Zakat untuk Pemerataan, Haruskan untuk Muslim Saja?
Selasa, 19 Mei 2020 - 17:09 WIB
SEBAGAI rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang sejarah Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu, maupun buku-buku yang lebih baru dan lebih modern, semuanya mempelajari zakat. Dalam buku-buku lama, yang dipelajari biasanya pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah, dasar-dasar yang mewajibkannya, siapa saja yang memikul kewajiban ini, jenis harta mana saja yang wajib dizakatkan, syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat tersebut. Pendapat-pendapat para ulama dalam hal ini pada umumnya sama, kecuali perbedaan pendapat dalam perincian-perinciannya (mushali dan samarqandi).
A. Rahman Zainuddin dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah menginformasikan para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di dunia.
Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini terambil dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau masih hidup (Shalih 1965, 354). Zakat merupakan pendapatan utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti pajak tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan lain-lain.
Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam, yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan bersama-sama dengan salat.
Kewajiban zakat itu dibuktikan dengan adanya ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya hadis Nabi saw., dan dengan adanya suatu kewajiban agama.
Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an (QS. al-Taubah: 103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda orang lain yang dengan sengaja atau tak sengaja telah termasuk ke dalam harta benda kita.
Dalam mengumpulkan harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas, karena kelicikan dan lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu. Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena tak memiliki keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam penderitaan mereka. "Untuk membersihkan harta benda daripada kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan," jelas Rahman Zainuddin.
Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu dalam masyarakat.
Di belakang pendapat tersebut terdapat asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103), bahwa harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ia menganggap negara dan pemerintahan itu sebagai suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat al-'umran).
Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa menahan harta benda dalam bentuk pajak yang telah dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan pendapatan rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini.
Gejala ini menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar yang terbesar maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan dalam sirkulasi ini, maka semua pihak, termasuk pemerintah sendiri dirugikan.
Jadi harta benda itu selalu bolak-balik antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat. Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman, serta harta perdagangan.
Kewajiban Zakat
Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban tersebut baru bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya, baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal itu diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah, menurut pendapat yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam bentuk yang lebih terperinci.
Baca juga: Zakat Solusi di Tengah Pandemi Corona
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat itu bukanlah suatu karitas, bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, suatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya.
Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia menyatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengatur pembagian kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang bukan berdasarkan penghasilan, melainkan berdasarkan kekayaan. Ia selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif umum 2,5%setahun maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan demikian tak akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit dari kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya.
A. Rahman Zainuddin dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah menginformasikan para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di dunia.
Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini terambil dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau masih hidup (Shalih 1965, 354). Zakat merupakan pendapatan utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti pajak tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan lain-lain.
Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam, yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan bersama-sama dengan salat.
Kewajiban zakat itu dibuktikan dengan adanya ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya hadis Nabi saw., dan dengan adanya suatu kewajiban agama.
Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an (QS. al-Taubah: 103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda orang lain yang dengan sengaja atau tak sengaja telah termasuk ke dalam harta benda kita.
Dalam mengumpulkan harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas, karena kelicikan dan lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu. Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena tak memiliki keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam penderitaan mereka. "Untuk membersihkan harta benda daripada kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan," jelas Rahman Zainuddin.
Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu dalam masyarakat.
Di belakang pendapat tersebut terdapat asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103), bahwa harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ia menganggap negara dan pemerintahan itu sebagai suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat al-'umran).
Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa menahan harta benda dalam bentuk pajak yang telah dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan pendapatan rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini.
Gejala ini menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar yang terbesar maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan dalam sirkulasi ini, maka semua pihak, termasuk pemerintah sendiri dirugikan.
Jadi harta benda itu selalu bolak-balik antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat. Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman, serta harta perdagangan.
Kewajiban Zakat
Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban tersebut baru bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya, baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal itu diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah, menurut pendapat yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam bentuk yang lebih terperinci.
Baca juga: Zakat Solusi di Tengah Pandemi Corona
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat itu bukanlah suatu karitas, bukan suatu kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi suatu bentuk keadilan internal yang terlembaga, suatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan dirinya.
Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia menyatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengatur pembagian kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang bukan berdasarkan penghasilan, melainkan berdasarkan kekayaan. Ia selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif umum 2,5%setahun maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan demikian tak akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit dari kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya.