Berikut Ini Hal-hal yang Menyebabkan Su'ul Khatimah
Rabu, 17 Februari 2021 - 05:00 WIB
SEBAGIAN orang yang mengaku beragama Islam mendapatkan su'ul khatimah . Naiidzu billah! Syaikh Umar Sulaiman al Asygar dalam bukunya berjudul Ensiklopedia Kiamat menulis su'ul khatimah ini tampak pada sebagian orang yang sedang sekarat.
Shiddiq Hasan Khan menceritakan tentang su'ul khatimah, “Su'ul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus diwaspadai oleh seorang mukmin."
Kemudian beliau menyebut sebab-sebab dimaksud sebagai berikut:
1. Kerusakan dalam akidah, walaupun disertai zuhud dan kesalehan yang sempurna. Kalau ia memiliki kerusakan dalam akidahnya dan ia meyakininya serta tidak menyangka bahwa itu salah, terkadang kekeliruan akidahnya itu tersingkap pada saat sakaratul maut .
Setelah tersingkap, maka kerusakan sebagian akidahnya menyebabkan terhapusnya akidah lainnya. Dengan demikian, bila ja wafat dalam keadaan seperti ini sebelum ia menyadari dan kembali ke iman yang benar berarti ia mendapatkan su'ul khatimah dan wafat dalam keadaan tanpa iman.
Selain itu, ia termasuk orang yang disebut oleh Allah dalam ayat, “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS Az-Zumar : 17) Juga ayat, “Katakanlah, 'Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS Al-Kahfi : 103-104)
Jadi, setiap orang yang berakidah secara keliru baik karena pendapatnya sendiri atau mengambil dari orang lain, maka ia berada dalam bahaya besar, dan zuhud serta kesalehannya akan sia-sia alias tidak berguna. Yang berguna adalah akidah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan sunah Rasul, karena akidah agama tidak dianggap benar kecuali bersumber dari keduanya.
2. Banyak melakukan maksiat. Orang yang sering melakukan maksiat, maka maksiat itu akan menumpuk di dalam hatinya, dan semua yang dikumpulkan manusia sepanjang umurnya, maka memori itu akan terulang saat ia mati. Jika seseorang cenderung pada ketaatan dan hal-hal baik, maka yang paling banyak hadir pada saat ia sekarat adalah memori ketaatan.
Sebaliknya, kalau kecenderungannya pada maksiat lebih besar, maka yang paling banyak hadir saat ia sekarat adalah memori maksiat. Bahkan bisa jadi pada saat maut menjelang dan ia belum tobat, syahwat dan maksiat menguasainya sehingga hatinya terikat padanya dan akhirnya hal itu menjadi penghalang antara dia dan Tuhannya serta menjadi penyebab kesengsaraannya di akhir hayat. Nabi SAW bersabda, “Maksiat adalah kekufuran.”
Adapun orang yang tidak melakukan dosa atau ia berdosa tapi kemudian bertobat maka ia jauh dari bahaya ini. Sementara orang yang banyak dosanya sampai melebihi ketaatannya dan tidak bertobat bahkan ia terus menerus melakukannya, maka ini sangat berbahaya baginya, sebab dominasi maksiat ini akan terpatri di dalam hatinya dan membuatnya cenderung dan terikat pada maksiat, dan pada gilirannya menjadi penyebab su'ul khatimah (akhir yang buruk).
Perbandingannya sebagai berikut.
Tak diragukan bahwa manusia dalam mimpinya melihat hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sepanjang umurnya. Orang yang menghabiskan umurnya dalam keilmuan akan bermimpi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan ulama. Orang yang menghabiskan umurnya dalam dunia menjahit akan bermimpi tentang hal-hal yang berkaitan dengan jahitan dan penjahit. Sebab yang ada dalam tidur adalah apa yang berhubungan dan berkaitan dengan hatinya sepanjang hidupnya.
Mati walaupun lebih dari tidur, namun sakaratul maut dan keadaan tidak sadarnya mirip dengan tidur. Lama bergelimang maksiat akan membuat hati cenderung kepada dan mengingat maksiat, dan jika rohnya terlepas dari jasadnya saat itu, maka buruklah akhirnya.
Adz-Dzahabi, dalam al-Kaba'ir, mengutip Mujahid:
Tidaklah seorang mati kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa ia gauli. Seorang lelaki yang suka main catur sekarat, lalu dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah la ilaha illa Allah” Ia menjawab, “Skak!” kemudian ia mati.
Jadi, yang mendominasi lidahnya adalah kebiasaan permainan dalam hidupnya. Sebagai ganti kalimat tauhid, ia mengatakan skak. Ini seperti orang yang kawan-kawannya adalah para pemabuk. Saat sekarat, seseorang datang untuk mengajarkannya mengucap syahadat, tetapi ia malah berkata, “Mari minum dan tuangkan untukku!” Kemudian ia mati. La hawla wa la quwwata illa billah.
3. Tidak istikamah. Sungguh seorang yang istikamah pada awalnya, lalu berubah dan menyimpang dari awalnya bisa menjadi penyebab ia mendapat su'ul khatimah, seperti iblis yang pada mulanya merupakan pemimpin dan guru malaikat serta malaikat yang paling giat beribadah, tapi kemudian tatkala ia diperintahkan sujud kepada Adam, ia membangkang dan menyombongkan diri, sehingga ia termasuk golongan kafir. Juga seperti Bal'am ibn Ba'ur yang telah sampai kepadanya ayat-ayat Allah lalu Allah menurunkannya ke dunia. Ia menuruti hawa nafsunya dan termasuk orang-orang yang sesat.
Juga sepeati Barsisha, seorang abid yang setan berkata kepadanya, “Kafirlah”, dan tatkala ia kafir, setan berkata, “Aku bebas darimu, Aku sungguh takut kepada Allah Tuhan Penguasa alam”.
Setan memperdayai dirinya agar kufur dan tatkala ia kafir, setan lepas tangan khawatir ikut diazab bersamanya, padahal itu sia-sia.
Allah berfirman, “Maka akibat bagi keduanya, adalah bahwa keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang lalim." (QS Al-Hasyr : 17)
4. Iman yang lemah. Iman yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta dunia dalam hatinya, dan bahkan lemahnya iman itu dapat menguasai dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah kecuali sedikit bisikan jiwa, sehingga pengaruhnya tidak tampak dalam melawan jiwa dan menahan maksiat serta menganjurkan berbuat baik.
Akibatnya ia terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan perbuatan maksiat, sehingga noda hitam dosa menumpuk di dalam hati dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang lemah dalam hati. Dan ketika sakaratul maut datang, cinta Allah semakin melemah manakala ia melihat ia akan berpisah dengan dunia yang dicintainya. Kecintaannya pada dunia sangat kuat, sehingga ia tidak rela meninggalkannya dan tak kuasa berpisah dengannya.
Pada saat yang sama timbul rasa khawair dalam dirinya bahwa Allah murka dan tidak mencintainya. Cina Allah ia mati dalam kondisi iman yang seperti ini, maka ua mendapat su'ul khatimah dan sengsara selamanya.
Sebab yang melahirkan su'ul khatimah ini adalah cinta dan cenderung kepada dunia disertai iman yang lemah yang pada gilirannya mengakibatkan lemahnya cinta kepada Allah. Cinta dunia adalah penyakit yang umumnya menimpa kebanyakan manusia. Jadi, orang yang pada saat mati, hatinya didominasi oleh urusan dunia, maka hal itu mengisi seluruh ruangan dalam hatinya.
Selanjutnya, bila dalam kondisi seperti itu roh keluar dari jasadnya maka hainya tunduk pada dunia, dan terhijab dari tuhannya.
Dihikayatkan bahwa Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik , saat memasuki kota Madinah untuk berziarah, berkata: "Apakah di Madinah masih ada tokoh yang pernah bertemu sahabat?”
Mereka menjawab, “Ya, masih. Namanya Abu Hazim.”
Lalu ia minta diantar ke tempat Abu Hazim. Sesampainya di depan Abu Hazim, Sulaiman berkata, “Hai Abu Hazim, kenapa kami tak suka mati?”
Abu Hazim menjawab, “Kalian memakmurkan dunia dan menghancurkan akhirat. Maka, kalian tak sudi keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”
Sulaiman berkata, “Benar engkau! Lalu bagaimana posisi kami di sisi Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Cocokkan amalmu dengan Kitabullah.”
Sulaiman bertanya, “Di mana hal itu kutemukan?”
Jawab Abu Hazim, “Dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.”
Sulaiman bertanya lagi, “Di mana rahmat Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Sulaiman berkata, “Lalu bagaimana pengadilan di depan Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Orang yang berbuat baik adalah seperti orang yang telah lama hilang kembali ke keluarganya, sedangkan orang yang berbuat jahat seperti budak yang melarikan diri lalu dihadapkan kepada majikannya.”
Lalu Sulaiman menangis sampai-sampai suaranya meninggi dan tangisannya menyayat hati. Kemudian ia berkata, “Berilah aku wasiat!”
Abu Hazim menjawab, “Awas! Jangan sampai Allah melihatmu pada saat Ia melarangmu atau Ia luput darimu pada saat Ia memerintahkanmu.”
Shiddiq Hasan Khan menukil pandangan al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa su'ul khatimah ada dua tingkatan, dan salah satunya lebih besar dari yang lain.
Tingkatan yang sangat besar adalah bila yang mendominasi hati pada saat sakaratul maut adalah syak (keraguan) atau pengingkaran, sehingga apabila seseorang wafat dalam kondisi seperti itu maka selamanya ia akan terhijab dari Allah.
Hal ini akan membuatnya jauh dari rahmat Allah dan memperoleh azab yang abadi.
Kedua, yang setingkat di bawahnya, yaitu bila yang mendominasi hatinya adalah cinta pada dunia sehingga hal itu memenuhi ruangan dalam hatinya dan tidak menyisakan tempat untuk yang lain. Bila rohnya melayang dalam kondisi seperti itu, maka itu sangat membahayakan, sebab seseorang mai tergantung atas kebiasaannya selama ia hidup.
Pada saat itu kerugian yang dideritanya sangat besar. Kecuali memang jika akar iman dan cinta kepada Allah telah tertanam di dalam hai cukup lama dan diperkuat oleh amal saleh, maka hal itu dapa menghapus kondisi seperti di atas.
Selanjunya bila kualitas imannya lebih rendah , maka ia masuk neraka dalam waktu lama.
Bila iman itu sebesar biji sawi, maka ia pasi akan keluar dari neraka walaupun setelah beribu-ribu tahun.
Selanjutnya, setiap yang meyakini Allah berikut sifat-sifat dan perbuatanNya dengan keliru, baik karena taklid aau dengan pikiran sendiri, maka ia berada dalam bahaya, dan zuhud serta kesalehan sekalipun tidak dapat menolah bahaya ini. Bahkan ia tidak akan selamat kecuali dengan akidah yang benar sesuai Al-Quraan dan Sunnah.
Shiddiq Hasan Khan menceritakan tentang su'ul khatimah, “Su'ul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus diwaspadai oleh seorang mukmin."
Kemudian beliau menyebut sebab-sebab dimaksud sebagai berikut:
1. Kerusakan dalam akidah, walaupun disertai zuhud dan kesalehan yang sempurna. Kalau ia memiliki kerusakan dalam akidahnya dan ia meyakininya serta tidak menyangka bahwa itu salah, terkadang kekeliruan akidahnya itu tersingkap pada saat sakaratul maut .
Setelah tersingkap, maka kerusakan sebagian akidahnya menyebabkan terhapusnya akidah lainnya. Dengan demikian, bila ja wafat dalam keadaan seperti ini sebelum ia menyadari dan kembali ke iman yang benar berarti ia mendapatkan su'ul khatimah dan wafat dalam keadaan tanpa iman.
Selain itu, ia termasuk orang yang disebut oleh Allah dalam ayat, “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS Az-Zumar : 17) Juga ayat, “Katakanlah, 'Apakah akan Kami beri tahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS Al-Kahfi : 103-104)
Jadi, setiap orang yang berakidah secara keliru baik karena pendapatnya sendiri atau mengambil dari orang lain, maka ia berada dalam bahaya besar, dan zuhud serta kesalehannya akan sia-sia alias tidak berguna. Yang berguna adalah akidah yang benar yang bersumber dari Kitabullah dan sunah Rasul, karena akidah agama tidak dianggap benar kecuali bersumber dari keduanya.
2. Banyak melakukan maksiat. Orang yang sering melakukan maksiat, maka maksiat itu akan menumpuk di dalam hatinya, dan semua yang dikumpulkan manusia sepanjang umurnya, maka memori itu akan terulang saat ia mati. Jika seseorang cenderung pada ketaatan dan hal-hal baik, maka yang paling banyak hadir pada saat ia sekarat adalah memori ketaatan.
Sebaliknya, kalau kecenderungannya pada maksiat lebih besar, maka yang paling banyak hadir saat ia sekarat adalah memori maksiat. Bahkan bisa jadi pada saat maut menjelang dan ia belum tobat, syahwat dan maksiat menguasainya sehingga hatinya terikat padanya dan akhirnya hal itu menjadi penghalang antara dia dan Tuhannya serta menjadi penyebab kesengsaraannya di akhir hayat. Nabi SAW bersabda, “Maksiat adalah kekufuran.”
Adapun orang yang tidak melakukan dosa atau ia berdosa tapi kemudian bertobat maka ia jauh dari bahaya ini. Sementara orang yang banyak dosanya sampai melebihi ketaatannya dan tidak bertobat bahkan ia terus menerus melakukannya, maka ini sangat berbahaya baginya, sebab dominasi maksiat ini akan terpatri di dalam hatinya dan membuatnya cenderung dan terikat pada maksiat, dan pada gilirannya menjadi penyebab su'ul khatimah (akhir yang buruk).
Perbandingannya sebagai berikut.
Tak diragukan bahwa manusia dalam mimpinya melihat hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sepanjang umurnya. Orang yang menghabiskan umurnya dalam keilmuan akan bermimpi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu dan ulama. Orang yang menghabiskan umurnya dalam dunia menjahit akan bermimpi tentang hal-hal yang berkaitan dengan jahitan dan penjahit. Sebab yang ada dalam tidur adalah apa yang berhubungan dan berkaitan dengan hatinya sepanjang hidupnya.
Mati walaupun lebih dari tidur, namun sakaratul maut dan keadaan tidak sadarnya mirip dengan tidur. Lama bergelimang maksiat akan membuat hati cenderung kepada dan mengingat maksiat, dan jika rohnya terlepas dari jasadnya saat itu, maka buruklah akhirnya.
Adz-Dzahabi, dalam al-Kaba'ir, mengutip Mujahid:
Tidaklah seorang mati kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa ia gauli. Seorang lelaki yang suka main catur sekarat, lalu dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah la ilaha illa Allah” Ia menjawab, “Skak!” kemudian ia mati.
Jadi, yang mendominasi lidahnya adalah kebiasaan permainan dalam hidupnya. Sebagai ganti kalimat tauhid, ia mengatakan skak. Ini seperti orang yang kawan-kawannya adalah para pemabuk. Saat sekarat, seseorang datang untuk mengajarkannya mengucap syahadat, tetapi ia malah berkata, “Mari minum dan tuangkan untukku!” Kemudian ia mati. La hawla wa la quwwata illa billah.
3. Tidak istikamah. Sungguh seorang yang istikamah pada awalnya, lalu berubah dan menyimpang dari awalnya bisa menjadi penyebab ia mendapat su'ul khatimah, seperti iblis yang pada mulanya merupakan pemimpin dan guru malaikat serta malaikat yang paling giat beribadah, tapi kemudian tatkala ia diperintahkan sujud kepada Adam, ia membangkang dan menyombongkan diri, sehingga ia termasuk golongan kafir. Juga seperti Bal'am ibn Ba'ur yang telah sampai kepadanya ayat-ayat Allah lalu Allah menurunkannya ke dunia. Ia menuruti hawa nafsunya dan termasuk orang-orang yang sesat.
Juga sepeati Barsisha, seorang abid yang setan berkata kepadanya, “Kafirlah”, dan tatkala ia kafir, setan berkata, “Aku bebas darimu, Aku sungguh takut kepada Allah Tuhan Penguasa alam”.
Setan memperdayai dirinya agar kufur dan tatkala ia kafir, setan lepas tangan khawatir ikut diazab bersamanya, padahal itu sia-sia.
Allah berfirman, “Maka akibat bagi keduanya, adalah bahwa keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang lalim." (QS Al-Hasyr : 17)
4. Iman yang lemah. Iman yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta dunia dalam hatinya, dan bahkan lemahnya iman itu dapat menguasai dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah kecuali sedikit bisikan jiwa, sehingga pengaruhnya tidak tampak dalam melawan jiwa dan menahan maksiat serta menganjurkan berbuat baik.
Akibatnya ia terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan perbuatan maksiat, sehingga noda hitam dosa menumpuk di dalam hati dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang lemah dalam hati. Dan ketika sakaratul maut datang, cinta Allah semakin melemah manakala ia melihat ia akan berpisah dengan dunia yang dicintainya. Kecintaannya pada dunia sangat kuat, sehingga ia tidak rela meninggalkannya dan tak kuasa berpisah dengannya.
Pada saat yang sama timbul rasa khawair dalam dirinya bahwa Allah murka dan tidak mencintainya. Cina Allah ia mati dalam kondisi iman yang seperti ini, maka ua mendapat su'ul khatimah dan sengsara selamanya.
Sebab yang melahirkan su'ul khatimah ini adalah cinta dan cenderung kepada dunia disertai iman yang lemah yang pada gilirannya mengakibatkan lemahnya cinta kepada Allah. Cinta dunia adalah penyakit yang umumnya menimpa kebanyakan manusia. Jadi, orang yang pada saat mati, hatinya didominasi oleh urusan dunia, maka hal itu mengisi seluruh ruangan dalam hatinya.
Selanjutnya, bila dalam kondisi seperti itu roh keluar dari jasadnya maka hainya tunduk pada dunia, dan terhijab dari tuhannya.
Dihikayatkan bahwa Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik , saat memasuki kota Madinah untuk berziarah, berkata: "Apakah di Madinah masih ada tokoh yang pernah bertemu sahabat?”
Mereka menjawab, “Ya, masih. Namanya Abu Hazim.”
Lalu ia minta diantar ke tempat Abu Hazim. Sesampainya di depan Abu Hazim, Sulaiman berkata, “Hai Abu Hazim, kenapa kami tak suka mati?”
Abu Hazim menjawab, “Kalian memakmurkan dunia dan menghancurkan akhirat. Maka, kalian tak sudi keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”
Sulaiman berkata, “Benar engkau! Lalu bagaimana posisi kami di sisi Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Cocokkan amalmu dengan Kitabullah.”
Sulaiman bertanya, “Di mana hal itu kutemukan?”
Jawab Abu Hazim, “Dalam firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.”
Sulaiman bertanya lagi, “Di mana rahmat Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Sulaiman berkata, “Lalu bagaimana pengadilan di depan Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Orang yang berbuat baik adalah seperti orang yang telah lama hilang kembali ke keluarganya, sedangkan orang yang berbuat jahat seperti budak yang melarikan diri lalu dihadapkan kepada majikannya.”
Lalu Sulaiman menangis sampai-sampai suaranya meninggi dan tangisannya menyayat hati. Kemudian ia berkata, “Berilah aku wasiat!”
Abu Hazim menjawab, “Awas! Jangan sampai Allah melihatmu pada saat Ia melarangmu atau Ia luput darimu pada saat Ia memerintahkanmu.”
Shiddiq Hasan Khan menukil pandangan al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa su'ul khatimah ada dua tingkatan, dan salah satunya lebih besar dari yang lain.
Tingkatan yang sangat besar adalah bila yang mendominasi hati pada saat sakaratul maut adalah syak (keraguan) atau pengingkaran, sehingga apabila seseorang wafat dalam kondisi seperti itu maka selamanya ia akan terhijab dari Allah.
Hal ini akan membuatnya jauh dari rahmat Allah dan memperoleh azab yang abadi.
Kedua, yang setingkat di bawahnya, yaitu bila yang mendominasi hatinya adalah cinta pada dunia sehingga hal itu memenuhi ruangan dalam hatinya dan tidak menyisakan tempat untuk yang lain. Bila rohnya melayang dalam kondisi seperti itu, maka itu sangat membahayakan, sebab seseorang mai tergantung atas kebiasaannya selama ia hidup.
Pada saat itu kerugian yang dideritanya sangat besar. Kecuali memang jika akar iman dan cinta kepada Allah telah tertanam di dalam hai cukup lama dan diperkuat oleh amal saleh, maka hal itu dapa menghapus kondisi seperti di atas.
Selanjunya bila kualitas imannya lebih rendah , maka ia masuk neraka dalam waktu lama.
Bila iman itu sebesar biji sawi, maka ia pasi akan keluar dari neraka walaupun setelah beribu-ribu tahun.
Selanjutnya, setiap yang meyakini Allah berikut sifat-sifat dan perbuatanNya dengan keliru, baik karena taklid aau dengan pikiran sendiri, maka ia berada dalam bahaya, dan zuhud serta kesalehan sekalipun tidak dapat menolah bahaya ini. Bahkan ia tidak akan selamat kecuali dengan akidah yang benar sesuai Al-Quraan dan Sunnah.
(mhy)