Kisah Sunan Ampel (2): Sesepuh Wali Songo yang Sangat Toleran
Minggu, 13 Desember 2020 - 05:00 WIB
PRABU Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat atau Sunan Ampel . Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah. Hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. (
)
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di seluruh Majapahit , dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Sementara itu, di kalangan wali, Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Sunan Ampel menggantikan Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang wafat.
Pilihan kepada Sunan Ampel sebagai sesepuh Wali Sanga wajar adanya. Soalnya, anggota wali sanga sendiri diisi anak, menantu dan murid Sunan Ampel. Mereka adalah Sunan Giri , Sunan Kalijaga , Sunan Bonang, dan Sunan Drajad. Dua nama terakhir, Sunan Bonang dan Sunan Drajad, adalah putra Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga adalah menantunya. ( )
Jasa Sunan Ampel yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, yang juga murid dan menantunya sendiri.
Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Keluarga
Sunan Ampel memiliki dua orang istri: Dewi Candrawati dan Nyai Karimah. Hasil perkawinan dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila, dikaruniai putra di antaranya, Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qosim atau Sunan Drajad, Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan, Siti Mutmainah, Siti Alwiyah, dan Siti Asikah. Nama terakhir,Siti Asikah, diperistri Raden Patah.
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri dan Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga. ( )
Adat Istiadat
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati. Hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Sikap Sunan Ampel itu tampak ketika dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menyebutkan, mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel: “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami."
"Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya,” tambahnya.
H Lawrens Rasyid menulis adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.
Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian.
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam.
Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di seluruh Majapahit , dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Sementara itu, di kalangan wali, Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Sunan Ampel menggantikan Syaikh Maulana Malik Ibrahim yang wafat.
Pilihan kepada Sunan Ampel sebagai sesepuh Wali Sanga wajar adanya. Soalnya, anggota wali sanga sendiri diisi anak, menantu dan murid Sunan Ampel. Mereka adalah Sunan Giri , Sunan Kalijaga , Sunan Bonang, dan Sunan Drajad. Dua nama terakhir, Sunan Bonang dan Sunan Drajad, adalah putra Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Giri dan Sunan Kalijaga adalah menantunya. ( )
Jasa Sunan Ampel yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah, yang juga murid dan menantunya sendiri.
Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Keluarga
Sunan Ampel memiliki dua orang istri: Dewi Candrawati dan Nyai Karimah. Hasil perkawinan dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila, dikaruniai putra di antaranya, Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qosim atau Sunan Drajad, Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan, Siti Mutmainah, Siti Alwiyah, dan Siti Asikah. Nama terakhir,Siti Asikah, diperistri Raden Patah.
Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri dan Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga. ( )
Adat Istiadat
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati. Hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Sikap Sunan Ampel itu tampak ketika dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
H Lawrens Rasyid dalam bukunya berjudul "Kisah dan Ajaran Wali Sanga" menyebutkan, mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel: “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islami."
"Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya,” tambahnya.
H Lawrens Rasyid menulis adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.
Pada prinsipnya mereka mau menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.
Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian.
Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam.
Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali. Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak orang yang berziarah ke makam beliau.
(mhy)