Hukum Habib yang Mengaku Diri Keturunan Nabi Muhammad SAW
Selasa, 13 Agustus 2024 - 14:57 WIB
KH Imaduddin Utsman Al-Bantanie meyakini habib di Indonesia yang mengaku dirinya keturunan Nabi Muhammad SAW adalah tidak benar. Lalu, bagaimana hukum orang yang mengklaim diri sebagai sebagi keturunan Rasulullah SAW?
" Imam Malik bin Anas mengatakan barang siapa yang bernisbah kepada keluarga nabi, yakni dengan batil maka ia harus dipukul dengan pukulan yang pedih dan di umumkan serta dipenjara,” tulis KH Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam buku "Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia" (Maktabah Nahdlatul Ulum, 2023).
Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Banten ini melakukan penelitian verifikatif tentang kesahihan nasab para habib di Indonesia. Masalah yang ia teliti adalah, apakah benar para habib di Indonesia cucu dari Nabi Muhammad SAW ?
Metode yang digunakan adalah metode library research, dengan mengumpulkan data-data ilmiah berupa kitab-kitab nasab dan kitab lainnya dari masa ke masa, kemudian data-data itu diolah sehingga sistematis, rasional dan valid.
Penelitian itu, ia nilai penting, karena pengakuan bahwa seseorang sebagai cucu Nabi Muhammad SAW, memiliki konsekuensi dalam kehidupan sosial-kegamaan.
KH Imaduddin Utsman mengatakan menakar kasahihan nasab seseorang, atau suatu kelompok yang mencurigakan, yang menisbahkan diri kepada nabi Muhammad SAW hukumnya fardu kifayah . Ia termasuk dalam kategori amar ma'ruf nahi munkar .
"Haram bagi para ulama mendiamkan terjadinya pengakuan nasab seseorang atau sekelompok manusia yang menisbahkan diri sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dengan dusta, karena yang demikian itu, termasuk istihgor bi haggi al mustofa atau merendahkan hak Nabi Muhammad SAW," katanya.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga pernah berkata: “Seyogyanya bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad SAW dan mendhobitnya (memeriksanya) sehingga seseorang tidak menisbahkan diri kepada (nasab) Nabi Muhammad SAW kecual dengan sebenarnya.”
KH Imaduddin Utsman menyebut membongkar nasab-nasab mencurigakan yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, telah dilakukan ulama-ulama masa lalu. Seperti yang dilakukan Ibnu Hazm al-Andalusi dan Imam Tajuddin As-Subki, dalam membongkar kepalsuan nasab Bani Ubaid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Begitu pula yang dilakukan Al-hakim An-Naisaburi yang membongkar kepalsuan nasab Abu Bakar ar-Razi yang mengaku keturunan Muhammad bin Ayyub al-Bajali,
Hal yang sama juga dilakukan oleh Adz-Dzahabi, yang membongkar kepalsuan nasab Ibnu Dihyah al-Andalusi, Demikian juga Ibnu hajar al-Asgolani, yang membongkar kepalsuan nasab Syekh Abu Bakar al-Gumni.
"Wajib bagi ulama yang mengetahui batalnya nasab seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nasab Nabi Muhammad SAW, untuk menyebarkannya kepada orang lain," katanya.
Syekh Ibrahim bin Mansur al-Hasyimi berkata: “Dan tidak boleh bagi seorang alim menyembunyikan ilmunya dalam bab ini (nasab), maka amanah dalam ilmu dan membongkar tercampurnya nasab adalah bagian dari amar ma'ruf dan nahi munkar”
" Imam Malik bin Anas mengatakan barang siapa yang bernisbah kepada keluarga nabi, yakni dengan batil maka ia harus dipukul dengan pukulan yang pedih dan di umumkan serta dipenjara,” tulis KH Imaduddin Utsman Al-Bantanie dalam buku "Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia" (Maktabah Nahdlatul Ulum, 2023).
Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Banten ini melakukan penelitian verifikatif tentang kesahihan nasab para habib di Indonesia. Masalah yang ia teliti adalah, apakah benar para habib di Indonesia cucu dari Nabi Muhammad SAW ?
Metode yang digunakan adalah metode library research, dengan mengumpulkan data-data ilmiah berupa kitab-kitab nasab dan kitab lainnya dari masa ke masa, kemudian data-data itu diolah sehingga sistematis, rasional dan valid.
Penelitian itu, ia nilai penting, karena pengakuan bahwa seseorang sebagai cucu Nabi Muhammad SAW, memiliki konsekuensi dalam kehidupan sosial-kegamaan.
KH Imaduddin Utsman mengatakan menakar kasahihan nasab seseorang, atau suatu kelompok yang mencurigakan, yang menisbahkan diri kepada nabi Muhammad SAW hukumnya fardu kifayah . Ia termasuk dalam kategori amar ma'ruf nahi munkar .
"Haram bagi para ulama mendiamkan terjadinya pengakuan nasab seseorang atau sekelompok manusia yang menisbahkan diri sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dengan dusta, karena yang demikian itu, termasuk istihgor bi haggi al mustofa atau merendahkan hak Nabi Muhammad SAW," katanya.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami juga pernah berkata: “Seyogyanya bagi setiap orang mempunyai kecemburuan terhadap nasab mulia Nabi Muhammad SAW dan mendhobitnya (memeriksanya) sehingga seseorang tidak menisbahkan diri kepada (nasab) Nabi Muhammad SAW kecual dengan sebenarnya.”
KH Imaduddin Utsman menyebut membongkar nasab-nasab mencurigakan yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, telah dilakukan ulama-ulama masa lalu. Seperti yang dilakukan Ibnu Hazm al-Andalusi dan Imam Tajuddin As-Subki, dalam membongkar kepalsuan nasab Bani Ubaid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Begitu pula yang dilakukan Al-hakim An-Naisaburi yang membongkar kepalsuan nasab Abu Bakar ar-Razi yang mengaku keturunan Muhammad bin Ayyub al-Bajali,
Hal yang sama juga dilakukan oleh Adz-Dzahabi, yang membongkar kepalsuan nasab Ibnu Dihyah al-Andalusi, Demikian juga Ibnu hajar al-Asgolani, yang membongkar kepalsuan nasab Syekh Abu Bakar al-Gumni.
"Wajib bagi ulama yang mengetahui batalnya nasab seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nasab Nabi Muhammad SAW, untuk menyebarkannya kepada orang lain," katanya.
Syekh Ibrahim bin Mansur al-Hasyimi berkata: “Dan tidak boleh bagi seorang alim menyembunyikan ilmunya dalam bab ini (nasab), maka amanah dalam ilmu dan membongkar tercampurnya nasab adalah bagian dari amar ma'ruf dan nahi munkar”
(mhy)