Anak Tak Beri Syafaat kepada Orangtua pada Hari Kiamat karena Tak Diaqiqahi?

Kamis, 18 Februari 2021 - 18:05 WIB
loading...
Anak Tak Beri Syafaat kepada Orangtua pada Hari Kiamat karena Tak  Diaqiqahi?
Ilustrasi aqiqah/foto/ilustrasi/nu jatim
A A A
Aqiqah adalah ibadah yang dilakukan untuk menyukuri kelahiran dari seorang manusia. Bentuk aqiqah ialah sembelihan yang disembelih karena kelahiran anak. Terdapat hadis yang mengatakan bahwa aqiqah adalah hak anak. Lalu bagaimana jika seorang anak tidak diaqiqahi?



Aqiqah dasar hukumnya adalah sunat muakkad meskipun si ayah sedang dalam keadaan susah. Aqiqah telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . dan para sahabat beliau.

Mengenai waktu pelaksanaan aqiqah, ada tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti berikut:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى. (رواه أَبُو دَاوُدَ)

Dari Samurah bin Jundub (diriwayatkan bahwa) sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. bersabda: “Setiap anak tergantung kepada aqiqahnya, disembelih atas namanya pada hari ketujuh (kelahirannya), dicukur (rambutnya) dan diberi nama” (HR. Abu Dawud).

Dari hadis ini diketahui bahwa aqiqah itu dilaksanakan sebagai tanda syukur dan berbagi kebahagiaan atas kelahiran seorang anak. Aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Dan menurut para ulama, jika tidak bisa dilakukan pada hari tersebut, maka boleh dilakukan pada hari-hari lain yang longgar. Hanya saja waktunya dibatasi hingga anak tersebut baligh, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis di atas dengan kata “ghulam” yang berarti anak. Jika sudah baligh maka tidak disunnahkan lagi melakukan aqiqah karena sudah jauh waktunya dari hari kelahirannya.



Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, misalnya, berpendapat apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah orang tua dalam keadaan faqir (tidak mampu), maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian” (QS. At Taghobun: 16). Namun apabila ketika waktu dianjurkannya aqiqah, orang tua dalam keadaan berkecukupan, maka aqiqah masih tetap jadi kewajiban ayah, bukan ibu dan bukan pula anaknya.

Lalu, apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah,, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya.

Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berpendapat sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.

Sedangkan Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/382)



Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.

Kelipatan Tujuh
Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yang penting adalah aqiqahnya dilaksanakan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383)

Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya, Liqo-at Al Bab Al Maftuh, kaset 161, no. 24]

Wallahu a’lam bish-shawab.


(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3034 seconds (0.1#10.140)