Nabi Muhammad Asuh Sayidina Ali Gara-gara Krisis Ekonomi Melanda Makkah
Senin, 09 November 2020 - 08:00 WIB
KETIKA Ali bin Abi Thalib menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Krisis ekonomi melanda. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib , paceklik jelas bikin susah. (
)
Pada saat krisis itu, Nabi Muhammad SAW telah berumah tangga dengan Siti Khadijah binti Khuwalid . Keluarga Nabi sangat berkecukupan. Siti Khadijah adalah saudagar kaya.
Melihat kondisi buruk keluarga Abu Thalib, Nabi Muhammad tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib RA" menceritakan dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad SAW menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya. ( )
Nabi Muhammad SAW mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih baik.
Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik .
Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad SAW berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang." ( )
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhammad SAW
Sejak itu Sayidina Ali diasuh oleh Nabi Muhammad dan isteri beliau, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.
Bagi Ali, lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan beliau dengan Siti Khadijah juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad SAW, Sayidina Ali bukan hanya sekadar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal.( )
Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan, menurut, Al-Hamid, pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad SAW sering mengajak Ali menyepi di Gua Hira , yang terletak dekat kota Makkah.
Ada kalanya Ali diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah Ta'ala.
Sejak usia muda Ali sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa.
Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasulullah SAW dalam kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Ali dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Ali adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah Ta'ala.
Sayidina Ali mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad sedang dipersiapkan Allah SWT. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Ali menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah SWT dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu.
Ali menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Ali menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan pikiran Nabi Muhammad.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Ali ketika Rasulullah mulai melakukan dakwah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Ali pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, ia ketika itu telah berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Ali ini banyak dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah akil baligh. Al Hamid Al Husaini berpendapat tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Ali telah berusia 13 tahun pada waktu Rasulullah memulai dakwahnya.
Pada waktu Nabi Muhammad SAW menerima tugas dakwah Ilahiyah, Ali bin Abi Thalib menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasulullah. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah dipahami Sayidina Ali hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasulullah menerima perintah Allah SWT supaya melakukan dakwah secara terbuka dan terang-terangan, Ali ikut ambil bagian sebagai pembantu. Ali antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasulullah kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.
Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Ali pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya, mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui beliau.
Untuk itu Rasulullah SAW menyampaikan dakwahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu istrinya sendiri Siti Khadijah dan saudara misan asuhannya, Ali bin Abi Thalib. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Ali sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas dakwah membantu Rasulullah pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasulullah dan Khadijah RA. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian," ujar Ali.
Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Ali RA, melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: "Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain." ( )
Pada saat krisis itu, Nabi Muhammad SAW telah berumah tangga dengan Siti Khadijah binti Khuwalid . Keluarga Nabi sangat berkecukupan. Siti Khadijah adalah saudagar kaya.
Melihat kondisi buruk keluarga Abu Thalib, Nabi Muhammad tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Al Hamid Al Husaini dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib RA" menceritakan dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad SAW menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya. ( )
Nabi Muhammad SAW mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih baik.
Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik .
Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad SAW berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang." ( )
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhammad SAW
Sejak itu Sayidina Ali diasuh oleh Nabi Muhammad dan isteri beliau, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.
Bagi Ali, lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan beliau dengan Siti Khadijah juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad SAW, Sayidina Ali bukan hanya sekadar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal.( )
Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan, menurut, Al-Hamid, pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad SAW sering mengajak Ali menyepi di Gua Hira , yang terletak dekat kota Makkah.
Ada kalanya Ali diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah Ta'ala.
Sejak usia muda Ali sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa.
Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasulullah SAW dalam kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Ali dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Ali adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah Ta'ala.
Sayidina Ali mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad sedang dipersiapkan Allah SWT. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Ali menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah SWT dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu.
Ali menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Ali menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan pikiran Nabi Muhammad.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Ali ketika Rasulullah mulai melakukan dakwah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Ali pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, ia ketika itu telah berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Ali ini banyak dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah akil baligh. Al Hamid Al Husaini berpendapat tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Ali telah berusia 13 tahun pada waktu Rasulullah memulai dakwahnya.
Pada waktu Nabi Muhammad SAW menerima tugas dakwah Ilahiyah, Ali bin Abi Thalib menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasulullah. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah dipahami Sayidina Ali hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasulullah menerima perintah Allah SWT supaya melakukan dakwah secara terbuka dan terang-terangan, Ali ikut ambil bagian sebagai pembantu. Ali antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasulullah kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.
Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Ali pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya, mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui beliau.
Untuk itu Rasulullah SAW menyampaikan dakwahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu istrinya sendiri Siti Khadijah dan saudara misan asuhannya, Ali bin Abi Thalib. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Ali sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas dakwah membantu Rasulullah pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasulullah dan Khadijah RA. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian," ujar Ali.
Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Ali RA, melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: "Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain." ( )
(mhy)
Lihat Juga :