Memahami Tawassul: Syirik, Bid'ah, Ataukah Sekadar Adab?
Rabu, 10 Maret 2021 - 05:00 WIB
TAWASSUL berarti mengambil perantara untuk tersampainya hajat. Tidak semua tawassul dinilai keliru, namun ada pula yang masyru’ (dibenarkan). Hanya saja, banyak ulama berpendapat cukuplah bagi kita tawassul yang disyari’atkan, seperti tawassul dengan nama dan sifat Allah, amal saleh , taat dan mengikuti ajaran Nabi SAW . Inilah tawassul yang disyari’atkan.
Allah Taala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 35)
Para sahabat dan tabi’in telah bersepakat bahwa tawassul dalam ayat ini maksudnya adalah dengan taat kepada Allah sesuai syari’at-Nya.
Adapun tawassul-tawassul yang tidak disyari’atkan ada dua macam:
Pertama, tawassul syirik , seperti berdo’a atau meminta tolong kepada orang yang telah mati, karena seorang mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah Ta'ala.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (QS. An-Naml: 62)
Kedua, tawassul bid’ah , seperti tawassul dengan jah (tuah) Nabi SAW, hal ini tidak dinukil dari Nabi dalam hadits yang shahih.
Dalil-dalil tentang masalah ini bermuara pada dua hal: mungkin hadis palsu, lemah sekali, tidak bisa dijadikan hujjah, atau derajatnya shahih tapi tidak mengena sasaran masalah ini. (Lihat Tuhfatul Qori fir Raddi ‘ala al-Ghumari hlm. 251-252. Lihat juga masalah tawassul secara luas dalam At-Tawwassul wal Wasilah oleh Ibnu Taimiyyah, At-Tawassul ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu oleh al-Albani, At-Tawashul ila Haqiqoti Tawassul oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i.
Bagian dari Adab
Sementara itu, Ustadz Isnan Ansory Lc MA dalam bukunya "Pro Kontra Tawassul" berpendapat berdoa kepada Allah SWT yang menggunakan tawassul atau perantara Nabi Muhammad SWT dan orang-orang soleh merupakan bagian dari adab. Melalui tawassul doa dipercaya akan segera dikabulkan Allah SWT.
”Tawassul merupakan salah satu metode di dalam melakukan doa. Bahkan pada hakikatnya, tawassul merupakan salah satu adab di dalam melakukan permohonan kepada Allah SWT," katanya.
Menurutnya, suatu hal yang lazim ketika seseorang merasa tidak pantas dalam memohon sesuatu, lantas menjadikan pertolongan pihak lain sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu tersebut.
Namun satu hal yang patut dicatat, bahwa yang menjadi obyek permohonan dan doa dalam aktivitas tawassul adalah Allah SWT semata. "Sebab memohon dan berdoa kepada selain Allah dalam hal-hal yang merupakan hak prerogatif Allah SWT, apakah melalui perantara ataupun tidak, merupakan perbuatan syirik yang haram," katanya.
Karena itulah seorang Muslim yang bertawassul, wajib meyakini bahwa permohonan hajatnya harus senantiasa ditujukan hanya kepada Allah SWT semata. Dan juga wajib meyakini bahwa Allah-lah yang akan menjawabnya.
Sebab itulah, jika orang yang bertawassul meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya dia telah berbuat kesyirikan. Allah SWT dalam surat Al-Jin ayat 18 berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدً
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah (memohon berdoa) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Imam al-Qurthubi (w 671 H) berkata, “Ayat ini merupakan celaan kepada orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam doa mereka di Masjidil Haram. Imam asy-Syaukani (w 1250 H) berkata dalam kitabnya Tuhfah adz-Dzakirin saat menjelaskan tentang shalat hajat.
"Hadis ini (hadis orang buta yang bertawassul kepada Rasulullah SAW) merupakan dalil tentang bolehnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah kepada Allah SWT."
Namun dengan tetap meyakini bahwa Allah-lah yang menjadi pemberi hajat. Selain itu, hakikatnya bertawassul dalam doa, bukanlah suatu keharusan. Sebagaimana terkabulnya doa, tidaklah secara pasti ditentukan dengan wasilah tersebut. "Justru inti dari tawassul adalah doa itu sendiri, yang ditujukan sebagai ibadah kepada Allah SWT" katanya.
Pendapat Ibnu Taimiyah
Mengutip kitab Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh memaparkan tawassul ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:
1.Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2.Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup.
Bentuk kedua seperti perkataan ‘Umar bin Al Khattab kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR Bukhari no. 1010).
Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khattab-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya.
Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib.
Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya.
Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadis dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
Allah Taala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 35)
Para sahabat dan tabi’in telah bersepakat bahwa tawassul dalam ayat ini maksudnya adalah dengan taat kepada Allah sesuai syari’at-Nya.
Adapun tawassul-tawassul yang tidak disyari’atkan ada dua macam:
Pertama, tawassul syirik , seperti berdo’a atau meminta tolong kepada orang yang telah mati, karena seorang mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah Ta'ala.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (QS. An-Naml: 62)
Kedua, tawassul bid’ah , seperti tawassul dengan jah (tuah) Nabi SAW, hal ini tidak dinukil dari Nabi dalam hadits yang shahih.
Dalil-dalil tentang masalah ini bermuara pada dua hal: mungkin hadis palsu, lemah sekali, tidak bisa dijadikan hujjah, atau derajatnya shahih tapi tidak mengena sasaran masalah ini. (Lihat Tuhfatul Qori fir Raddi ‘ala al-Ghumari hlm. 251-252. Lihat juga masalah tawassul secara luas dalam At-Tawwassul wal Wasilah oleh Ibnu Taimiyyah, At-Tawassul ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu oleh al-Albani, At-Tawashul ila Haqiqoti Tawassul oleh Muhammad Nasib ar-Rifa’i.
Bagian dari Adab
Sementara itu, Ustadz Isnan Ansory Lc MA dalam bukunya "Pro Kontra Tawassul" berpendapat berdoa kepada Allah SWT yang menggunakan tawassul atau perantara Nabi Muhammad SWT dan orang-orang soleh merupakan bagian dari adab. Melalui tawassul doa dipercaya akan segera dikabulkan Allah SWT.
”Tawassul merupakan salah satu metode di dalam melakukan doa. Bahkan pada hakikatnya, tawassul merupakan salah satu adab di dalam melakukan permohonan kepada Allah SWT," katanya.
Menurutnya, suatu hal yang lazim ketika seseorang merasa tidak pantas dalam memohon sesuatu, lantas menjadikan pertolongan pihak lain sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu tersebut.
Namun satu hal yang patut dicatat, bahwa yang menjadi obyek permohonan dan doa dalam aktivitas tawassul adalah Allah SWT semata. "Sebab memohon dan berdoa kepada selain Allah dalam hal-hal yang merupakan hak prerogatif Allah SWT, apakah melalui perantara ataupun tidak, merupakan perbuatan syirik yang haram," katanya.
Karena itulah seorang Muslim yang bertawassul, wajib meyakini bahwa permohonan hajatnya harus senantiasa ditujukan hanya kepada Allah SWT semata. Dan juga wajib meyakini bahwa Allah-lah yang akan menjawabnya.
Sebab itulah, jika orang yang bertawassul meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izin-Nya, niscaya dia telah berbuat kesyirikan. Allah SWT dalam surat Al-Jin ayat 18 berfirman:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدً
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah (memohon berdoa) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Imam al-Qurthubi (w 671 H) berkata, “Ayat ini merupakan celaan kepada orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam doa mereka di Masjidil Haram. Imam asy-Syaukani (w 1250 H) berkata dalam kitabnya Tuhfah adz-Dzakirin saat menjelaskan tentang shalat hajat.
"Hadis ini (hadis orang buta yang bertawassul kepada Rasulullah SAW) merupakan dalil tentang bolehnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah kepada Allah SWT."
Namun dengan tetap meyakini bahwa Allah-lah yang menjadi pemberi hajat. Selain itu, hakikatnya bertawassul dalam doa, bukanlah suatu keharusan. Sebagaimana terkabulnya doa, tidaklah secara pasti ditentukan dengan wasilah tersebut. "Justru inti dari tawassul adalah doa itu sendiri, yang ditujukan sebagai ibadah kepada Allah SWT" katanya.
Pendapat Ibnu Taimiyah
Mengutip kitab Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh memaparkan tawassul ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:
1.Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2.Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup.
Bentuk kedua seperti perkataan ‘Umar bin Al Khattab kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR Bukhari no. 1010).
Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khattab-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya.
Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib.
Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya.
Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadis dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
(mhy)