Ini Mengapa Islam Mengharamkan Muslimah Dikawinkan dengan Laki-Laki Ahli Kitab
Senin, 06 Mei 2024 - 15:04 WIB
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan perempuan muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun.
Allah SWT berfirman:
"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." ( QS al-Baqarah : 221)
Selanjutnya, firman Allah tentang perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke Madinah :
"Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mukminah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orang kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." ( QS al-Mumtahinah : 10)
Syaikh al-Qardhawi menjelaskan dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. "Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum," jelasnya.
Menurut Syaikh Al-Qardhawi, yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. "Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan," ujarnya.
Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melindungi hak-hak dan kehormatan istrinya menurut syariatnya (Islam).
Akan tetapi agama lain, kata al-Qadhawi, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap istrinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak istrinya yang berbeda agama itu.
"Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan putri-putrinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si istri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian?" tuturnya.
Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati akidah istrinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mukmin juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah.
Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi).
Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya. Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian.
Akan tetapi sebaliknya, kata al-Qardhawi, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si istri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram?
"Bukankah suatu hal yang mustahil, bahwa seorang muslimah akan mendapat penghormatan terhadap akidahnya dan agamanya tetap dilindungi, sedang suaminya itu amat benci terhadap akidah si istri?" kata al-Qardhawi.
Justru itu, lanjut al-Qardhawi, logislah kalau Islam mengharamkan seorang laki-laki muslim kawin dengan perempuan animist dimana Islam itu antipati terhadap apa yang disebut syirik dan animisme. Oleh karena itu bagaimana mungkin akan dapat diwujudkan ketenteraman dan kasih-sayang dalam rumahtangga antara suami-istri itu?
Allah SWT berfirman:
"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." ( QS al-Baqarah : 221)
Selanjutnya, firman Allah tentang perempuan-perempuan mukminah yang turut hijrah ke Madinah :
"Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mukminah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orang kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." ( QS al-Mumtahinah : 10)
Syaikh al-Qardhawi menjelaskan dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. "Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum," jelasnya.
Menurut Syaikh Al-Qardhawi, yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. "Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan," ujarnya.
Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melindungi hak-hak dan kehormatan istrinya menurut syariatnya (Islam).
Akan tetapi agama lain, kata al-Qadhawi, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap istrinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak istrinya yang berbeda agama itu.
"Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan putri-putrinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si istri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian?" tuturnya.
Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati akidah istrinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mukmin juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah.
Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi).
Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya. Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian.
Akan tetapi sebaliknya, kata al-Qardhawi, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si istri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram?
"Bukankah suatu hal yang mustahil, bahwa seorang muslimah akan mendapat penghormatan terhadap akidahnya dan agamanya tetap dilindungi, sedang suaminya itu amat benci terhadap akidah si istri?" kata al-Qardhawi.
Justru itu, lanjut al-Qardhawi, logislah kalau Islam mengharamkan seorang laki-laki muslim kawin dengan perempuan animist dimana Islam itu antipati terhadap apa yang disebut syirik dan animisme. Oleh karena itu bagaimana mungkin akan dapat diwujudkan ketenteraman dan kasih-sayang dalam rumahtangga antara suami-istri itu?
(mhy)