Perang Pecah, Pasukan Gajah Ngamuk di Tengah Ramalan Buruk tentang Persia
Minggu, 18 Oktober 2020 - 06:44 WIB
Mereka pun terus maju menyerang dengan sekuat tenaga, sambil terus menikam hingga dapat mencegah serangan gajah-gajah itu. Tetapi gajah-gajah itu datang lagi dan menyerang mereka. (
)
Ketika itu Sa’ad memanggil Asim bin Amr. "Kalian Banu Tamim," kata Sa’ad, "bukankah kalian ahli dalam soal unta dan kuda? Apa kiat kalian dalam menghadapi gajah?"
"Ya, memang," jawab mereka. Asim memanggil pasukan pemanah untuk melindungi, mereka dengan panah dari kawanan gajah, dan membelakangi gajah-gajah itu kemudian memotong tali-tali pelananya. la bergerak terus melindungi mereka sementara serangan kawanan gajah kepada Banu Asad terus gencar.
Anak buah Asim memperlakukan gajah-gajah itu seperti yang diperintahkan. Mereka membelakanginya dan menghujaninya dengan anak panah. Gajah-gajah itu melengking tinggi dan terhempas ke tanah bersama pengemudi-pengemudinya, tewas. Kedua kabilah Asad dan Bajilah kini merasa lega, setelah dari Asad saja terbunuh lebih dari lima ratus orang. ( )
Sa’ad masih tertelungkup dengan penyakitnya itu di Qudais sambil terus mengikuti pertempuran yang berkecamuk begitu sengit. Kadang ia kagum melihat pahlawan-pahlawan itu, kadang cemas juga melihat bencana yang menimpa pasukan Bajilah dan Asad akibat serangan pasukan gajah.
Pedih sekali hatinya ia tidak ikut terjun dalam pertempuran sengit serupa itu, seperti yang sering dialaminya sebelumnya.
Saat itu Salma binti Hafs — janda Musanna bin Harisah yang kemudian kawin dengan Sa’ad — berada di sebelahnya, melihat apa yang dilihatnya.Teringat ia segala pertempuran dalam perang besar seperti yang dulu pernah dialami suaminya almarhum. ( )
Setelah dilihatnya pihak Persia makin gencar menyerang dan membunuhi kelompok Asad, ia berteriak: "Oh Musanna! Musanna tak ada dalam pasukan berkuda sekarang!" Dia berkata begitu di depan seorang laki-laki yang sudah merasa kesal atas apa yang dialami rekan-rekannya dan yang dialaminya sendiri. Kata-kata istrinya telah menggugah Sa’ad. Sambil memukul mukanya sendiri ia berkata: "Musanna tak dapat dibandingkan dengan satuan pasukan yang sekarang sedang didera pertempuran semacam ini!" yakni Banu Asad dan Asim. Tamparan itu tidak membuat perempuan Badui yang angkuh itu mau menundukkan kepala, malah ia menatap Sa’ad seraya berkata: "Cemburu dan pengecut!"
Sa’ad merasa malu dengan kata-katanya itu. Mukanya basah olel keringat. "Sekarang tidak perlu orang memaafkan saya kalau Anda sendiri tidak memaafkan sementara Anda lihat keadaan saya ini," kata Sa’ad.
Orang sudah tahu apa yang terjadi antara Sa’ad dengan Salma itu. Mereka kagum sekali kepada perempuan Badui yang sangat berani itu. Setiap penyair merasa bangga melihat sikapnya, sekalipun mereka tahu benar bahwa Sa’ad bukan pengecut dan tidak tercela. (Bersambung)
Ketika itu Sa’ad memanggil Asim bin Amr. "Kalian Banu Tamim," kata Sa’ad, "bukankah kalian ahli dalam soal unta dan kuda? Apa kiat kalian dalam menghadapi gajah?"
"Ya, memang," jawab mereka. Asim memanggil pasukan pemanah untuk melindungi, mereka dengan panah dari kawanan gajah, dan membelakangi gajah-gajah itu kemudian memotong tali-tali pelananya. la bergerak terus melindungi mereka sementara serangan kawanan gajah kepada Banu Asad terus gencar.
Anak buah Asim memperlakukan gajah-gajah itu seperti yang diperintahkan. Mereka membelakanginya dan menghujaninya dengan anak panah. Gajah-gajah itu melengking tinggi dan terhempas ke tanah bersama pengemudi-pengemudinya, tewas. Kedua kabilah Asad dan Bajilah kini merasa lega, setelah dari Asad saja terbunuh lebih dari lima ratus orang. ( )
Sa’ad masih tertelungkup dengan penyakitnya itu di Qudais sambil terus mengikuti pertempuran yang berkecamuk begitu sengit. Kadang ia kagum melihat pahlawan-pahlawan itu, kadang cemas juga melihat bencana yang menimpa pasukan Bajilah dan Asad akibat serangan pasukan gajah.
Pedih sekali hatinya ia tidak ikut terjun dalam pertempuran sengit serupa itu, seperti yang sering dialaminya sebelumnya.
Saat itu Salma binti Hafs — janda Musanna bin Harisah yang kemudian kawin dengan Sa’ad — berada di sebelahnya, melihat apa yang dilihatnya.Teringat ia segala pertempuran dalam perang besar seperti yang dulu pernah dialami suaminya almarhum. ( )
Setelah dilihatnya pihak Persia makin gencar menyerang dan membunuhi kelompok Asad, ia berteriak: "Oh Musanna! Musanna tak ada dalam pasukan berkuda sekarang!" Dia berkata begitu di depan seorang laki-laki yang sudah merasa kesal atas apa yang dialami rekan-rekannya dan yang dialaminya sendiri. Kata-kata istrinya telah menggugah Sa’ad. Sambil memukul mukanya sendiri ia berkata: "Musanna tak dapat dibandingkan dengan satuan pasukan yang sekarang sedang didera pertempuran semacam ini!" yakni Banu Asad dan Asim. Tamparan itu tidak membuat perempuan Badui yang angkuh itu mau menundukkan kepala, malah ia menatap Sa’ad seraya berkata: "Cemburu dan pengecut!"
Sa’ad merasa malu dengan kata-katanya itu. Mukanya basah olel keringat. "Sekarang tidak perlu orang memaafkan saya kalau Anda sendiri tidak memaafkan sementara Anda lihat keadaan saya ini," kata Sa’ad.
Orang sudah tahu apa yang terjadi antara Sa’ad dengan Salma itu. Mereka kagum sekali kepada perempuan Badui yang sangat berani itu. Setiap penyair merasa bangga melihat sikapnya, sekalipun mereka tahu benar bahwa Sa’ad bukan pengecut dan tidak tercela. (Bersambung)
(mhy)