Agar Tidak Ragu, Begini Hukum Memasang Gigi Palsu
Jum'at, 19 Februari 2021 - 15:34 WIB
KESEHATAN merupakan nikmat Allah yang sangat mahal. Seseorang yang sehat seringkali tidak bersyukur dengan kesehatannya, namun baru ketika sakit dirinya mengetahui pentingnya kesehatan itu. Begitu pula kesehatan mulut dan gigi, ketika sakit baru disadari bahwa itu merupakan hal yang penting. Ketika gigi sakit dan harus memasang gigi palsu apakah diperbolehkan oleh Islam?
Muhammadiyah sebagaimana dilansir laman Muhammadiyah.or.id. berpendapat masalah gigi palsu adalah menyangkut masalah muamalah dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah , maka kembali kepada prinsipnya yang umum, yaitu:
الأَصْلُ فِى اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ.
Artinya: “Prinsip dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjuk kepada kebalikannya, artinya tidak boleh.”
Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan.
Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik, misalnya membaca perkataan/potongan ayat وَلاَ الضَّآلِّيْنَ dengan benar.
Di dalam buku يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239, Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan menguatkan gigi dengan perak di kala diperlukan. Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak.
Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah, Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu dlarurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh.
Dasar
Setidaknya ada beberapa hadis yang bisa dijadikan dasar untuk masalah hukum mengenakan gigi palsu.
Pertama, hadis dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat : orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan, Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. (Nailul Authar, 6/244).
Berdasarkan keterangan tersebut Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com menyimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah yang terlarang.
Lajnah Daimah untuk Fatwa dan Penelitian Islam saat mendapat peranyaan masalah tersebut juga berpendapat, “Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan risiko sakit, atau melepasnya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.” (Fatawa Lajnah, 25/15).
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibn Utsaimin. Beliau ditanya tentang hukum gigi palsu, untuk menggantikan gigi yang rontok. Jawaban beliau, “Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu, karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan salah seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya dengan perak. Namun malah membusuk. Kemudian beliau mengizinkan menambal hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya, dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, volume 9).
Wallahu a’lam
Muhammadiyah sebagaimana dilansir laman Muhammadiyah.or.id. berpendapat masalah gigi palsu adalah menyangkut masalah muamalah dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah , maka kembali kepada prinsipnya yang umum, yaitu:
الأَصْلُ فِى اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ.
Artinya: “Prinsip dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjuk kepada kebalikannya, artinya tidak boleh.”
Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan.
Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik, misalnya membaca perkataan/potongan ayat وَلاَ الضَّآلِّيْنَ dengan benar.
Di dalam buku يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239, Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan menguatkan gigi dengan perak di kala diperlukan. Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak.
Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah, Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu dlarurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh.
Dasar
Setidaknya ada beberapa hadis yang bisa dijadikan dasar untuk masalah hukum mengenakan gigi palsu.
Pertama, hadis dari Urfujah bin As’ad radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat : orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan, Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. (Nailul Authar, 6/244).
Berdasarkan keterangan tersebut Ustadz Ammi Nur Baits, Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com menyimpulkan, semua intervensi luar yang mengubah keadaan tubuh kita hukumnya dibolehkan jika tujuannya dalam rangka pengobatan, atau mengembalikan pada kondisi normal. Dan ini tidak termasuk mengubah ciptaan Allah yang terlarang.
Lajnah Daimah untuk Fatwa dan Penelitian Islam saat mendapat peranyaan masalah tersebut juga berpendapat, “Tidak masalah mengobati gigi yang rusak atau cacat, dengan gigi lain, sehingga bisa menghilangkan risiko sakit, atau melepasnya kemudian diganti gigi palsu, jika dibutuhkan. Karena semacam ini termasuk bentuk pengobatan yang mubah, untuk menghilangkan madharat. Dan tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, sebagaimana yang dipahami penanya.” (Fatawa Lajnah, 25/15).
Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibn Utsaimin. Beliau ditanya tentang hukum gigi palsu, untuk menggantikan gigi yang rontok. Jawaban beliau, “Boleh bagi seseorang ketika ada giginya yang rontok, untuk diganti dengan gigi palsu, karena semacam ini termasuk bentuk menghilangkan cacat tubuh. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan salah seorang sahabat yang terpotong hidungnya, untuk menambal hidungnya dengan perak. Namun malah membusuk. Kemudian beliau mengizinkan menambal hidungnya dengan emas. Demikian pula gigi. Ketika ada gigi seseorang yang rontok, dia boleh memasang gigi palsu sebagai penggantinya, dan hukumnya tidak masalah. (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, volume 9).
Wallahu a’lam
(mhy)