Larangan Adam dan Hawa Mendekati Pohon, Terkait Hubungan Seks?
Selasa, 26 November 2024 - 12:57 WIB
DALAM linguistik, "metafora" (metaphor) berarti pemakaian suatu kata atau ungkapan untuk suatu obyek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan.
Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Muhammad Husen al-Zahaby dalam "al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun" menjelaskan dalam disiplin ilmu al-Qur'an pengalihan arti itu disebut takwil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai "mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya."
Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan al-Qur'an.
Sejumlah ulama berpendapat al-Qur'an pun mengenal metafora, kendati sebagian ulama lainnya menolaknya.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan pentakwilan yang parah adalah yang semata-mata mengandalkan penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan pertimbangan kebahasaan.
Dr. (medis) Mustafa Mahmud memahami larangan Tuhan pada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan mengadakan "hubungan seksual." Bukti yang dijadikan dasar pertimbangannya adalah:
Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah pohon tersebut (mengadakan hubungan seks) mereka tanpa busana dan berusaha menutupi auratnya dengan daun-daun surga, ketika itu mereka merasa malu.
Perasaan malu akibat terlihatnya alat kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan hubungan seksual. Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau sekadar menyebutnya.
Kedua, redaksi Firman Allah sebelum mereka mendekati pohon tersebut adalah dalam bentuk dual ("Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini," QS. al-Baqarah : 35), tetapi setelah mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat berbentuk plural atau jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain" ( Q.S. al-Baqarah : 36).
Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua (Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan seks tersebut. (13)
Quraish Shihab mengatakan pendapat ini bertentangan dengan teks ayat-ayat al-Qur'an serta kaidah-kaidah kebahasaan.
Pertama, ayat al-Qur'an menggambarkan bahwa keadaan tanpa busana terjadi setelah atau akibat dari memakan buah pohon terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Mustafa Mahmud.
Kedua, Kosakata "pohon" ditakwilkan atau dipahami secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya "daun-daun surga" dipahami secara hakiki.
Ketiga, di sisi lain bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh dr. Mustafa Mahmud.
"Contoh yang dikemukakan tersebut menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat al-Qur'an, apalagi pentakwilan ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga penguasaan bahasa Arab," ujar Quraish Shihab.
Itu berarti suatu kosakata atau susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna lain.
Muhammad Husen al-Zahaby dalam "al-Tafsir Wa 'l-Mufassirun" menjelaskan dalam disiplin ilmu al-Qur'an pengalihan arti itu disebut takwil, atau oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 H., diartikan sebagai "mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya."
Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-bayan menggunakan istilah majaz untuk maksud di atas. Tak dapat disangkal, setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan al-Qur'an.
Sejumlah ulama berpendapat al-Qur'an pun mengenal metafora, kendati sebagian ulama lainnya menolaknya.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" mengatakan pentakwilan yang parah adalah yang semata-mata mengandalkan penalaran akal seseorang dengan mengabaikan pertimbangan pertimbangan kebahasaan.
Dr. (medis) Mustafa Mahmud memahami larangan Tuhan pada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan mengadakan "hubungan seksual." Bukti yang dijadikan dasar pertimbangannya adalah:
Pertama, Ketika mereka (Adam dan Hawa) telah memakan (buah pohon tersebut (mengadakan hubungan seks) mereka tanpa busana dan berusaha menutupi auratnya dengan daun-daun surga, ketika itu mereka merasa malu.
Perasaan malu akibat terlihatnya alat kelamin hanya dialami oleh mereka yang telah mengadakan hubungan seksual. Terbukti bahwa anak kecil tak merasakan hal tersebut, berbeda dengan orang dewasa yang merasa malu, walau sekadar menyebutnya.
Kedua, redaksi Firman Allah sebelum mereka mendekati pohon tersebut adalah dalam bentuk dual ("Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini," QS. al-Baqarah : 35), tetapi setelah mereka mendekatinya (memakan buah terlarang) redaksi ayat berbentuk plural atau jama' "Turunlah kamu, sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain" ( Q.S. al-Baqarah : 36).
Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu mereka yang tadinya hanya berdua (Adam dan Hawa) kini telah menjadi lebih dari dua orang dengan adanya janin yang dikandung oleh Hawa setelah hubungan seks tersebut. (13)
Quraish Shihab mengatakan pendapat ini bertentangan dengan teks ayat-ayat al-Qur'an serta kaidah-kaidah kebahasaan.
Pertama, ayat al-Qur'an menggambarkan bahwa keadaan tanpa busana terjadi setelah atau akibat dari memakan buah pohon terlarang bukan sebelumnya, sebagaimana dipahami oleh Mustafa Mahmud.
Kedua, Kosakata "pohon" ditakwilkan atau dipahami secara metaforis tanpa ada argumentasi pendukung, dan anehnya "daun-daun surga" dipahami secara hakiki.
Ketiga, di sisi lain bahasa Arab tak menganggap wujud janin sebagai wujud yang penuh, karena itu wanita hamil akan tetap diperlakukan oleh bahasa sebagai wujud tunggal, tak sebagaimana dipahami oleh dr. Mustafa Mahmud.
"Contoh yang dikemukakan tersebut menunjukkan betapa pemahaman ayat-ayat al-Qur'an, apalagi pentakwilan ayat-ayatnya, membutuhkan, di samping nalar, juga penguasaan bahasa Arab," ujar Quraish Shihab.
(mhy)