang kembali sebelum menyerangnya untuk menerobos ke dalam ibu kota.
Oleh karena itu ia segera meminta bala bantuan pasukan Dunbawand, Tabaristan, Gomas dan Jurjan dengan mengatakan: "Kalian sudah tahu bahwa mereka sudah tinggal di Ray, yang buat kalian sudah tak ada tempat lagi. Maka berikanlah bala bantuan dengan kekuatan pasukan gabungan, yang dalam jumlah dan perlengkapannya berlipat ganda melebihi pasukan Nu'aim."
Nu'aim yang dimaksud adalah Nu'aim bin Muqarrin, panglima perang pasukan Muslim.
Siyavakhasy Mihran memusatkan semua kekuatan untuk Ray. Ia makin memperkuat benteng-benteng kota. Melihat segala pemusatan dalam benteng-benteng itu pasukan Muslimin yakin tak akan berhasil mengalahkan dan tidak akan mungkin mendobrak benteng-benteng itu.
Ray Jatuh
Tidak heran jika pihak utara bergabung untuk mempertahankan Ray; kota yang besar dan benteng yang kukuh di kawasan itu berlindung belaka kepadanya.
Di kota ini terdapat kuil-kuil yang dibangun di sekitar rumah ibadah Majusi. Banyak orang yang ingin berziarah pada musim upacara-upacara keagamaan.
Setiap pelanggaran terhadap tempat-tempat itu dianggap suatu pelanggaran terhadap kesucian yang harus dibela dan dipertahankan.
Di samping itu, letaknya dengan daerahÂ-daerah di sekitarnya, kota ini merupakan lalu lintas perdagangan yang sangat luas, dapat menarik semua pihak dari timur dan dari barat, sehingga penduduk daerah-daerah itu hidup makmur dan senang.
Dengan kukuhnya pertahanan kota penduduknya dan penduduk kawasan sekitarnya sudah merasa tenteram, merasa aman tinggal di sana atau di kota-kota tetangganya.
Setelah mereka melihat kota ini terancam perang, mereka sepakat akan mengadakan pertahanan bersama. Dengan satuan-satuan itu mereka berangkat ke Waj Ruz dengan maksud hendak membendung para penyerang, dan kekalahan itu jangan sampai mengalihkan perhatian untuk berkumpul lagi serta bertahan dan mempertahankan kota.
Haekal mengataan karena semangat mereka hendak mempertahankan kota, di pihak Muslimin seharusnya terpaksa banyak jatuh korban untuk mendobraknya, kalau tidak, karena sudah ditakdirkan pembebasan itu dapat diselesaikan dalam waktu lebih cepat dari yang diperkirakan oleh Nu'aim dan sahabat-sahabatnya.
Siyavakhasy raja Ray tidak mau menemui Zainabi Abu Farrukhan setelah peristiwa Waj Ruz. Ia mendapat marah karena mundur berhadapan dengan pasukan Muslimin. Ia dipecat dari jabatannya.
Merasa sakit hati karena peristiwa itu, Zainubi keluar dari Ray ketika diketahuinya kedatangan Nu'aim yang bermaksud memasuki kota.
Ia menemuinya di luar kota dan mengadakan pembicaraan dalam suasana damai, kemudian menggabungkan diri untuk mengadakan perlawanan terhadap Siyavakhasy.
Kala itu, pasukan Muslimin bermarkas di kaki Gunung Raya. Mereka disambut oleh pasukan garnisun dan sudah tentu terjadi bentrok senjata yang hingga petang hari dari kedua tak tak ada yang menang.
Waktu malam tiba Zainabi berkata kepada Nu'aim: Pasukan mereka besar sedang pasukan Anda kecil. Kirimkanlah sebuah pasukan berkuda bersama saya memasuki kota dari arah yang tidak akan mereka ketahui, dan Anda sendiri juga menggempur mereka.
"Kalau mereka maju ke luar, mereka tak akan kuat bertahan menghadapi Anda," ujarnya.
Pendapatnya ini disetujui oleh Nu'aim. Malamnya ia mengirimkan sebuah pasukan berkuda bersama dia disertai saudara sepupunya, Munzir bin Amr.
Zainabi membawa mereka ke dalam kota tanpa ada pihak yang menyadari. Dalam pada itu Nu'aim sendiri mengelabui garnisun kota Ray dengan menghujani mereka dengan anak panah sehingga mereka sibuk sendiri dengan apa yang terjadi di dalam kota.
Setelah fajar terbit, pasukan berkuda Muslimin muncul menyongsong kota dengan mengumandangkan suara takbir.
Mendengar suara itu, pihak Persia yakin sudah bahwa mereka disergap dari belakang, diikuti oleh pasukan Muslimin dengan serangan gencar sehingga banyak menelan korban di pihak Persia.
Nu'aim pun berhasil memasuki kota. Siyavakhasy kalah berantakan tanpa ada yang meneruskan perjuangannya. Di Ray ini pasukan Muslimin mendapat rampasan kira-kira sama dengan rampasan perang yang diperoleh di Mada'in.
Nu'aim menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khattab, melaporkan kemenangannya itu dan mengirim seperlima bagian rampasan perang.
(mhy)