Sahkah Tobat dari Berzina Setelah Tak Punya Nafsu Seks? (2-Habis)
loading...
A
A
A
APA hukum orang yang berbuat maksiat , jika saat bertobat ia sudah tidak dapat lagi melakukan kemaksiatan yang ia tobatkan itu, atau ia sudah telah melemah sehingga tidak mungkin lagi melakukannya; apakah tobatnya itu sah?
Misalnya seperti orang yang bertobat menyesal berzina pada saat ia telah kehilangan nafsu seks. Bisa juga penguasa yang zalim bertobat tatkala ia telah diberhentikan dari kedudukannya, sehingga tidak mampu lagi berbuat zalim. Koruptor bertobat pada saat ia sudah tidak menjadi pejabat lagi. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.
Satu kelompok ulama berkata: tobatnya tidak sah. Karena tobat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia tobatkan itu. Tobat dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan tobat atas memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya.
Pendapat kedua adalah tobatnya itu diterima, mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun tobat masih ada padanya. Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadis: "Penyesalan adalah taubat".
Maka jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah tobat. Mengapa kemudian hak tobat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan mengerjakannya. ( )
Juga karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam hadis sahih:
"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan dalam hadis sahih lainnya dari Rasulullah SAW :
"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah SAW menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".
Banyak lagi terdapat hadis sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah lebih utama. ( )
Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah mengikuti mafsadat itu.
Jika orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan melakukannya. Maka tobatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah tobatnya. Itu baginya lebih mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat datang.
Sedangkan tobat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan masih melekat padanya.
Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan, daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam. ( )
Misalnya seperti orang yang bertobat menyesal berzina pada saat ia telah kehilangan nafsu seks. Bisa juga penguasa yang zalim bertobat tatkala ia telah diberhentikan dari kedudukannya, sehingga tidak mampu lagi berbuat zalim. Koruptor bertobat pada saat ia sudah tidak menjadi pejabat lagi. Dan seluruh orang yang telah sampai pada titik ia tidak mempunyai dorongan lagi untuk berbuat maksiat.
Ibnu Qayyim berkata: dalam masalah ini ada dua pendapat.
Satu kelompok ulama berkata: tobatnya tidak sah. Karena tobat itu seharusnya dilakukan oleh orang yang masih mungkin menjalankan atau meninggalkan perbuatan maksiat yang ia tobatkan itu. Tobat dilakukan terhadap sesuatu yang dapat dikerjakan, bukan terhadap sesuatu yang mustahil dikerjakan. Oleh karena itu tidak dapat dibayangkan tobat atas memindahkan gunung dari tempatnya, mengeringkan lautan, terbang di udara tanpa alat atau sejenisnya.
Pendapat kedua adalah tobatnya itu diterima, mungkin dan dapat terjadi. Karena rukun-rukun tobat masih ada padanya. Yang dapat ia lakukan dari perbuatan itu adalah penyesalan. Dalam musnad Ahmad secara marfu' diriwayatkan hadis: "Penyesalan adalah taubat".
Maka jika ia telah menyesal atas dosanya, serta mencela dirinya sendiri, itu adalah tobat. Mengapa kemudian hak tobat itu diambil darinya, meskipun ia telah amat menyesal atas dosanya, dan telah berulang kali menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi jika ia juga menangis, sedih dan takut, serta bertekad kuat dan berniat jika ia sehat dan ia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan perbuatan dosa itu ia tidak akan mengerjakannya. ( )
Juga karena dalam syari'at, orang yang tidak dapat melakukan ketaatan dikelompokkan dalam golongan orang yang mengerjakan ketaatan itu, jika niatnya benar. Seperti dalam hadis sahih:
"Jika seorang hamba sakit atau melakukan musafir, maka baginya ditulis pahala amal yang biasa ia lakukan saat sehat dan diam di rumah."
Dan dalam hadis sahih lainnya dari Rasulullah SAW :
"Sesungguhnya di Madinah adalah sekelompok orang yang jika kalian melakukan perjalanan dan menelusuri lembah ngarai niscaya mereka juga bersama kalian. Para sahabat bertanya: "Dan saat itu mereka berada di Madinah"?. Rasulullah SAW menjawab: mereka berada di Madinah, dan tidak dapat ikut bersama kalian semata karena mereka mempunyai uzur".
Banyak lagi terdapat hadis sejenis. Maka meletakkan orang yang tidak dapat melakukan maksiat, yang meninggalkan maksiat itu secara terpaksa (sambil ia berniat akan meninggalkan kemaksiatan itu secara suka rela jika ia mempunyai kemampuan) pada posisi seperti orang yang meninggalkan sesuatu kemaksiatan dengan pilihan dan tekadnya sendiri, adalah lebih utama. ( )
Ia menjelaskan: kemafsadatan dosa yang diancam akan diberikan hukuman itu kadang timbul dari keinginannya, atau dari mengerjakannya. Dan kemafsadatan itu tidak terdapat dalam orang yang tidak dapat melakukan maksiat itu, baik tekad atau mengerjakannya langsung. Dan hukuman adalah mengikuti mafsadat itu.
Jika orang ini tidak dapat melakukannya, ia masih dapat menghayalkan dan menginginkannya. Dan di antara niatnya adalah: Jika ia sehat ia akan melakukannya. Maka tobatnya itu adalah dengan membersihkan dirinya dari keinginan dan khayalannya itu. Keinginan untuk terus melakukan dosa itu masih terdapat dalam dirinya tentunya, kemudian ia berkeinginan untuk melakukan yang sebaliknya, maka itu adalah tobatnya. Itu baginya lebih mungkin dan dapat terjadi daripada berkeinginan untuk terus menjalankan maksiat. Ini amat jelas.
Perbedaan antara orang seperti ini dengan orang yang sedang menghadapi kematiannya serta orang yang sedang menghadapi hari kiamat adalah: beban (taklif) telah terputuskan ketika datang kematian dan saat hari kiamat datang.
Sedangkan tobat itu masih dalam masa taklif (beban). Dan orang yang lemah ini tidak terputus baginya taklif. Maka perintah dan larangan masih melekat padanya.
Mencegah berbuat dosa masih dapat ia lakukan, daripada menginginkan dan merindukan kemaksiatan itu, serta menyesal tidak dapat melakukannya. Kemudian ia mengganti semua itu dengan penyesalan dan kesedihan karena ia telah melakukannya. Wallahu a'lam. ( )
(mhy)