Kufah Berdarah di Bawah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
Selasa, 25 Agustus 2020 - 15:13 WIB
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Selama sepuluh tahun ia tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayyah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini.” Namun ia menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.” (
Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id. Mereka mengepung rumah Sa’id lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj.
Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: “Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”( )
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Selama sepuluh tahun ia tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayyah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini.” Namun ia menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.” (
Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id. Mereka mengepung rumah Sa’id lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj.
Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: “Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”( )