Zakat untuk Pemerataan, Haruskan untuk Muslim Saja?

Selasa, 19 Mei 2020 - 17:09 WIB
Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia menyatakan bahwa al-Qur'an dan Sunnah mengatur pembagian kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu suatu pungutan yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang bukan berdasarkan penghasilan, melainkan berdasarkan kekayaan. Ia selanjutnya menyatakan bahwa dengan tarif umum 2,5%setahun maka kekayaan itu akan habis dalam waktu satu generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan demikian tak akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit dari kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya.

Ia berpendapat bahwa dalam suatu masyarakat dimana hukum seperti ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada orang yang terpaksa mencuri, selain dari orang yang berpenyakit seperti kleptomaniak.

Boisard (64-65) menyitir pendapat-pendapat yang mengatakan zakat itu menyucikan manusia yang memberikannya, dengan kemenangan terhadap egoisme, atau bahwa ia memperoleh kepuasan moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah masyarakat Islam yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah belas kasihan, akan tetapi kewajiban orang kaya dan hak orang miskin.

Zakat adalah pembagian sesama sekutu dalam kekayaan umum, dan menjelmakan persaudaraan dan solidaritas. Dan lebih daripada orang yang lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam memandangnya sebagai kewajiban agama. Ia juga merupakan penegasan kembali kenyataan bahwa semua harta benda yang dimiliki manusia pada hakikatnya milik Tuhan, sedangkan apa yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu, zakat tak lebih dari mengembalikan sebagian harta itu kepada pemiliknya yang asli (Tuhan), demi menghindarkan diri dari penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti di akhirat.

Salamah (1978, 98-99) berpendapat bahwa dalam permasalahan manusia yang bersifat keuangan dan perekonomian, Islam menentukan batas-batas dan meletakkan kaidah-kaidah yang sangat jelas, yaitu yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kepercayaan. Islam menyatakan bahwa harta benda itu bukan tujuan dalam hidup ini, akan tetapi hanya alat semata untuk mempertukarkan manfaat dan saling memenuhi keperluan, yang digunakan untuk mencapai keadilan sosial yang dicita-citakan Islam. Harta benda itu sendiri sebagai alat yang tunduk kepada kehendak manusia adalah netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta benda itu sebagai nikmat, rejeki, dan kurnia yang berguna, demi untuk mencapai yang baik. Namun kehendak manusia itu pulalah yang dapat mengubah harta benda itu menjadi sumber azab dan sengsara bagi manusia itu sendiri.



Salamah merasa heran karena dewasa ini umat Islam pada umumnya mentolerir praktek-praktek riba dalam bidang keuangan dan ekonomi, yang berdasarkan eksploitasi dalam bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini memperlihatkan bahwa harta benda itu telah menguasai hak-hak asasi manusia. Ia berpendapat bahwa kegiatan yang berdasarkan riba ini pulalah yang menyebabkan mengapa sebagian besar harta benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia yang sangat kaya.

Zakat sebagai rukun Islam ketiga, menurut pendapatnya, disamping membersihkan jiwa dan harta benda, juga merupakan alat pemerataan yang ampuh dari harta benda dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa zakat merupakan sebagian besar dari pendapatan negara yang menjadikan negara-negara dulu kaya dan makmur, serta tak mengenal kemiskinan dan

penderitaan. Selanjutnya ia memandang bahwa relevansi zakat di masa sekarang menjadi semakin penting, terlepas daripada pajak

yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat merupakan faktor utama dalam pemerataan harta benda di

kalangan masyarakat, dan juga merupakan sarana utama dalam menyebarluaskan perasaan senasib-sepenanggungan dan

persaudaraan di kalangan umat manusia. Karena itu dapat dikatakan bahwa zakat, kalau akan dinamakan pajak, maka ia

adalah pajak dalam bentuk yang amat khusus.

Bagi Tawati (1986), kedatangan Islam adalah untuk memperbaiki kehidupan manusia yang dipenuhi ketidak-adilan. Dalam hubungan ini zakat adalah suatu kerangka teoritis untuk mendirikan keadilan sosial dalam masyarakat Islam. Ia bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan dan ketamakan, serta untuk memenuhi kebutuhan mereka yang

fakir miskin dan diselubungi penderitaan. Zakat juga digunakan untuk mendirikan segala sesuatu yang penting bagi kepentingan

umat, seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara berbagai lapisan sosial.

Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para ulama terhadap zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara pada seruan mendirikan masyarakat Islam yang kokoh, kerjasama antara anggota umat berdasarkan kebaikan dan ketaqwaan, dan seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua orang dapat hidup dalam suatu tingkat kehidupan yang layak dan mulia, karena kepentingan-kepentingannya yang utama dalam hidup telah terpenuhi.

Perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak dibayar orang karena terpaksa, tapi zakat dibayarkan sebagai lambang kerja sama, persaudaraan yang sungguh-sungguh, yang dilaksanakan dengan cara yang berbeda pula. Dan yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa zakat itu adalah ibadah.

Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah alat pemerataan dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak akan lahir monopoli dan monopsoni (Kuntowijoyo 1991). Baginya zakat berpusat pada keimanan, tapi ujungnya adalah menciptakan terwujudnya kesejahternan sosial.Penelitian membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi jumlah orang miskin di beberapa tempat tertentu. Karena itu zakat dapat dipahami dalam konteks yang lebih real dan lebih faktual.

Mas'udi melaporkan bahwa ada pendapat-pendapat di Indonesia yang ingin lebih memberikan penekanan pada tarif yang tinggi (20%) dari zakat dengan berpegang kepada rikaz, yang dirasakan Mas'udi sendiri merupakan suatu kebuntuan. Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau para ulama mereka, berhak mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku (qath'i) demikian saja berdasarkan perubahan situasi dan kondisi. Bagi golongan Syi'ah hal ini tak menjadi masalah, karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam kalangan Syi'ah praktik khums adalah suatu praktik yang telah biasa.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari empat perkara, yaitu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu', dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak didengar.

(HR. Ibnu Majah No. 3827)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More