Kisah Cucu Raja Blambangan Setelah Dibuang ke Laut karena Dianggap Bawa Sial
Jum'at, 08 Januari 2021 - 18:05 WIB
“Jelasnya kalian berikan bayi ini kepadaku?” Nyai Ageng menegaskan.
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia mengingingkan seorang anak.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik. Walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti selalu bersikap menyenangkan hati.
Kepada orang yang lebih tua dia selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan salat tahajud, Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya.
Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” tanya Sunan Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan…“ jawab Joko Samodra mengacungkan tangannya.
Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kala Nyai Ageng Pinatih datang menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul santrinya itu.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu.
Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syaikh Maulana Ishaq yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syaikh Maulana Ishaq sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku .
“Benar Nyai Ageng.”
Nyai Ageng Pinatih merasa sangat berterima kasih kepada nakhoda dan anak buahnya. Memang sudah lama dia mengingingkan seorang anak.
Selanjutnya bayi itu diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih, seorang janda kaya raya yang disegani masyarakat Gresik. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinati kemudian memberinya nama Joko Samodra.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang muslimah yang baik. Walau Joko Samodra bukan anak kandungnya dia merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Terlebih Joko Samodra itu ternyata mempunyai sifat yang baik, kepada ibunya dia sangat berbakti selalu bersikap menyenangkan hati.
Kepada orang yang lebih tua dia selalu menghormati dan menjunjung tinggi. Kepada teman-teman sebayanya dia tak pernah menyakiti atau berbuat usil. Pendek kata Joko Samodra benar-benar merupakan profil anak yang menjadi buah hati orang tua dan pantas dibanggakan setiap orang tua.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya.
Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Dalam beberapa minggu saja Sunan Ampel telah dapat mengetahui bahwa Joko Samodra bukanlah anak sembarangan. Muridnya yang satu ini memiliki kecerdasan luar biasa. Semua pelajaran yang diberikan mampu dicerna dan dihafal dalam tempo yang tidak terlalu lama.
Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan salat tahajud, Sebelum berwudlu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya.
Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah shalat subuh, Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapakah di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan ?” tanya Sunan Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan…“ jawab Joko Samodra mengacungkan tangannya.
Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kala Nyai Ageng Pinatih datang menengok Joko Samodra, kesempatan ini digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal usul santrinya itu.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah Selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.
Sunan Ampel kemudian menyempatkan diri datang ke Gresik untuk melihat peti yang masih tersimpan rapi itu.
Berdasarkan pengamatan Sunan Ampel peti itu memang berasal dari kalangan istana Blambangan, hal itu diketahui dari ciri-ciri ukiran dan tanda khusus pada peti itu. Yakinlah Sunan Ampel bahwa Joko Samodra adalah putra Syaikh Maulana Ishaq yang dibuang ke tengah samodra.
Teringat pada pesan Syaikh Maulana Ishaq sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku .