Sifat-Sifat Terpuji Seorang Pemimpin Menurut Al-Quran
Minggu, 01 September 2024 - 12:44 WIB
Kekhalifahan mengandung arti bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Allah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya.
Al-Quran menggambarkan hal ni dalam dua bentuk:
1. Penganugerahan dari Allah (Inni jail fi al-ardh khalifah).
2. Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah Al-Ahzab ayat 72:
"Sesungguhnya kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu (Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh."
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) menjelaskan tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal.
Kesimpulan ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan malaikat:
Apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui." ( QS 2 :30).
Menurut Quraish, dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas mereka.
Sifat Terpuji
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja -katanya lebih lanjut-- kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra' ayat 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Quraish Shihab menjelaskan dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya ini, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 124:
(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Dan surat Al-Furqan ayat 74:
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat yang terakhir ini, kata Quraish, sebagaimana terlihat, hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim as dijanjikan Allah untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
Al-Quran menggambarkan hal ni dalam dua bentuk:
1. Penganugerahan dari Allah (Inni jail fi al-ardh khalifah).
2. Penawaran dari-Nya yang disambut dengan penerimaan dari manusia, sebagaimana yang tergambar dalam surah Al-Ahzab ayat 72:
"Sesungguhnya kami menawarkan al-amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, namun mereka semua enggan dan kuatir, lalu (Kami tawarkan kepada manusia) maka mereka pun menerimanya, sesungguhnya mereka sangat aniaya lagi bodoh."
Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996) menjelaskan tentu yang dimaksud dengan kecaman di atas adalah sebagian manusia, dan dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa dalam tugas kekhalifahan ada yang berhasil dengan baik dan ada pula yang gagal.
Kesimpulan ini diperkuat pula oleh isyarat yang tersirat dari jawaban Allah atas pertanyaan malaikat:
Apakah engkau akan menjadikan di sana (bumi) siapa yang merusak dan menumpahkan darah sedang kami bertasbih dan memuji engkau? Tuhan berfirman (menjawab): "Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui." ( QS 2 :30).
Menurut Quraish, dari sini kita dapat beralih untuk melihat lebih jauh apa saja sifat-sifat khalifah yang terpuji dan apa pula ruang lingkup tugas-tugas mereka.
Sifat Terpuji
Al-Tabrasi, dalam tafsirnya, mengemukakan bahwa kata Imam mempunyai makna yang sama dengan khalifah. Hanya saja -katanya lebih lanjut-- kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti "depan" yang berbeda dengan khalifah yang terambil dari kata "belakang".
Ini berarti bahwa kita dapat memperoleh informasi tentang sifat-sifat terpuji dari seorang khalifah dengan menelusuri ayat-ayat yang menggunakan kata Imam.
Dalam Al-Quran, kata Imam terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda-beda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti "sesuatu yang dituju dan atau diteladani" Arti-arti tersebut adalah:
(a) Pemimpin dalam kebajikan, yaitu pada Al-Baqarah ayat 124 dan Al-Furqan ayat 74.
(b) Kitab amalan manusia, yaitu pada Al-Isra' ayat 71.
(c) Al-Lawh Al-Mafhuzh, yaitu pada Yasin ayat 12.
(d) Taurat, yaitu pada Hud ayat 17 dan Al-Ahqaf ayat 12.
(e) Jalan yang jelas, yaitu pada Al-Hijr ayat 79.
Quraish Shihab menjelaskan dari makna-makna di atas terlihat bahwa hanya dua ayat yang dapat dijadikan rujukan dalam persoalan yang sedang dicari jawabannya ini, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 124:
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًاۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
Dan surat Al-Furqan ayat 74:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat yang terakhir ini, kata Quraish, sebagaimana terlihat, hanya mengandung permohonan untuk dijadikan Imam (teladan) bagi orang-orang yang bertakwa sehingga tinggal ayat Al-Baqarah yang diharapkan dapat memberikan informasi.
Pada ayat tersebut, Nabi Ibrahim as dijanjikan Allah untuk dijadikan Imam (Inni ja'iluka li al-nas Imama), dan ketika beliau bermohon agar kehormatan ini diperoleh pula oleh anak cucunya, Allah SWT menggarisbawahi suatu syarat, yaitu la yanalu 'ahdiya al-zhalimin (Janji-Ku ini tidak diperoleh oleh orang-orang yang berlaku aniaya).
Keadilan adalah lawan dari penganiayaan. Dengan demikian, dari ayat di atas dapat ditarik satu sifat, yaitu sifat adil, baik terhadap diri, keluarga, manusia dan lingkungan, maupun terhadap Allah.
(mhy)