Kisah Abdullah bin Zubair: Akhir Tragis Cucu Abu Bakar Ash-Shidiq
Senin, 16 Desember 2024 - 05:15 WIB
Pasca tragedi Karbala, Abdullah bin Zubair atau Ibnu Zubair menyatakan dirinya sebagai khalifah yang sebenarnya. Pemerintahannya berpusat di Hejaz. Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq ini sempat berkuasa beberapa tahun namun berakhir tragis.
Pada awalnya, Ibnu Zubair adalah pendukung kekhalifahan Muawiyah namun menolak penunjukan Yazid sebagai khalifah. Menurut pandangannya, Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat.
Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka Ibnu Zubair pun menolak membai'at Yazid.
Kata-kata penolakannya terhadap Mu'awiyah amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubair mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membai'at pada Yazid. Ketika itu Ibnu Zubair memberikan jawabannya: "Kapan pun, aku tidak akan bai'at kepada si pemabok”.
Kemudian katanya berpantun: "Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut "
O Hashem dalam "Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail" memaparkan selain Hijaz, Ibnu Zubair juga memantapkan keuasaannya di Iraq, Selatan Arabia dan bagian terbesar Syam, serta sebagian Mesir.
Ibnu Zubair memperoleh keberuntungan yang besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Salah seorang pendukungnya adalah Muslim bin Syihab, ayah dari Ibnu Syihab al-Zuhri yang kemudian menjadi cendekiawan muslim terkenal.
Yazid bin Muawiyah mencoba menghentikan pemberontakan Ibnu Zubair dengan mengirim pasukan ke Mekkah. Muslim bin Uqbah, pasca-menumpas pemberontakan warga Madinah, berencana menyerang Abdullah bin Zubair di Mekkah. Namun di tengah perjalanan wafat, sehingga kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.
Pada 26 Muharram 64 H (24 September 683 M), pasukan Al-Hushain bin Numair As-Sakun mengepung Abdullah bin Az-Zubair selama 64 hari. Terjadi saling serang dengan menggunakan Manjaniq ke Kakbah dari Gunung Qubais, sampai-sampai menimbulkan kebakaran di Masjidil Haram.
Pada 14 Rabi’ul Awwal 64 H (31 Oktober 683 M) Yazid wafat. Al-Hushain bin Numair meminta Abdullah bin Az-Zubair untuk berdialog. Al-Hushain bersedia membaiat Abdullah dan memintanya untuk datang ke Syam seraya berdamai pasca bentrokan, tapi Abdullah menolak.
Pada saat pengepungan berhenti, Ibnu Zubair pun membangun kembali Kakbah yang berantakan karena serbuan pasukan Umayyah. Kematian Yazid yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin berantakannya kekuasaan Bani Umayyah dan perang saudara antar Bani Umayyah.
Tiga Peta Kekuatan
Kala Muawiyah bin Yazid, pengganti Yazid menjadi khalifah di Damaskus, terdapat tiga peta kekuatan besar di dunia Islam. Selain kekuatan politik Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, ada Ibnu Zubair yang mendapat dukungan dari Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Mesir. Ketiga, kekuatan politik Syiah atau pendukung anak keturunan Nabi Muhammad SAW yang ketika itu tersebar di Basrah, Kufah dan Iran (Persia).
Setelah Muawiyah II mangkat, maka Abdullah bin Zubair nyaris tanpa pesaing. Meski Bani Umayyah secara umum menolak memberikan baiatnya kepada Abdullah bin Zubair, namun kepala keluarga Bani Umayyah kala itu, Marwan bin Hakam, justru memberikan baiatnya secara pribadi kepada Abdullah.
Bagi Abdullah bin Zubair, secara politis, pemberian baiat ini dianggapnya sebagai hal yang menjamin bahwa kekuatan Bani Umayyah tidaklah terlalu berbahaya untuk saat itu, meskipun yang lain masih menahan baiatnya.
Maka fokus Ibnu Zubair waktu itu lebih ke kawasan Persia, yaitu bagaimana menarik baiat dari para pendukung keluarga Nabi SAW. Salah satu hal lain yang penting adalah, Persia wilayah yang kaya. Masyarakatnya sangat kretif dan dinamis. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, dan produktivitas masyarakatnya sangat tinggi, sehingga modal yang berputarpun sangat besar.
Sedangkan di Mekkah dan Madinah, pusat kekuatan Abdullah bin Zubair, perekonomiannya tidak sebaik Persia dan Damaskus. Di antara ketiga peta kekuatan yang ada pada masa itu, hanya wilayah Hijaz yang secara ekonomi sangat minim. Maka wajar bila Abdullah bin Zubair demikian gencar ingin menundukkan wilayah Persia.
Pada awalnya, Ibnu Zubair adalah pendukung kekhalifahan Muawiyah namun menolak penunjukan Yazid sebagai khalifah. Menurut pandangannya, Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat.
Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka Ibnu Zubair pun menolak membai'at Yazid.
Kata-kata penolakannya terhadap Mu'awiyah amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubair mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membai'at pada Yazid. Ketika itu Ibnu Zubair memberikan jawabannya: "Kapan pun, aku tidak akan bai'at kepada si pemabok”.
Kemudian katanya berpantun: "Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut "
O Hashem dalam "Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail" memaparkan selain Hijaz, Ibnu Zubair juga memantapkan keuasaannya di Iraq, Selatan Arabia dan bagian terbesar Syam, serta sebagian Mesir.
Ibnu Zubair memperoleh keberuntungan yang besar karena ketidakpuasan rakyat terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Salah seorang pendukungnya adalah Muslim bin Syihab, ayah dari Ibnu Syihab al-Zuhri yang kemudian menjadi cendekiawan muslim terkenal.
Yazid bin Muawiyah mencoba menghentikan pemberontakan Ibnu Zubair dengan mengirim pasukan ke Mekkah. Muslim bin Uqbah, pasca-menumpas pemberontakan warga Madinah, berencana menyerang Abdullah bin Zubair di Mekkah. Namun di tengah perjalanan wafat, sehingga kepemimpinan pasukan diambil alih oleh Al-Hushain bin Numair As-Sakuni.
Pada 26 Muharram 64 H (24 September 683 M), pasukan Al-Hushain bin Numair As-Sakun mengepung Abdullah bin Az-Zubair selama 64 hari. Terjadi saling serang dengan menggunakan Manjaniq ke Kakbah dari Gunung Qubais, sampai-sampai menimbulkan kebakaran di Masjidil Haram.
Pada 14 Rabi’ul Awwal 64 H (31 Oktober 683 M) Yazid wafat. Al-Hushain bin Numair meminta Abdullah bin Az-Zubair untuk berdialog. Al-Hushain bersedia membaiat Abdullah dan memintanya untuk datang ke Syam seraya berdamai pasca bentrokan, tapi Abdullah menolak.
Pada saat pengepungan berhenti, Ibnu Zubair pun membangun kembali Kakbah yang berantakan karena serbuan pasukan Umayyah. Kematian Yazid yang tiba-tiba ini mengakibatkan pula makin berantakannya kekuasaan Bani Umayyah dan perang saudara antar Bani Umayyah.
Tiga Peta Kekuatan
Kala Muawiyah bin Yazid, pengganti Yazid menjadi khalifah di Damaskus, terdapat tiga peta kekuatan besar di dunia Islam. Selain kekuatan politik Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, ada Ibnu Zubair yang mendapat dukungan dari Hijaz (Mekkah dan Madinah) dan Mesir. Ketiga, kekuatan politik Syiah atau pendukung anak keturunan Nabi Muhammad SAW yang ketika itu tersebar di Basrah, Kufah dan Iran (Persia).
Setelah Muawiyah II mangkat, maka Abdullah bin Zubair nyaris tanpa pesaing. Meski Bani Umayyah secara umum menolak memberikan baiatnya kepada Abdullah bin Zubair, namun kepala keluarga Bani Umayyah kala itu, Marwan bin Hakam, justru memberikan baiatnya secara pribadi kepada Abdullah.
Bagi Abdullah bin Zubair, secara politis, pemberian baiat ini dianggapnya sebagai hal yang menjamin bahwa kekuatan Bani Umayyah tidaklah terlalu berbahaya untuk saat itu, meskipun yang lain masih menahan baiatnya.
Maka fokus Ibnu Zubair waktu itu lebih ke kawasan Persia, yaitu bagaimana menarik baiat dari para pendukung keluarga Nabi SAW. Salah satu hal lain yang penting adalah, Persia wilayah yang kaya. Masyarakatnya sangat kretif dan dinamis. Ilmu pengetahuan berkembang pesat, dan produktivitas masyarakatnya sangat tinggi, sehingga modal yang berputarpun sangat besar.
Sedangkan di Mekkah dan Madinah, pusat kekuatan Abdullah bin Zubair, perekonomiannya tidak sebaik Persia dan Damaskus. Di antara ketiga peta kekuatan yang ada pada masa itu, hanya wilayah Hijaz yang secara ekonomi sangat minim. Maka wajar bila Abdullah bin Zubair demikian gencar ingin menundukkan wilayah Persia.
Lihat Juga :