Konteks Larangan Kaum Muslim Mengangkat Pemimpin dari Golongan Yahudi dan Nasrani
Selasa, 10 September 2024 - 11:31 WIB
Prof Dr M Quraish Shihab mengatakan ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya' ( pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, difirmankan Allah dalam surat Ali-'Imran [3] : 118.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." ( QS Ali-'Imran [3] : 118)
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad SAW , sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha , mengkritik dengan sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari- yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi SAW yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya."
Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
"Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan," ujar Quraish dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Rasyid Ridha berkomentar: "Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya)."
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi" (QS Ali Imran [3]: 1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim.
"Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah SWT. yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi ."
Menurut Quriash, dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60] : 8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.
Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah :
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu
jua."
Atas dasar pandangan itu pula, kata Quraish Shihab, kaum Muslim diwajibkan oleh Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia. dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." ( QS Ali-'Imran [3] : 118)
Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan sikap orang Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian mereka dengan Nabi Muhammad SAW , sehingga seperti ditulis Rasyid Ridha dalam tafsirnya: "Larangan ini baru berlaku apabila mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim."
Rasyid Ridha , mengkritik dengan sangat tajam pandangan beberapa ulama tafsir seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari- yang menjadikan ayat ini sebagai larangan bersahabat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani secara mutlak.
Dalam tafsirnya, Al-Baidhawi menguatkan pendapatnya itu dengan hadis Nabi SAW yang menyatakan, "(Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya."
Maksudnya seorang Muslim tidak wajar bertempat tinggal berdekatan dengan non-Muslim dalam jarak yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu.
Sebenarnya hadis tersebut diucapkan oleh Nabi tidak dalam konteks umum seperti pemahaman Al-Baidhawi, tetapi dalam konteks kewajiban berhijrah pada saat Nabi amat membutuhkan bantuan. Dalam arti, Nabi menganjurkan umat Islam untuk tidak tinggal di tempat di mana kaum musyrik bertempat tinggal, tetapi mereka harus berhijrah ke tempat lain guna mendukung perjuangan Nabi dan kaum Muslim.
"Di sisi lain, hadis tersebut sebenarnya berstatus mursal, sedangkan para ulama berselisih mengenai boleh tidaknya hadis mursal untuk dijadikan argumen keagamaan," ujar Quraish dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Rasyid Ridha berkomentar: "Banyak pengajar hanya merujuk kepada Tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga wawasan pemahaman mereka terhadap ayat dan hadis menjadi dangkal, apalagi keduanya (Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari) hanya memiliki sedikit pengetahuan hadis, dan keduanya pun tidak banyak merujuk kepada pendapat salaf (ulama terdahulu yang diakui kompetensinya)."
Dalam bagian lain tafsirnya, Rasyid Ridha, mengaitkan pengertian larangan di atas dengan larangan serupa dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dan mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi" (QS Ali Imran [3]: 1 18)
Karena ciri-ciri tersebutlah maka larangan itu muncul, sehingga ia hanya berlaku terhadap orang yang cirinya demikian, kendati seagama, sebangsa, dan seketurunan dengan seorang Muslim.
"Sebagian orang tak menyadari sebab atau syarat-syarat tersebut, sehingga mereka berpendapat bahwa larangan ini
bersifat mutlak terhadap yang berlainan agama. Seandainya larangan tersebut mutlak, ini tidak aneh karena orang-orang kafir ketika itu bersatu menentang kaum Mukmin pada awal masa kedatangan Islam, ketika ayat ini turun. Apalagi ayat ini menurut para pakar, turun menyangkut orang-orang Yahudi.
Namun demikian ayat di atas bersyarat dengan syarat-syarat tersebut, karena Allah SWT. yang menurunkan mengetahui perubahan sikap pro atau kontra yang dapat terjadi bagi bangsa dan pemeluk agama. Seperti yang terlihat kemudian dari orang-orang Yahudi yang pada awal masa Islam begitu benci terhadap orang-orang Mukmin, namun berbalik menjadi membantu kaum Muslim dalam beberapa peperangan (seperti di Andalusia) atau seperti halnya orang Mesir yang membantu kaum Muslim melawan Romawi ."
Menurut Quriash, dari sini dapat ditegaskan bahwa Al-Qur'an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalin hubungan kerja sama, lebih lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan Al-Qur'an sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartanya kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim dengan motivasi keagamaan atau mengusir kaum Muslim di negeri mereka. Demikian penafsiran surat Al-Mumtahanah [60] : 8 yang dikemukakan oleh Ibn 'Arabi Abubakar Muhammad bin Abdillah (1076-1148 M) dalam tafsirnya Ahkam Al-Qur'an.
Atas dasar itu pula sejumlah sahabat Nabi bahkan Nabi sendiri ditegur oleh Al-Qur'an karena enggan memberi bantuan nafkah kepada sejumlah Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka enggan memeluk Islam. Demikian Al-Qurthubi ketika menjelaskan sebab turunnya ayat 272 surat Al-Baqarah :
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan dijalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu
jua."
Atas dasar pandangan itu pula, kata Quraish Shihab, kaum Muslim diwajibkan oleh Al-Qur'an memelihara rumah-rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, dan pemeluk agama lain berdasarkan surat Al-Hajj [22]: 40.
"Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia. dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa."
Dari prinsip yang sama Al-Qur'an membenarkan kaum Muslim memakan sembelihan Ahl Al-Kitab dan mengawini wanita-wanita mereka yang menjaga kehormatannya.
(mhy)