Yerusalem: Kota Damai yang Diperebutkan 3 Agama, Ketika Toleransi Beragama Dilanggar
Senin, 22 Juli 2024 - 05:15 WIB
Jizyah merupakan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah Islam oleh rakyat yang memeluk agama selain Islam. Dengan membayar pajak; keamanan, keselamatan, dan hak mereka terjamin.
Hal tersebut menandakan Islam sebagai kekuatan mayoritas telah memahami hukum kemanusiaan dan tata kelola kenegaraan yang baik berdasarkan nilai-nilai dalam Islam.
Perjanjian Damai
Kebebasan umat Kristen dan juga Yahudi menjalankan ibadah di Yerusalem dipengaruhi oleh adanya perjanjian damai dalam kehidupan sosial beragama antara Khalifah Umar dan Saint Sophronius pada tahun 637, bersamaan dengan diserahkannya Yerusalem kepada Khalifah Umar.
Perjanjian Umar atau al-Uhdah al-Umariah tersebut ditaati oleh pemerintahan Islam selanjutnya hingga Yerusalem dikuasai Kekhalifahan Fathimiah.
Perjanjian Umar membuktikan kepada dunia bahwa Islam membawa reformasi perubahan pada waktu itu.
Menurut Daniel Callahan dalam buku "Jerusalem and the Cross in the Life and Writings of Adhemar of Chabannes", gejolak kehidupan beragama di Yerusalem muncul ketika kota tersebut berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Fathimiah pada masa Khalifah Abu Ali Manshur al-Hakim bi-Amrillah.
Pada tahun 1009, Khalifah al-Hakim tidak lagi menaati perjanjian al-Uhdah al-Umariah. Pada tahun tersebut Khalifah al-Hakim meneror umat Kristen dan Yahudi di Mesir dan di Yerusalem. Akibat teror pada tahun 1009, Gereja Suci Sepulchre rusak.
Tindakan khalifah tersebut sekaligus mempunyai arti bahwa perjanjian Umar telah berakhir. Pemerintahan penuh teror Khalifah al-Hakim berakhir pada tahun 1021 ketika ia meninggal. Peristiwa tersebut mempunyai catatan khusus karena Islam merupakan kekuatan mayoritas di Yerusalem.
Hal tersebut menandakan Islam sebagai kekuatan mayoritas telah memahami hukum kemanusiaan dan tata kelola kenegaraan yang baik berdasarkan nilai-nilai dalam Islam.
Perjanjian Damai
Kebebasan umat Kristen dan juga Yahudi menjalankan ibadah di Yerusalem dipengaruhi oleh adanya perjanjian damai dalam kehidupan sosial beragama antara Khalifah Umar dan Saint Sophronius pada tahun 637, bersamaan dengan diserahkannya Yerusalem kepada Khalifah Umar.
Perjanjian Umar atau al-Uhdah al-Umariah tersebut ditaati oleh pemerintahan Islam selanjutnya hingga Yerusalem dikuasai Kekhalifahan Fathimiah.
Perjanjian Umar membuktikan kepada dunia bahwa Islam membawa reformasi perubahan pada waktu itu.
Menurut Daniel Callahan dalam buku "Jerusalem and the Cross in the Life and Writings of Adhemar of Chabannes", gejolak kehidupan beragama di Yerusalem muncul ketika kota tersebut berada di bawah kekuasaan Kekhalifahan Fathimiah pada masa Khalifah Abu Ali Manshur al-Hakim bi-Amrillah.
Pada tahun 1009, Khalifah al-Hakim tidak lagi menaati perjanjian al-Uhdah al-Umariah. Pada tahun tersebut Khalifah al-Hakim meneror umat Kristen dan Yahudi di Mesir dan di Yerusalem. Akibat teror pada tahun 1009, Gereja Suci Sepulchre rusak.
Tindakan khalifah tersebut sekaligus mempunyai arti bahwa perjanjian Umar telah berakhir. Pemerintahan penuh teror Khalifah al-Hakim berakhir pada tahun 1021 ketika ia meninggal. Peristiwa tersebut mempunyai catatan khusus karena Islam merupakan kekuatan mayoritas di Yerusalem.
(mhy)