Dalil Hak Waris Para 'Ashabah, Begini Penjelasan Syaikh Ash-Shabuni
Kamis, 24 Oktober 2024 - 19:01 WIB
KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an , kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" ( QS Yusuf : 14)
Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni (1930 – 2021) dalam bukunya yang terjemahkan A.M. Basamalah berjudul "Pembagian Waris Menurut Islam" (Gema Insani Press, 1995) menjelaskan jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan.
"Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa," jelas mufassir dan ulama yang berasal dari Suriah, dan merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Makkah , Saudi Arabia ini.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). "Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah," kata Muhammad Ali ash-Shabuni.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" ( QS an-Nisa' : 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan.
Akan tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." ( QS an-Nisa' : 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah SAW :
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama." (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan perintah Rasulullah SAW agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadis ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah SAW dalam hal penggunaan kata "dzakar". (*)
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" ( QS Yusuf : 14)
Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni (1930 – 2021) dalam bukunya yang terjemahkan A.M. Basamalah berjudul "Pembagian Waris Menurut Islam" (Gema Insani Press, 1995) menjelaskan jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan menguatkan.
"Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa," jelas mufassir dan ulama yang berasal dari Suriah, dan merupakan salah seorang Guru Besar ilmu tafsir di Umm Al-Qura University, Makkah , Saudi Arabia ini.
Baca Juga
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung ayah). "Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah," kata Muhammad Ali ash-Shabuni.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga" ( QS an-Nisa' : 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan.
Akan tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua.
Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah.
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, dari sini dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." ( QS an-Nisa' : 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan.
Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah SAW :
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama." (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan perintah Rasulullah SAW agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadis ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah SAW dalam hal penggunaan kata "dzakar". (*)
(mhy)