Sahkah Tobat dari Berzina Setelah Tak Punya Nafsu Seks? (1)

Kamis, 19 November 2020 - 05:00 WIB
Ilustrasi/Ist
APA hukum orang yang berbuat maksiat , jika saat bertobat ia sudah tidak dapat lagi melakukan kemaksiatan yang ia tobatkan itu, atau ia sudah telah melemah sehingga tidak mungkin lagi melakukannya; apakah tobatnya itu sah?

Misalnya seperti orang yang bertobat menyesal berzina pada saat ia telah kehilangan nafsu seks. Bisa juga penguasa yang zalim bertobat tatkala ia telah diberhentikan dari kedudukannya, sehingga tidak mampu lagi berbuat zalim. Koruptor bertobat pada saat ia sudah tidak menjadi pejabat lagi. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat. ( )


Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.

Satu kelompok ulama berkata: tobatnya tidak sah. Karena tobat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia tobatkan itu. Tobat dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan tobat atas memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya.

Menurut mereka, tobat adalah mengalahkan dorongan nafsu, dan mengikuti panggilan kebenaran. Sementara dalam masalah tadi tidak ada dorongan nafsu lagi, karena ia tahu tidak akan mampu mengerjakannya. ( )

Ini adalah seperti orang yang dipaksa untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan, dan ditugaskan secara paksa pula. Orang yang seperti ini tidak sah tobatnya.

Yang diterima fitrah dan akal manusia adalah, tobat orang yang pailit dan yang kejepit, adalah tobat yang tidak dapat diterima, dan tidak terpuji. Malah mereka menamakannya sebagai tobat orang pailit dan tobat orang kejepit.

Seorang penyair berkata: "Maka segera ku tanyakan tentang tobatnya ku dapati ternyata tobatnya adalah tobat orang yang pailit"! ( )

Ini juga menunjukkan bahwa teks-teks yang banyak dan jelas menunjukkan bahwa tobat yang dilakukan ketika datang maut adalah tidak bermanfaat. Karena itu adalah tobat orang yang kepepet dan tidak memiliki pilihan lain: Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

"Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih." [QS. an Nisa: 17-18]

Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "At Taubat Ila Allah" menjelaskan dan "al-jahalah" di sini maksudnya adalah: ketidak tahuan kerja, meskipun ia tahu akan keharaman itu. ( )

Qatadah berkata: para sahabat Rasulullah SAW berijma' bahwa seluruh perbuatan yang di dalamnya Allah SWT dimaksiati adalah kebodohan. Baik secara sengaja atau tidak. Dan seluruh orang yang maksiat kepada Allah SWT adalah orang yang bodoh. Sedangkan tobat secepatnya adalah: menurut mayoritas mufassir, tobat itu adalah tobat sebelum orang itu menghadapi ajalnya.

Ikrimah berkata: ia adalah tobat sebelum mati.

Dhahhak berkata: ia adalah tobat sebelum menjumpai malaikat maut.

As-Sudi dan al Kulabi berkata: yaitu agar orang bertobat pada waktu sehatnya dan sebelum ia sakit menjelang matinya.

Sayyid Rasyid Ridha memberikan komentar atas pendapat-pendapat itu: manusia banyak tertipu dengan zahir pendapat-pendapat ini dalam menafsirkan ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis itu, membuat mereka banyak menunda tobat, dan terus melakukan kemaksiatan, sehingga kemaksiatan itu melekat kuat dalam hati mereka, dan nafsu mereka menyenanginya. ( )

Hal itu kemudian menjadi instink dan kebiasaan yang tidak dapat --atau sulit-- untuk mereka lepaskan, kecuali dalam kasus yang langka saja.

Hingga datang ajal mereka, sementara mereka masih bergelimang dalam nafsu mereka. Makna ayat itu bukanlah: bahwa tobat yang diridhai dan dijamin diterima oleh Allah SWT adalah tobat atas kemaksiatan yang terus dilakukan oleh seseorang hingga menjelang sakratul maut, hingga beberapa jam atau beberapa menit sebelumnya.

Namun yang dimaksudkan adalah: bertaubat tidak lama setelah melakukan sesuatu dosa, sambil tidak mengulanginya lagi, seperti disebutkan pada ayat yang lain.

Dan barangkali yang dimaksudkan Ikrimah, Dhahhak dan yang lainnya untuk menyesuaikan dengan makna hadis; bahwa Allah SWT akan menerima tobat seseorang yang berbuat maksiat selama orang itu belum sekarat.

Maksudnya, seandainya ia bertobat pada suatu waktu, sebelum datang sakratul maut dan ajal tiba, niscaya tobatnya akan diterima. Dan itu tidak bertentangan dengan ayat. Karena manusia mungkin ada yang datang keinginan tobatnya beberapa saat sebelum sakratul maut atau ajalnya tiba, terhadap dosanya yang belum lama ia lakukan, namun jarang ada orang yang bertobat dari dosa yang telah ia lakukan semenjak lama dan terus menerus, dan jikapun ia bertobat dari macam dosa yang disebut terakhir itu, maka jarang sekali orang seperti itu dapat memperbaiki apa yang telah ia rusak, disebabkan dosa yang ia lakukan secara terus menerus itu.

Sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar."

Yang dimaksudkan adalah terus menerus melakukan dosa dan menunda-nunda untuk bertobat adalah berbahaya, meskipun tobat dari dosa semacam itu masih dapat diterima jika dilakukan dalam waktu ikhtiar (sebelum sakratul maut tiba). Namun biasanya orang mati dalam keadaan sebagaimana ia sehari-harinya, selama ini, oleh karena itu orang-orang yang tertipu dengan menunda-nunda tobatnya hendaknya ia berhati-hati.

Dalam musnad dan kitab lainya dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bersabda:

"Sesungguhnya Allah SWT akan menerima tobat seorang hamba selama ia belum sekarat mati " .

Orang yang bertobat saat sekarat, dan ia berkata: saat ini aku bertobat! Maka tobatnya tidak dapat diterima. Karena itu adalah tobat terpaksa bukan karena dorongan kesadaran diri. "Ia adalah seperti tobat setelah matahari terbit dari Barat, pada hari kiamat, dan ketika menemui ajal," tuturnya.

Karena hakikat taubat adalah: mencegah diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang, dan tindakan itu dilakukan oleh orang yang mampu mengerjakannya. Sedangkan orang yang tidak mungkin mengerjakannya, adalah tidak masuk akal jika nafsu dicegah untuk melakukan itu. Juga karena tobat adalah dengan membebaskan diri dari dosa, dan orang yang memang tidak dapat lagi mengerjakan dosa itu, bagaimana mungkin ia kemudian mencegah dirinya dari menjalankan dosa itu.

Karena dosa adalah keinginan kuat untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan, serta diikuti dengan kemampuannya. Dan taubat darinya berarti: tekad yang kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa yang dapat ia kerjakan itu, dilanjutkan dengan meninggalkannya. ( )

Sedangkan tekad untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat ia kerjakan adalah mustahil. Karena tekad untuk meninggalkan perbuatan yang memang ia tidak mampu mengerjakannya ini adalah sesuatu yang pasti terjadi, bukan tekad sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan. Itu tidak lebih dari semisal meninggalkan keinginan terbang di udara, memindahkan gunung dan sebagainya. (Bersambung)
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Yang pertama kali yang dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika sempurna ia beruntung dan jika tidak sempurna, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, Lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai amalan shalat sunnah? Bila didapati ia memiliki amalan shalat sunnah, maka Dia berfirman Lengkapilah shalat wajibnya yang kurang dengan shalat sunnahnya

(HR. Nasa'i No. 463)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Terpopuler
Artikel Terkini More