Kufah Berdarah di Bawah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
Selasa, 25 Agustus 2020 - 15:13 WIB
KOTA Kufah banyak menjadi tempat para tabiin . Salah satunya, adalah Said bin Jubair. Kala itu Kufah di bawah kepemimpinan Gubernur Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi . Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya. (
)
Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan penguasa ini memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia tercatat telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan memadamkan api pemberontakan di sana sini. (
Ia menghunus pedangnya di tengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.
Suatu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang manjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin. ( )
Ada yang berkata bahwa fitnah tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibn Asy-Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan. Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dari ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. ( )
Selain itu juga ia menulis surat, minta izin untuk sementara menghentikan perang agar dia dapat mempelajari seluk beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil memperoleh kejayaan.
Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia mengirim surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang, Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.(
Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang pemerintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbai’at untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezhalimannya?” Akhirnya mereka melakukan bai’at kepada panglimanya.
Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Bashrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.
Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj bin Yusuf memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara.
Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Bashrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.
Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad..wahai umat Muhammad.” Mereka bingung hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.
Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam Asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.
Perang besar antara keduanya meletus. Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj mulai berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’ats melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.
Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Di antara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.
Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu?” Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima bai’atnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh.
Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.
Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.
Orang tua itu berkata, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”
Hajjaj mencelanya, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Selama sepuluh tahun ia tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayyah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini.” Namun ia menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.” (
Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id. Mereka mengepung rumah Sa’id lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj.
Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: “Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”( )
Belum lagi ia selesai bicara, seorang gadis cilik muncul dan demi melihat ia diikat dan diseret oleh para prajurit, gadis cilik itu langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itu pun pergi. (Bersambung)
Dr Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menceritakan penguasa ini memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia tercatat telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan memadamkan api pemberontakan di sana sini. (
Ia menghunus pedangnya di tengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.
Suatu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang manjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin. ( )
Ada yang berkata bahwa fitnah tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibn Asy-Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan. Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dari ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. ( )
Selain itu juga ia menulis surat, minta izin untuk sementara menghentikan perang agar dia dapat mempelajari seluk beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil memperoleh kejayaan.
Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia mengirim surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang, Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil.(
Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang pemerintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbai’at untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezhalimannya?” Akhirnya mereka melakukan bai’at kepada panglimanya.
Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Bashrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf.
Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj bin Yusuf memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara.
Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Bashrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan.
Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad..wahai umat Muhammad.” Mereka bingung hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut.
Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antaranya termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam Asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain.
Perang besar antara keduanya meletus. Mulanya kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy’ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj mulai berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’ats melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.
Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui bai’atnya. Di antara mereka ada yang mentaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair.
Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbai’at, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan bai’atmu kepada amirmu?” Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima bai’atnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh.
Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.
Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.
Orang tua itu berkata, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”
Hajjaj mencelanya, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Selama sepuluh tahun ia tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayyah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair.
Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Makkah. Demi Allah, kami khawatir akan keselamatan Anda, maka sebaiknya Anda keluar dari sini.” Namun ia menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.” (
Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Ketika mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id. Mereka mengepung rumah Sa’id lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membawanya kepada Hajjaj.
Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata: “Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zhalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua teman tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.”( )
Belum lagi ia selesai bicara, seorang gadis cilik muncul dan demi melihat ia diikat dan diseret oleh para prajurit, gadis cilik itu langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itu pun pergi. (Bersambung)
(mhy)